Cara Mendapat Solusi dengan Tehnik; Boleh Saya Curhat?

Shahabat saya yang budiman. Bagaimana keadaan Anda hari ini? Semoga senantiasa selalu dalam bimbingan, hidayah dan petunjuk dari Allah swt. Mudah-mudahan kata-kata saya menyapa Anda dengan penuh kehangatan, sehinga menambah keindahan persaudaraan kita ini.

Shahabat yang baik. Bulan lalu, saya menulis tentang cara keluar dari masalah hidup. Di sana saya menyampaikan tips mendapatkan solusi dari persoalan yang sedang menyapa saya. Tulisan ini hampir mirip-mirip konteksnya. Namun, yang berbeda adalah cara menemukan solusi, dari tantangan yang saya hadapi.
Cara Menemukan Solusi
Ide ini muncul saat saya sedang melakukan pengosongan perut di bilik inspirasi. (Water Close). Saya sebut bilik inspirasi, karena memang hampir beberapa ide briliant, datang tatkala proses pembuangan terjadi. Mungkin Anda juga mengalaminya kan?

Di dukung juga oleh pengalaman saya melakukan terapi kepada klien-klien saya. Baik di klinik, chating dan via email. Ada juga diantaranya melalui curhat colongan di komentar Facebook. Ternyata, tidak semua orang datang berniat untuk di terapi, dan menemukan solusi dari arahan atau bantuan Mind-Therapist. Akan tetapi, hanya mau ada yang mendengrakan masalahnya. Ada yang menempuh bercerita, mengemukakan, mengeluarkan uneg-uneg dan curhat, terkadang ini membuat mereka menemukan sendiri solusinya, dan mengakibatkan mereka merasa plong (selesai bebannya).

Oleh karena itu, tips terapi ini saya namakan ”Boleh saya curhat?”. Ngomong-ngomong tentang curhat. Fikiran saya jadi terbang kembali ke masa-masa saya SMP dan SMA. Saya teregresi ke masa itu. Karena, kata curhat pertama sekali saya dengar saat saya kelas 2 SMP. Dan proses keseringan curhat, saya lakukan tatkala masa SMA. So sweet lah. Benar kata Obie Mesakh ”Masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah. Kisah kasih paling indah, kisah kasih di sekolah..” (yang mau nostalgia, monggo dilanjut ya, saya mau balik ke topik).

Strategy Curhat
Seperti biasa. Saya mau menyampaikan maklumat, bahwa cara-cara yang akan saya sampaikan belumlah cocok, tepat dan pas dengan kondisi persoalan Anda hadapi sekarang. Namun, ada benarnya Anda melakukan terlebih dahulu untuk mengetahui hasilnya kan? Sehingga adapun strategynya seperti berikut ini.

Curhat kepada Konselor atau teman Dekat
Tips ini seolah-olah Anda sedang bercerita, menyampaikan, mencurahkan isi hati Anda kepada orang yang Anda percayai. Dan Anda yakin bisa membantu Anda mendapatkan solusi. Caranya tidak jauh beda seperti kebiasaan yang sudah Anda lakukan. Namun, Anda mesti lebih mencurahkan perhatian dengan cara yang satu ini. Oh ya, mumpung saya ingat nih. Cara ini akan sangat berdampak luar biasa efektif, apabila Anda mejalaninya dengan membakar kemenyan (he..he.. bercanda). Maksud saya, dengan menggunakan fikiran imajinatif Anda. Jadi, untuk sementara, fikiran logika dan analisis, disimpan dulu ya...

