Pro atau Kontra Ujian Nasional?

Setiap tahun selalu ada berita kejutan dengan Ujian Nasional (UN). Tahun ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) tertanggal 13 Oktober 2009 pelaksanaan UN untuk sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah umum (SMA dan SMK) akan dilaksanakan pada bulan Maret 2010. Jadwal ini satu bulan lebih cepat ketimbang jadwal tahun-tahun sebelumnya. Alasan perubahan jadwal ini karena UN akan diadakan dua kali.

Pertanyaannya, kenapa sekarang UN diadakan dua kali? Alasan pemerintah, sebagaimana yang disampaikan oleh sekertaris Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) Edy Tri Baskoro, untuk memberikan kesempatan ujian ulangan bagi siswa yang tidak lulus pada ujian utama (Kompas; 12 November 2009).

Kalau kita mengikuti alur alasan ini dan menggunakan data tahun lalu sebagai acuan, maka sekitar 6%, 4%, dan 5% masing-masing siswa SMP, SMA, dan SMK akan mendapat keuntungan dengan adanya UN ulangan ini. Tetapi, melihat jadwal ujian utama dan ulangan hanya berselang 6 minggu dan dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya pengumuman kelulusan bisa lebih dari empat minggu setelah pelaksanaannya, kecil kemungkinan mereka dapat mempersiapkan diri lebih baik dan lulus pada UN ulangan jika UN dilaksanakan sesuai kaidah standar tes yang berlaku di ilmu penilaian pendidikan, pengujian atau testing. Jadi assumsi UN ulangan dapat memberikan manfaat bagi siswa masih tanda tanya besar.

Sedangkan mudarat perubahan jadwal dan kebijakan secara tiba-tiba ditengah-tengah tahun ajaran lebih banyak. Pertama, hal yang sudah pasti akan terjadi, dengan memajukan jadwal UN memaksa sekolah mempercepat materi pembelajaran kelas III, agar sekolah dapat lebih cepat mempersiapkan siswanya menghadapi UN. Akibatnya, pembelajaran siswa kelas III menjadi tidak optimal. Kedua, juga hal yang pasti akan terjadi, pemerintah dan mereka yang terlibat di dalamnya akan menghabiskan tenaga, waktu, dan biaya lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya karena disibukkan pelaksanakan UN dua kali.

Ketiga, bagi mereka yang paham dengan ilmu testing tentu tidak sependapat dengan adanya ujian ulangan pada high stake exams atau standardized tests (seperti UN), karena akan menimbulkan ketidak adilan dan secara ilmiah tidak dapat diterima. Bagaimana, misanya, jika siswa ketika ikut UN ulangan mendapat nilai 9, apakah nilai ini akan dicantumkan di ijasah? Jika nilai ini digunakan, tentu tidak fair bagi siswa lain yang lulus pada UN utama tapi mendapat nilai lebih rendah dari 9. Sebaliknya, kalau nilai ini diabaikan tidak fair bagi siswa tersebut. Selain itu, penulis belum pernah memperoleh informasi adanya ujian ulangan pada high stake exams di negara lain dimana hanya diikuti oleh mereka yang tidak lulus pada ujian utama. Model ujian ulangan seperti ini hanya mungkin diterapkan untuk classroom tests, tidak untuk tes seperti UN.

Ketidak pahaman bagaimana seharusnya UN diterapkan sesuai ilmu testing selama lima tahun terakhir ini tidak lepas dari peran BSNP yang mempunyai wewenang penuh dalam menentukan kebijakan, pelaksanakan, dan evaluasi UN. Latar belakang anggota BSNP yang terdiri dari 15 orang professor tetapi hanya satu orang saja yang berlatar belakang di bidang penilaian pendidikan menyebabkan kebijakan-kebijakan BSNP tentang UN setiap tahun selalu menuai kontraversi. Apalagi mereka bekerja di BSNP tidak fulltime, tetapi hanya satu atau dua hari dalam satu minggu, mengingat mereka juga bekerja sebagai tenaga pendidik di perguruan tinggi masing-masing.

Belajar dari Negara Lain

Kita perlu mengamati profesionalisme dan keseriusan negara lain menangani sistim ujiannya. Terlepas dari apakah mereka menerapkan sistim ujian akhir nasional (seperti Indonesia) atau tidak, yang pasti mereka memiliki suatu lembaga penilaian independen yang khusus melakukan penelitian, mendesain, menerapkan, dan mengevaluasi sistim ujian yang tepat bagi negaranya. Lembaga ini beranggotakan dan memperkerjakan orang-orang yang memang pakar dibidangnya dan tentunya bekerja fulltime (bukan sambilan). Sebagai contoh Singapura dengan Singapore Examination and Assessment Board, Malaysia dengan Lembaga Peperiksaan Malaysia, di Cina ada National Education Examination Authority (NEEA), dan di United States of America (USA) ada dua lembaga testing yang terkenal di dunia testing yaitu Educational Testing Services (ETS) dan American College Testing (ACT).

