SP3 Kasus Lapindo Disinyalir Permainan Makelar Kasus

Satgas Mafia Hukum ke Polda SP3 Kasus Lapindo Disinyalir Permainan Makelar Kasus

Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH), Kamis (18/2), turun langsung ke Polda Jatim. Satgas bentukan Presiden SBY ini menyelidiki dugaan adanya makelar kasus (Markus) dalam penyidikan sengketa kepemilikan tanah di Tambaklangon, Surabaya. Sementara Pusat Pembelaan Korban Lapindo juga mensinyalir adanya mafia hukum di balik terbitnya Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) Lumpur Lapindo.

Turunnya Satgas PMH untuk mengikuti langsung gelar perkara kasus dugaan penipuan dan pemalsuan kepemilikan tanah di Tambaklangon, yang digelar Direktorat Reserse Kriminal (Ditreskrim) Polda Jatim. Gelar perkara dimulai sekitar pukul 13.00 hingga 17.00 WIB, Kamis (18/2). Gelar ini dihadiri pihak-pihak terkait, baik pelapor, terlapor, Wadir Reskrim Polda Jatim dan penyidiknya, ahli hukum pidana serta petugas BPN Kota Surabaya dan Kab Gresik.

Semua undangan yang hadir dimintai paparannya. Terlapor yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Wilhemus Suprapto, Dr Noto Palguna, Anis Pasaribu (eks pegawai PT Pelita Indonesia Djaja Corporation/ PIDC) tidak hadir. Mereka diwakili kuasa hukumnya, Fuad, SH. Sedang dari PT PIDC diwakili kuasa hukumnya, Hariyanto SH didampingi Purwanto, SH.

Sedangkan pihak pelapor dihadiri Aditya Sugiarto Prayitno didampingi kuasa hukumnya Imam Mukhlis, SH dan Ari Waluyo, SH. Mereka melakukan pemaran di hadapan petugas Satgas PMH, Kombes Pol Saragih.

Setelah pihak terlapor dan pelapor dimintai paparan, Satgas PMH bersama ahli pidana dan petugas dari BPN Kota Surabaya dan Kab Gresik saling beradu argumen dalam menilai kasus tersebut. "Saya sudah empat kali diajak gelar perkara. Dan baru ini saya puas, karena cukup obyektif. Pimpinan gelar obyektif menilai perkara ini secara jernih dan memintai pendapat semua undangan," ujar ahli hukum pidana dari Universitas Bhayangkara (Ubhara), Dr M Solehudin.

Namun, dirinya menyayangkan pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim tidak hadir dalam gelar perkara tersebut. "Sebagai ahli saya sangat menyesalkan, mengapa pihak Kejati tidak hadir. Karena di Kejaksaan ada konflik interen,"jelasnya. Solehudin menambahkan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Kombes Pol Saragih akan menyampaikan hasil gelar perkara itu daalam rapat di Sekretariat Negara, Jakarta, Jumat (19/2) ini.

Sementara itu, kuasa hukum Aditya, Imam Mukhlis menilai, dalam perkara kliennya itu ada dugaan mafia hukum. "Bisa penyidik yang tidak profesional, bisa juga Kejaksaan. Atau ada konspirasi antara kedua lembaga itu untuk tidak mem-P21 perkara ini," kata Mukhlis. Untuk itu, Mukhlis menegaskan kasus ini harus diselesaikan dengan lembaga independen karena banyak lembaga terlibat.

Ia mengakui, keterlibatan Satgas PMH ini setelah pihaknya melaporkan dugaan adanaya mafia hukum dalam kasus sengketa tanah ini. Sebab, surat yang dia sampaikan ke Irwasum, Kapolri, KPK, Kompolnas, hingga Presiden, tidak ada tanggapan. “Ketika Presiden membentuk Satgas Mafia Hukum, menurut kami ini ada peluang,” tuturnya.

Pokok Masalah
Aditia Sugiarto Prayitno melaporkan PT PIDC ke Polda Jatim tertanggal 14 November 2008. Dalam laporan polisi No Pol: LP/680/XI/2009/ Biro Operasi Polda Jatim, PT PIDC diduga melakukan memberikan keterangan palsu dan melakukan penyerobotan tanah milik pelapor seluas sekitar 32.250 meter persegi di Tambaklangon, Asemrowo.

Tanah itu dibeli dari pemilik tanah dan ahli waris pada tahun 1997. Pelapor juga tidak pernah terjerat kasus pidana atau perdata atas tanah. Sedangkan PT PIDC mengklaim tanah tersebut miliknya berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI No 322 K/Pid/1983 tanggal 9 Agustus 1983 telah dilaksanakan eksekusi yakni tanah Tambak Perikanan/Penggaram an seluas 5 ha yang terletak di Desa Tambaklangon, Kabupaten Gresik. Padahal tanah pelapor terletak di kawasan Asemrowo seluas 32.250 meter persegi. Meski telah dilaporkan, berkas masih bolak balik Polda-Kejati dan belum sampai ke persidangan.

Kasus SP3 Lapindo
Kemarin, pengunjuk rasa dari Pusat Pembelaan Korban Lapindo melakukan aksi teatrikal saat unjuk rasa kasus lumpur Lapindo di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Kamis (18/2). Mereka mendesak KPK untuk membongkar dugaan KKN di balik terbitnya SP3 kasus lumpur oleh Polda Jatim.

Pada hari yang sama, DPP Laksi (Lembaga Konsultasi & Advokasi Kepala Daerah Seluruh Indonesia) mendaftarkan gugatan terhadap Polda Jatim ke Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo. Ini terkait SP3 kasus semburan Lumpur Lapindo yang dikeluarkan Polda Jatim, 5 Agustus 2009 silam.