9 Langkah Terapi ”Boleh Saya Curhat”

1. Berdoa kepada Allah agar, usaha Anda menghasilkan solusi. Kemudian dimudahkan dan di Ridahi oleh Allah.

2. Siap kan tiga buah kursi, atau tandai tiga titik pada lantai tempat Anda berada. Boleh lurus atau berbentuk segitiga.

3. Beri nama atau kode untuk memudahkan proses therapy pada tiap kursi. Contoh : Kursi pertama Anda beri code/nama Sang Masalah, Kursi Kedua Juru bicara. Dan Ketiga Sang Konselor. (Anda boleh mengganti nama-nama di atas sesuai keinginan dan kehendak Anda. Ingat! gunakan imajinatif Anda, tidak perlu bertanya untuk apa. Lakukan dan ikuti saja intruksinya, oke kan?)
4. Sekarang, bisa Anda duduk di tiap-tiap kursi atau titik yang telah Anda namai tadi. Silahkan Anda berada disana, dengan 100% hadir sebagai nama yang Anda beri tadi. Contoh : Kursi Juru Bicara. Saat Anda duduk di atas kursi ini, jadilah seolah-olah Anda sebagai benar-benar seorang juru bicara. Sebagaimana kita tau, yang nama nya juru bicara, terkadang hanya menyampaikan apa yang mesti disampaikan oleh Sang Masalah. Jadi, Anda di kursi Juru Bicara, seolah-olah orang lain, yang akan menceritakan tentang kondisi Sang Masalah. Sehingga Anda tidak mengalami apa yang dia rasakan, Anda tidak larut, dan Anda benar-benar menjadi orang lain (ingat gunakan imajinatif Anda). Begitu pula dengan Sang Konselor. Saat Anda duduk di kursi ini, seolah Anda seorang Konselor. Bolehlah sedikit sok tau ya. He...he... sementara di Kursi Sang Masalah, tidak perlu saya jelaskan. Anda sudah sangat mahir karena sudah mengalami ^_^...

5. Mari kita mainkan. Pertama, duduklah di Kursi Sang Masalah....Rasakan, lihat dan dengarkan serta alami secara total masalahnya. Setelah itu sampaikan kepada sang Juru Bicara.

6. Setelah Anda merasa sudah benar-benar full 100% merasakannya, sekarang pindahlah ke kursi Sang Juru Bicara. Mulailah bercerita kepada ke Kursi Sang Konselor kondisi teman/klien Anda yang bermasalah itu. Sebagai sang Juru Bicara, boleh ambil intervensi (memberikan sudut pandang) juga pendapat Anda (Sebagai Juru Bicara), berdasarkan pengamatan Anda terhadap cara Sang Masalah duduk, ekspresi wajahnya, cara bernafas, cara bercerita dll, yang dilakukan oleh sang Masalah.

7. Sekarang Anda pindah ke kursi Sang Konselor. So selamat menikmati sebagai orang pemberi solusi. Lihat ekspresi si Juru Bicara yang tak punya masalah dan juga Kursi Sang Masalah. Berdasarkan analisa Anda, dari cerita Sang Juru Bicara. Apa hal Terbijak dan terbaik mesti di fikirkan, dilakukan serta di ambil keputusan sekarang, oleh Sang Masalah. Berikan juga nasehat serta wejangan kepada nya.

8. Silahkan Anda duduk kembali ke kursi Sang Masalah. Setelah mendengar Curhat Sang Juru bicara ke Sang Konselor, kemudian Anda menyimak nasehat serta pandangan dari Sang Konselor. Apa yang Anda alami dan terjadi pada diri Anda? Dan, apakah sudut pandang sang Konselor memberi pemahaman dan Anda menemukan solusinya sekarang? (Bila Anda belum menemukan solusi, boleh Anda ulangi sekali lagi).

9. Apabila Anda merasa sudah mendapatkan hal yang Anda inginkan (Solusi), boleh akhiri dengan rasa syukur dan hamdalah kepada Allah. Juga kepada diri Anda sendiri, karena sudah mau berdamai dan bersedia untuk memecahkan masalah (get solution) secara bersama-sama.

Sekedar sharing, saya terkadang melakukan cara di atas dengan memanfaatkan fikiran kreatifitas saya. Yaitu menghadirkan tokoh imajiner, Coach yang selama ini membimbing dan mengarahkan saya. Jadi, seolah-olah beliau Ada disana, dan memberikan solusi kepada diri saya. Namun, terkadang saya sendiri yang seolah-olah menjadi seorang ahli dalam memberi sololusi saat berada di Kursi Sang Konselor.

Selamat melakukan dan mempraktekkan. Semoga tips ini menjadi cara untuk menghasilkan solusi terhadap tantangan hidup yang sedang bertamu kepada Anda. (Yang namanya tamu pasti pulangkan?).

Note : Bila Anda belum faham dengan penjelasan di atas, boleh Anda hubungi 081511448147 (Bebas biaya, kecuali pulsa Anda habis he...he..). Saya akan membantu Anda, bagaimana cara bermain-main dengan tips terapi di atas.

Cingajur, 12 Maret 2011
www.kursusnlp.com


Read More......