UN di Cina dibawah kendali NEEA. Selain untuk menentukan kelulusan, nilai UN-nya digunakan untuk masuk ke perguruan tinggi. Badan ini memperkerjakan puluhan pegawai lulusan S3 dari bidang penilaian pendidikan, dan setiap tahun mengirim stafnya ke lembaga-lembaga testing lain yang lebih maju untuk memperdalam ilmu testing dan penerapannya. Sebagai contoh, bulan September dan Oktober kemarin sejumlah 7 orang pegawai NEEA magang di ACT selama sekitar satu bulan. Dan sebagai bukti bahwa NEEA bekerja professional, mereka diberi wewenang mengadministrasikan pelaksanaan semua international standardized tests milik negara lain; seperti tes-tes milik ETS dan ACT yaitu Test of English as a Foreign Language (TOEFL), dan Graduate Record Examinations (GRE).

Berbeda dengan Indonesia dan Cina, USA tidak mengenal UN. Kelulusan ditentukan oleh negara bagian (state) masing-masing. Banyak state memberlakukan kelulusan, tetapi ada juga yang tidak. Bagi state yang tidak menggunakan standar kelulusan, mereka tetap memberikan standardized tests pada tingkatan kelas-kelas tertentu hanya untuk mengukur perkembangan pendidikan siswa (tidak digunakan untuk menentukan kenaikan kelas atau kelulusan). Untuk state yang memberlakukan kebijakan kelulusan, kelulusan ini (lebih tepatnya disebut sertifikasi) hanya berlaku di tingkat SMA tidak untuk SMP apalagi SD. Yang menarik, ujian sertifikasi ini boleh diambil setelah siswa menyelesaikan pendidikannya di kelas 9 (Kelas 3 SMP). Bagi yang tidak lulus tetap dapat terus belajar di kelasnya masing-masing, dan dapat mengulang tes ini satu semester kemudian. Karena di USA ada 3 semester dalam satu tahun ajaran, siswa mendapat 9 kali kesempatan menempuh tes ini untuk memperoleh
sertifikat kelulusannya.

Walaupun tidak semua state mengenal ujian kelulusan, Department of Education atau DOE (Depdiknas-nya USA) mempunyai mekanisme memonitor perkembangan pendidikannya paling tidak melalaui informasi dari dua testing. Pertama, setiap tiga tahun DOE dibantu ETS dan ACT mengadministrasikan National Assessment of Educational Progress (NAEP). Tes ini merupakan survey-test yang dibuat untuk memonitor perkembangan kemampuan siswa USA dalam membaca, matematika, dan science. Kedua, setiap siswa SMA yang akan melanjutkan ke universitas di USA diharuskan mengambil ACT Assessment; yaitu tes yang mengukur kemampuan siswa dalam membaca, matematika, science, dan English. Karena identitas siswa lengkap (mencantumkan asal sekolah) pada saat mengikut tes ditambah informasi dari NAEP, kualitas pendidikan di setiap sekolah, district (kecamatan, kabupaten/kotamadya ), dan state di USA dapat dipetakan dan dibandingkan.

Lembaga Penilaian Independen

Kembali ke masalah UN di Indonesia, penulis tidak pro atau kontra dengan adanya UN. Masalahnya adalah dengan segala keterbatasan yang ada pada BSNP, penulis tidak yakin hasil UN dapat menjadi alat ukur (measurement tool) yang reliable (handal) dan valid (dapat dipercaya) untuk melihat perkembangan pendidikan di Indonesia. Sulit (atau mungkin juga mustahil) kita dapat memperbaiki dan meningkatan kualitas pendidikan negara kita melalui model dan penyelenggaraan UN seperti apa yang kita kerjakan selama ini. Waktu, tenaga, dan biaya ratusan milyar rupiah yang kita keluarkan, tidak sepadan dengan apa yang kita dapatkan. Sebagai informasi, UN tahun lalu menghabiskan dana sekitar 900 milyar.

Belajar dari negara lain, pemerintah melalui Depdiknas harus segera membentuk suatu lembaga penilaian independen yang bekerja secara professional dan fulltime untuk meneliti, mendisain, merumuskan, melaksanakan, dan mengevaluasi sistim ujian yang tepat bagi bangsa Indonesia. Tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) BSNP perlu diperbaiki dan dibatasi. Tupoksi mereka hendaknya dibatasi hanya memikirkan masalah kebijakan yang berhubungan dengan mutu dan standarisasi pendidikan nasional, dan mereka tidak lagi terlibat dalam masalah-masalah teknis penilaian pendidikan (seperti menentukan jadwal, jumlah paket, jumlah soal, dan skoring UN). Harapan penulis, Indonesia masa depan memiliki lembaga penilaian independen yang dikelola secara professional dan memperkerjakan para pakar penilaian pendidikan yang dapat memperbaiki sistim pengujian di Indonesia. Semoga ……………………..

Heru Widiatmo, Ph.D.
Peneliti (Researcher)


1 komentar:

  1. jemiro mengatakan...

    menurut saya, ujian nasional harus tetap diadakan, tapi METODEnya yang dirubah :D
    metode harus disesuaikan dengan kemampuan siswa :D

Posting Komentar