Tak tanggung-tanggung, untuk melakukan gugatan tersebut, DPP Laksi menunjuk 10
pengacara, di antaranya H Suhardi Somomoeljono, H Umar Tuasikal, Hendrik Fasco Siregar, Jeanette R, Sunarno Edy Wibowo, dan Dorma Haulian Sinaga. “Ini adalah tugas dan tanggungjawab kami untuk melakukan upaya penegakan hukum. Karena kami menilai, dalam kasus ini telah terjadi ketidakadilan. Terutama masyarakat yang terkena imbas semburan lumpur Lapindo,” kata Sunarno Edy Wibowo di PN Sidoarjo.

Ia mengungkapkan, SP3 yang dikeluarkan Polda Jatim sangat lemah. Di antaranya, berkas kasus tersebut sudah empat kali dikembalikan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim. “Padahal, pemberkasan kasus itu dilakukan sejak tahun 2006 dan Polda Jatim sudah menetapkan 13 orang tersangka,” tandasnya.

Alasan pengembalian berkas tersebut, lantaran penyidik Polda Jatim tidak dapat memenuhi permintaan pihak kejaksaan, terkait korelasi dan sebab akibat semburan lumpur dengan aktivitas pengeboran di Sumur Banjarpanji (BJP) I. “Pihak tergugat (pihak Polda Jatim, red) mengaku sulit melakukan pembuktian, karena tidak ada saksi pada saat kejadian. Selain itu, belum ada saksi ahli yang bisa membuktikan korelasi antara semburan lumpur dengan keberadaan sumur BJP-I, yang berjarak
sekitar 150 meter,” jelasnya.

Alasan tidak adanya saksi ahli itulah yang dipersoalkan. Sebab menurut Sunarno, keberadaan saksi ahli tidak diperlukan di tingkat penyidikan, terkait proporsionalitas dan keahliannya. “Yang dapat menilai apakah seorang saksi ahli berkompeten di bidangnya adalah hakim. Bukan penyidik. Karena itu kami menilai alasan yang digunakan untuk mengeluarkan SP3 tersebut sangat lemah, baik ditinjau dari sisi filosofis maupun teknis hukumnya,” tegas dia.

Sebaliknya, pihaknya justru memiliki data-data kuat, bahwa peristiwa itu memang disebabkan proses pengeboran pihak Lapindo Brantas Inc. Salah satunya, adalah hasil analisa pengeboran yang dilakukan Drilling Independen Pri Tech + Neil Adam
Services. Lembaga ini menyebutkan, Lapindo mengabaikan pemakaian casing saat melakukan pengeboran di kedalaman 3.000-6.000 meter.

“Dr Rudi Rubiandini, ahli geologi ITB dan beberapa ahli geologi dari luar negeri juga menyatakan bahwa penyebab semburan lumpur disebabkan kelalaian manusia atau human error,” paparnya. n

http://www.surabaya pagi.com/ index.php? p=detilberita& id=43633

Ilmuwan: Lumpur Lapindo Disebabkan Keteledoran Manusia

PARIS - Ilmuwan merilis bukti baru yang menyebutkan jika lumpur Lapindo disebabkan oleh kesalahan saat pengeboran yang dilakukan oleh pihak Lapindo Brantas. Akibat kecerobohan ini, lumpur Lapindo telah menyebabkan ribuan warga di beberapa desa di Sidoarjo kehilangan rumah.

Dalam keterangan yang dirilis oleh The Journal Marine and Petroleum Geology, sekelompok ahli yang berasal dari Universitas Durham di Inggris menyatakan, jika bukti baru yang mereka temukan adalah kecurigaan lubernya lumpur panas tersebut disebabkan oleh kesalahan manusia.

Sebelumnya, Lapindo Brantas yang dianggap pihak yang paling bertanggung jawab atas bencana ini menanggap, semburan lumpur panas dari perut bumi disebabkan oleh gempa yang terjadi di Yogyakarta, yang letaknya sekira 280 kilomter dari Sidoarjo.

Profesor Richard Davies dari Universitas Durham menyatakan, pekerja yang saat itu menggali lahan untuk mencari sumber gas, telah membuat kesalahan fatal. Menurut Profesor Davies, pekerja meremehkan tekanan yang dialami oleh sumur saat dilakukan penggalian. Davies juga menemukan, ternyata para pekerja tidak menggunakan pengamaan di sekitar sumur saat proses penggalian.

Profesor Davies menambahkan, setelah gagal menemukan sumber gas, pekerja menarik bor keluar saat lubang hasil pengeboran dalam kondisi sangat tidak stabil.

"Dengan menarik bor, sumur tersebut tidak terlindungi dari tekanan air dan gas dari formasi batuan di sekitar sumur. Hasilnya lumpur keluar seperti sebuah letusan gunung berapi, meskipun pengebor mencoba mati-matian untuk menghentikannya, " ungkap Profesor Davies seperti dikutip AFP, Jumat (12/2/2010).

Hingga kini bencana lumpur Lapindo masih menjadi polemik. Sebagian warga yang rumahnya menjadi korban, memang sudah ada yang menerima ganti rugi. Namun lumpur tersebut berimbas luas kepada kelangsungan ekonomi masyarakat di Sidoarjo.

Keengganan pihak Lapindo Brantas untuk mengungkap penyebab sebenarnya dari lumpur ini, patut dicurigai. Dengan adanya pendapat dari ilmuwan, pemerintah seharusnya bisa bertindak lebih berani mengingat lumpur panas tersebut telah menyebabkan kerusakan hebat pada lingkungan sekitar Sidoarjo. (faj)(rhs)

(c) Fajar Nugraha - Okezone

0 komentar:

Posting Komentar