Bahasa dan Mentalitas oleh Bagus Takwin

Oleh BagusTakwin*

TEMPO 20 Maret 2011

BAHASA mencerminkan pikiran. Banyak ahli menegaskan ini. Tapi bahasa juga
mencerminkan mentalitas: kecenderungan pribadi, kekayaan pengalaman, dan
kepekaan sosial. Pilihan dan susunan kata, juga waktu dan tempat
penyampaian, bisa jadi indikator dari pengalaman seseorang berinteraksi
dengan banyak kalangan, juga seberapa jauh ia terlibat dengan banyak ihwal.

Kita bisa menakar, misalnya, pengalaman dan kepekaan sosial seorang pejabat
publik yang berkata, "Pulau kesapu dengan tsunami, ombak besar, konsekuensi
kita tinggal di pulaulah.... Kalau tahu berisiko pindah sajalah...," ketika
Mentawai baru saja mengalami bencana tsunami. Juga pejabat yang bilang,
"TKI-PRT telah membuat citra Indonesia buruk," ketika ada banyak TKI yang
telantar di luar negeri.

Bahasa mensyaratkan intensionalitas, keterarahan untuk mencapai kesesuaian
antara keadaan mental dan dunia. Intensionalitas mengarahkan orang melalui
bahasa untuk memaknai, dalam arti menjadikan dunia, juga diri sendiri, bisa
dimaknai. Intensionalitas adalah struktur dari kesadaran manusia yang
memberi makna kepada pengalaman dan meleluasakannya membuat keputusan.

Cara dan isi pengarahan dipengaruhi latar belakang mental yang berisi
serangkaian pengalaman, pengetahuan, kemampuan, dan kecenderungan-
kecenderungan pribadi lainnya, seperti nilai, sifat, dan motif. Dengan itu,
ketika seorang guru berkata "catat kata-kata saya", kita tahu perlu
menggunakan alat tulis untuk mencatat, atau ketika seseorang berkata
"telepon sekretaris saya", kita tahu perlu menggunakan telepon meski
permintaan itu tidak mengandung penjelasan rinci. Latar belakang mental
membangun jejaring unsur mental yang niscaya dibutuhkan untuk menentukan
kebermaknaan obyek-obyek yang kita temui.

Latar belakang dan jejaring mental dibentuk melalui pengalaman. Keduanya
menentukan kekayaan pemaknaan. Semakin sering seseorang bertemu dengan
hal-hal yang ada di dunia, semakin banyak kemungkinan pemaknaan yang bisa
dirumuskannya. Semakin beragam unsure mental seseorang, semakin kaya luas
dan terbuka pikirannya.

Intensionalitas mengarahkan orang untuk menampilkan tindakan berbahasa
sebagai perpanjangan dari kecenderungan-kecenderungan dalam diri, khususnya
kecenderungan memaknai apa yang ada di dunia. Isi pemaknaan dipengaruhi oleh
latar belakang dan jaringan unsur- unsur mental. Ketika bencana alam di
sebuah pulau dimaknai sebagai hal wajar dengan latar belakang mental yang
miskin tentang bencana, bahasa mengungkapkan itu sebagai "konsekuensi kita
tinggal di pulaulah...".

Usaha pengarahan agar keadaan mental sesuai dengan dunia
diungkapkan dengan "...pindah saja- Iah". Ujaran semacam itu menunjukkan
sempit dan sederhananya jaringan unsur mental terkait bencana.

Di Indonesia, cukup sering kita temui pernyataan yang mencerminkan
ketakpekaan dan kecenderungan pengujarnya menggampangkan persoalan karena
miskinnya pemaknaan. Contohnya, selain pernyataan tentang tsunami dan TKI
tadi, komentar seorang pejabat publik tentang letusan Gunung Merapi sebagai
azab karena mendustakan ayat-ayat Tuhan, juga "...agar mudah diingat
singkatannya adalah AIDS=Akibat Itunya Dipakai Sembarangan". Lepas dari apa
maksud sadar penyampaiannya, pernyataan-pernyataan itu menyakiti hati banyak
orang.

Berdasarkan intensionalitas bahasa dan kaitannya dengan latar belakang dan
jaringan mental, kita dapat menganalisis ucapan-ucapan pejabat yang saya
petik tadi. Pernyataan terkait tsunami memberi petunjuk kepada kita tentang
beberapa kemungkinan kecenderungan pribadi orang yang mengemukakannya, di
antaranya (1) kecenderungan menganggap enteng bencana, termasuk tsunami; (2)
kecenderungan menghindari tanggung jawab untuk menangani secara
sungguh-sungguh kejadian buruk, seperti bencana tsunami; dan (3)
kecenderungan melakukan pembenaran terhadap kelalaian menangani dampak
bencana. Sedangkan pernyataan tentang letusan Gunung Merapi dan AIDS
mengindikasikan kurangnya empati dari orang yang mengucapkannya. Jika
pernyataan sejenis itu sering diulang, bisa dicurigai adanya kecenderungan
sistem pikiran yang tertutup dan sempitnya ruang lingkup interaksi sosial si
pengujar. Kita bisa menduga para pengujarnya jarang punya pengalaman
bertukar peran yang menuntutnya menggunakan beragam sudut pandang dalam
memahami persoalan. Latar belakang dan jejaring mentalnya miskin.

Bisa jadi para pejabat yang melontarkan pernyataan-pernyataan tak peka itu
mengaku tak sengaja atau tak berniat menyakiti orang lain. Tapi,
ketidaksengajaan pun bisa mengindikasikan kemiskinan, baik dalam kemampuan
berbahasa maupun kepekaan sosial. Kemampuan berbahasa, termasuk ketepatan
menyampaikan pernyataan dalam situasi tertentu, mencerminkan kompetensi
seseorang. Di Indonesia, ada banyak pejabat yang tindakan berbahasanya
mengindikasikan rendahnya kompetensi dan kepekaan sosial mereka.

*)Dosen Fakultas Psikologi. UI dan

Redaktur srimulyani. net
Read More......

Guru Tak Harus Masuk PGRI

JAWA POS, 24 Februari 2011

GRESIK - Lebih dari 2.000 guru di Gresik resah. Mereka yang selama ini tidak bergabung dalam PGRI khawatir proses kenaikan golongan dari IIIB ke IVB terhambat.


Untuk kenaikan golongan tersebut, guru harus membuat karya tulis. Karya tulis itu pun harus mendapat persetujuan organisasi profesi. Yang dikhawatirkan ribuan guru tersebut, berkembang pemahaman bahwa organisasi profesi guru yang diakui hanyalah PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia).

Dengan tidak bergabung dalam PGRI, mereka tentu tidak bisa mendapatkan persetujuan tersebut dan dikhawatirkan berpengaruh pada pengurusan kenaikan golongan. Pemahanan tersebut muncul setelah beredarnya surat dari PGRI Gresik terkait dengan pendataan ulang anggotanya.

Surat edaran itu memang tidak secara eksplisit menyebutkan keterkaitan kenaikan golongan dengan keanggotaan di PGRI. Namun dalam sosialisasi edaran itu, hal itu dikait-kaitkan. "Itulah yang memberatkan kami. Terkesan ada keharusan guru bergabung dalam PGRI," ungkap seorang guru.

Sementara itu, di Gresik --juga di daerah-daerah lain--, muncul organisasi profesi guru non-PGRI. Lewat surat edaran itu, PGRI juga menegaskan larangan untuk merangkap keanggotaan di lebih dari satu organisasi profesi. "Yang membuat kami resah, pimpinan PGRI Gresik menyatakan bahwa organisasi selain PGRI dianggap tidak sah," kata guru yang takut menyebut jati dirinya itu.

Keberatan lain yang disampaikan para guru adalah tarikan Rp 100 ribu per tahun yang dipotong dari jatah TPP (tunjangan profesi pendidik) selama lima tahun. Tarikan tersebut rencananya digunakan untuk membeli tanah guna pembangunan gedung baru sekretariat PGRI Gresik.

Saat ini, guru yang tidak tergabung dalam PGRI mencapai ribuan. Sebagian besar tergabung dalam IGI (Ikatan Guru Indonesia).

Ketua PGRI Gresik Muljono membantah hal tersebut. "Itu semua tidak benar. Tidak ada aturan bahwa seluruh guru harus masuk PGRI," tegasnya kemarin (23/2).

Dia menjelaskan, dalam perekrutan anggota PGRI, ada dua cara yang digunakan. Yakni, pendaftaran pasif (otomatis terdaftar) serta pendaftaran aktif (para guru yang belum terdaftar diminta mendaftar ulang). "Kami tidak pernah memaksa kok," ujarnya.

Sekretaris PGRI Gresik Arief Susanto juga membantah bahwa PGRI menganggap ilegal organisasi diluar mereka. "Kami tidak pernah punya sikap seperti itu. Kalau PGRI sebagai organisasi tertua, memang iya," tegasnya.

Dia juga mengelak tudingan bahwa kenaikan pangkat seorang guru harus mendapat persetujuan dari PGRI sebagai salah satu syarat. "Tidak pernah ada itu," ujarnya.
Read More......

INILAH ALASAN KENAPA ILMUWAN BANYAK DARI EROPA

Pada edisi 26 Maret 2010, salah satu jurnal sains paling bergengsi di dunia, Science, memuat sebuah artikel singkat berjudul "Asian Test-Score Culture Thwarts Creativity", yang ditulis oleh William K. Lim dari Universiti Malaysia Sarawak. Dituturkannya bahwa meskipun sejak bertahun-tahun lalu Asia didaulat akan menjadi penghela dunia sains berkat sangat besarnya investasi di bidang sains dan teknologi, kenyataannya Asia masih tetap saja tertinggal di banding negeri-negeri barat (Eropa Barat dan Amerika Utara). Menurutnya, akar permasalahannya adalah budaya pendidikan Asia yang berorientasi pada skor-tes, yang alhasil tidak mampu mengasah keterampilan berpikir dan kreativitas pelajar. Padahal kedua kemampuan itulah yang menjadi dasar untuk bisa menjadi ilmuwan yang berhasil.
>
>Di Asia, para pelajar dan sekolah berorientasi mengejar skor-tes setinggi-tingginya. Para pelajar yang memiliki skor-tes lebih tinggi akan lebih baik karir masa depannya karena persyaratan masuk ke berbagai institusi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik ditentukan oleh skor-tes. Semakin tinggi skornya tentu semakin baik pula peluangnya. Beragam pekerjaan bergengsi juga hanya bisa dimasuki oleh mereka-mereka yang memiliki skor tinggi. Sekolah yang para siswanya meraih skor-tes tinggi akan naik reputasinya, dan dengan demikian menjamin pendanaan lebih banyak. Guru pun ditekan untuk mengajar dengan orientasi agar siswa bisa memperoleh skor-tes yang tinggi. Tidak heran jika kemudian latihan-latihan tes mengambil porsi besar dalam pendidikan di sekolah-sekolah di Asia karena keberhasilan sebuah sekolah semata-mata dinilai dari catatan skor-tes yang diperoleh sekolah itu.
>
>Akibat iklim pendidikan berorientasi skor-tes, para orangtua di Asia lazim memasukkan anak-anaknya ke suatu les pelajaran tambahan di luar sekolah sejak usia dini. Di Singapura, pada tahun 2008, sejumlah 97 dari 100 pelajar mengikuti les tambahan pelajaran di berbagai institusi persiapan tes (baca: Lembaga Bimbingan Belajar). Pada tahun 2009, industri persiapan tes di Korea Selatan bernilai 16,3 Miliar US$ atau setara dengan 146,7 triliun rupiah. Jumlah itu kira-kira senilai 36% dari anggaran pemerintah untuk dunia pendidikan di negeri ginseng.
>
>Akibat waktu sekolah yang panjang dan beban PR yang berat, para pelajar Asia hanya terasah kemampuan intelektualnya dalam hal mengingat fakta-fakta untuk kemudian ditumpahkan kembali saat ujian. Hasil dari budaya pendidikan semacam itu adalah kurangnya keterampilan menelaah, menginvestigasi dan bernalar, yang sangat dibutuhkan dalam penemuan-penemuan ilmiah. Dalam artikelnya, William K. Lim menyatakan bahwa para mahasiswa yang ditemuinya lemah dalam melihat hubungan-hubungan dalam berbagai literatur, membuat kemungkinan-kemungkinan ide-ide, dan menyusun berbagai hipotesis. Padahal, mereka adalah para peraih skor-tes tertinggi. Hal itu membuktikan kalau sistem pendidikan Asia tidak melahirkan talenta saintifik.
>
>Benar bahwa dalam berbagai ujian, para pelajar Asia "selalu" memiliki skor-tes lebih baik dari para pelajar Eropa Barat dan Amerika Utara berkat pendidikannya yang berorientasi skor-tes. Akan tetapi ketika bicara soal kreativitas dan kualitas hasil penelitian, para pelajar Asia jauh tertinggal. Sebagai akibatnya, sangat sedikit ilmuwan berkelas yang dihasilkan Asia. Mayoritas ilmuwan kelas dunia dari negara-negara Asia pun biasanya dididik dalam pendidikan Eropa/Amerika, bukan dalam iklim pendidikan Asia.
>
>Tidak bisa dipungkiri bahwa para pemenang olimpiade sains dunia (fisika, sains, biologi, dan lainnya) mayoritas berasal dari Asia. Indonesia sendiri telah berkali-kali memiliki para juara. Akan tetapi mereka merupakan hasil penggodokan khusus oleh tim khusus olimpiade sains. Mereka bukan hasil alami iklim pendidikan seperti biasa. Jadi, fenomena itu sama sekali tak mengindikasikan keberhasilan sistem pendidikan di Asia. Faktanya, meskipun mendominasi kejuaraan, Asia tak kunjung melahirkan ilmuwan-ilmuwan kelas dunia. Jumlah ilmuwan yang terlahir dari Eropa/Amerika sangat timpang jauhnya dibandingkan dari Asia.
>
>Bukti kegagalan sistem pendidikan Asia dalam menelurkan talenta saintifik berlimpah ruah. Benar bahwa Asia, terutama Asia Timur, digambarkan kuat dalam menyerap pengetahuan yang ada dan dalam mengadaptasi teknologi yang sudah ada (maklum, mereka canggih dalam mengingat). Akan tetapi Asia gagal membuat kontribusi orisinil terhadap ilmu-ilmu dasar. Hingga kini tidak ada temuan-temuan ilmiah berarti dari Asia. Kemajuan besar dalam sains dan teknologi yang digapai negeri-negeri Asia tidak ada yang merupakan karya orisinil Asia: nyaris semuanya merupakan adaptasi teknologi dari negeri-negeri barat. Padahal, negeri-negeri barat sempat cemas dengan besarnya investasi negara-negara Asia terhadap dunia pendidikan yang jumlahnya jauh melebihi investasi mereka. Dikuatirkan mereka bakal terkejar dan lantas tertinggal dari Asia dalam satu atau dua dekade saja. Akan tetapi, ternyata mereka tak perlu risau lagi. Investasi pendidikan besar-besaran negara-negara Asia
telah gagal karena kesalahan Negara-negara itu dalam membangun budaya pendidikannya. Kini, Asia tetap tertinggal di belakang.
>
>Indonesia agaknya tidak belajar dari kegagalan investasi pendidikan di negara-negara Asia lain. Pendidikan Indonesia saat ini ikut-ikutan berorientasi pada skor-tes. Konkretnya, skor-tes saat ujian nasional menjadi syarat mutlak kelulusan. Lantas, di mana-mana di berbagai sekolah di seluruh penjuru negeri, orientasi pengajarannya hanya agar para peserta didiknya berhasil melewati ujian nasional. Bulan-bulan menjelang ujian, berbagai mata pelajaran yang tidak diujiankan akan dihapus dari jadwal. Latihan tes ditekankan. Berbagai les diselenggarakan. Maklum, sekolah akan dianggap gagal jika tidak berhasil meluluskan siswa-siswanya dalam ujian nasional. Para politisi pun beramai-ramai memanasi suasana dengan `memaksa' para sekolah di daerahnya untuk bisa meluluskan siswa-siswanya, apapun caranya. Sebab, skor-tes ujian nasional di suatu daerah juga menjadi citra daerah itu. Lantas tak mengherankan jika muncul berbagai macam kecurangan untuk mengatrol nilai
para siswa agar bisa lulus ujian.
>
>Pendidikan yang berorientasi skor-tes menjadi berkah tersendiri bagi industri persiapan tes. Industri itu akan menjadi industri pendidikan yang paling menjanjikan. Potensinya luar biasa besar. Dengan jumlah pelajar yang hanya kurang dari 20% dari jumlah pelajar di Indonesia, industri persiapan tes di Korea Selatan telah menuai kapitalisasi senilai 146,7 triliun rupiah. Bayangkan besarnya potensi pasar industri persiapan tes di Indonesia, potensinya bisa diduga ratusan triliun rupiah. Anda tertarik?
>
>Buah yang akan dituai dari budaya pendidikan berorientasi skor-tes sangat jelas, seperti ditunjukkan negara-negara Asia lain yang telah gagal: ketidakmampuan menghasilkan ilmuwan. Maka, selamanya, selama budaya pendidikan itu tak diubah, Indonesia tak akan pernah mampu menjadi pelopor di bidang sains dan teknologi. Indonesia hanya akan menjadi pengekor karya ilmiah negeri-negeri lain, seperti selama ini. Masih mending negara-negara Asia lain, seperti Korea, Taiwan, China, Singapura dan Jepang yang mampu membuat adaptasi teknologi sehingga memakmurkan negerinya. Sedangkan kita, mengadaptasi saja tak mampu, apalagi mencipta.
>
>Agaknya pemerintah Indonesia tetap `kekeuh' mempertahankan kebijakan pendidikan skor-tes itu dengan berbagai alasannya. Tapi, pertimbangkanlah ini: jika negeri-negeri semaju seperti Korea, Jepang, Taiwan, Singapura saja telah dianggap gagal menelurkan para ilmuwan (dan dengan demikian gagal menjadi tuan di bidang sains dan teknologi) gara-gara budaya pendidikannya yang berorientasi skor-tes, masa sih kita harus meniru mereka?
>
>Mengutip William K. Lim: "A radical trasformation of the educational culture must happen before homegrown Asian science can challenge Western technological dominance."
>
>Benar kata Tuan Lim, kita memerlukan transformasi radikal dalam pendidikan kita, atau kita akan terus menjadi negeri tak dianggap siapa-siapa.
>
Read More......

JK: Tak Perlu Eksperimen Lewat RSBI!

JAKARTA, KOMPAS.com — Di tengah tuntutan masyarakat untuk menghentikan program rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan upaya pemerintah mengevaluasinya, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla ikut memberikan pendapatnya seperti yang disampaikan dalam pidato ilmiah penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa untuknya di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Kamis (17/3/2011). Menurut Kalla, pemerintah tak perlu melakukan eksperimen pada sistem pendidikan melalui RSBI.

”Pendidikan merupakan tempat dan lokus yang sangat strategis untuk menyemai dan menanamkan berbagai nilai sejak waktu paling dini dan berkelanjutan sesuai jenjang pendidikan yang ada,” ucap JK.

Pada Kamis (17/3/2011), Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) itu dianugerahi gelar kehormatan Doktor Honoris Causa bidang pendidikan dan kewirausahaan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Kamis (17/3/2011). Penghargaan diserahkan langsung oleh Rektor UPI Bandung Prof Sunaryo.

”Dalam konteks ini, pendidikan dasar semestinya lebih berorientasi ke dalam, tidak berorientasi ke luar melalui eksperimen semacam sekolah bertaraf internasional yang menggunakan bahasa asing,” ujarnya.

Kalla mengatakan, banyak hal yang harus dilakukan untuk memajukan ekonomi Indonesia dan belum saatnya puas terhadap berbagai kemajuan ekonomi yang telah dicapai. Oleh karena itu, perlu perjuangan sungguh-sungguh dan terus- menerus untuk lebih memajukan ekonomi dalam rangka mewujudkan martabat bangsa.

”Saya yakin dengan kemajuan ekonomi yang mendorong berbagai bidang kehidupan lainnya, bangsa kita bisa memiliki kebanggaan diri dan martabat baik ke dalam maupun ke tengah pergaulan antarbangsa. Karena itulah, kita perlu mengoreksi dan meluruskan arah pembangunan ekonomi ke arah self-esteem dan dignity, rasa harga diri bangsa,” ujarnya.

Seperti diberitakan, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengaku dirinya memahami kritik dan protes masyarakat mengenai RSBI, terutama kesan RSBI eksklusif hanya untuk ”anak orang kaya” yang dikuatkan dengan biaya tinggi. Padahal, RSBI tetap sekolah publik yang harus mengalokasikan 20 persen untuk siswa dari keluarga kurang mampu.

Untuk itu, Pemerintah akan merombak konsep dasar dan penyelenggaraan RSBI yang dinilai tak sesuai lagi dengan harapan dan ide awal. Institusi pendidikan salah menerjemahkan kualitas dengan label ”internasional” dan menggunakan pendekatan kelas serta menafsirkan metodologi pengajaran dengan bahasa asing sebagai bahasa pengantar.

”Tidak penting namanya apa, internasional atau nasional. Masyarakat inginnya institusi pendidikan berkualitas. Jangan pakai nama internasional kalau jiwanya belum internasional,” kata Nuh seusai pembukaan Rembuk Nasional Pendidikan Tahun 2011 di Bojongsari, Depok, Jawa Barat, Rabu (16/3/2011) kemarin.
Read More......