Bubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Jumat, 30 Oktober, 2009 00:44

Bentuk Komisi Pencegahan Korupsi Saja (KPKS) Ya Pak SBY?
menurunkan berita ”SBY : Berantas Korupsi Jangan Jebak Orang” dengan subjudul
"Negara rugi. Belum tentu yang dikorupsi bisa kembali," kata
SBY pada tanggal 29 Oktober kemarin. Seperti dikutip VIVAnews SBY mengatakan
pula” "(Jalan) masih panjang. Tapi tidakkah makin efektif. Dan bagi saya
adalah mencegah korupsi. Jangan menjebak seseorang,". VIVAnews juga
menuliskan ”Cara pemberantasan korupsi dengan penjebakan, kata SBY, merupakan
upaya yang kurang untuk mencegah terjadinya korupsi”. Pertanyaan semacam ini
sebenarnya bukanlah yang pertama kali, tapi sudah yang kesekian kalinya.


Saya spontan bertanya apakah pernyataan SBY bisa
dikategorikan sebagai tindakan pelemahan atau pembusukan KPK? Saya juga
bertanya-tanya dengan gelisah, apakah ini juga bisa dikatakan sebagai indikasi
bahwa SBY punya kepentingan melindungi para koruptor (impunitas)?

Seperti
disampaikan Tenten kepada pers (Media Indonesia.Com 15 Juli 2009) sebenarnya
masyarakat berharap Presiden bisa memperkuat fungsi dan peran KPK untuk
memproses kasus korupsi yang terjadi di institusi mana pun. Sayangnya kesan
yang muncul ke publik justru sebaliknya. Penggunaan frase seperti KPK jangan
jebak koruptor, sebaiknya prioritaskan pada pencegahan korupsi, dan jangan
sampai ada rivalitas antarpenegak hukum menimbulkan kekhawatiran baru.

Kedua,
saya berpikir rupanya ada yang tidak
cermat memahami (atau bahkan mengabaikan)
UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
terutama pada bab yang mengatur tugas,wewenang kewajiban. Sebagai catatan UU
No. 30 2002 tegas-tegas menyatakan bahwa ini adalah Undang-undang tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan Komisi Pencegahan Tindak
Pidana Korupsi (Saja)

Selengkapnya



http://lenteradiata sbukit.blogspot. com/2009/ 10/kajian- pidato-presiden- kekuasaan- minus.html
Read More......

Cicak-cicak Bersatulah dan/atau Tikus-tikus Bersatulah

Reformasi atau
Transformasi?



SBY Kecewa
National Summit ‘Dikalahkan” KPK, begitu judul berita di VIVAnews. Saya Juga
Kecewa Pak SBY (dengan alasan berbeda) karena National Summit adalah ajang
legitimasi politik rencana membuka pintu penghisapan sistematik paling kolosal
sejak Republik didirikan. Ini SKANDAL TERBESAR TAHUN INI!



Dalam salah satu
orasi oleh wakil organisasi pendukung
aksi mendukung KPK kemarin (2 Nopember 2009) di Depan Istana,
diteriakkan bahwa korupsilah yang menyebabkan rakyat miskin.



Tidak ada
keberatan tapi jangan dilupakan bahwa sumber utama kemiskinan rakyat adalah
penghisapan dan penjajahan sistimatis oleh kuasa modal atas negeri yang
kaya-raya ini. Tikus Mati di
Lumbung Padi!. Inilah persoalan terbesar di negeri ini.



Pemberantasan
Korupsi Harus Didukung, Penghisapan dan Penjajahan Baru (serta Antek-anteknya)
Harus Dilawan. Mas Teten Masduki menulis “Cicak-cicak Bersatulah”, saya menulis
“Tikus-Tikus Bersatulah”.



Bila dukungan
terhadap Bibit dan Chandra, KPK, Gerakan Lawan Korupsi di facebook (sebagai
salah satu contoh perlawanan) dengan cepat membesar dan beranak pinak, kenapa
soal perlawanan atas penghisapan dan penjajahan negeri dari ujung mouse tidak
kunjung menjadi masif dan beranak pinak?



Adakah ini soal
jarak dan senjang antara gerakan reformis dan gerakan radikal/revolusione r/transformatif?
Gerakan perubahan sosial tanpa perombakan struktur dan sistim sosial, dengan
gerakan perubahan sosial dengan perombakan struktur dan sistim sosial? Lepas dari itu bagi saya gerakan melawan buaya
dan godzilla ini adalah momentum untuk sampai kepada kesadaran gerakan yang
trasformatif atau revolusioner. Atau gerakan tetap berhenti pada wataknya yang reformis.





Skandal National
Summit Dan Rakyat Yang Selalu Terjepit



Obral Paling
Kolosal Sejak Republik Berdiri



Siaran Pers
Bersama, 30 Oktober 2009



WALHI, KIARA,
JATAM, ICEL, KAU, Institute Hijau Indonesia, Reform Institute, LIMA



(tertanda :
Hendri Saparini, Teguh Surya, Riza Damanik, Siti Maimunah, Chalid Muhammad,
Yudi Latif, Ray Rangkuti, Dani Setiawan, Rino Subagio)





National Summit,
yang diselenggarakan sebagai ajang bagi Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Dua
mendengarkan keluh-kesah para kuasa modal domestik dan asing, sungguh merupakan
skandal terbesar tahun ini. Summit yang berlangsung pada 29-31 Oktober 2009,
telah menempatkan ihwal keselamatan Rakyat diposisi terendah dibanding hasrat
untuk melayani kepentingan modal oleh rezim SBY-Boediono. Bahkan secara nyata
National Summit menjadi ajang pemberian dukungan politik dan hukum secara penuh
dari kekuasaan terhadap sebuah rencana sistematik paling kolosal sejak Republik
Indonesia didirikan untuk membuka seluas-luasnya pasar obral tanah, kekayaan
alam dan buruh.



Lebih dari empat
dekade rejim pengerukan dan pengurasan bahan tambang, minyak dan gas, hutan dan
perkebunan, kelautan dan perikanan, secara blak-blakan mamamerkan tanpa rasa
malu ketergantungan Indonesia pada kekuatan ekonomi negara asing,
lembaga-lembaga keuangan internasional, serta kekuatan korporasi multinasional
dan transnasional. Tanah tergerus, kekayaan alam menyusut, pemiskinan terus
berlanjut, dampak bencana semakin menghebat dan Indonesia pun menjadi salahsatu
negara penghutang terbesar di dunia.

Selengkapnya

http://lenteradiata sbukit.blogspot. com/2009/ 11/cicak- cicak-bersatulah -atau-tikus- tikus.html
Read More......

Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Nasional

Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Nasional

Dasar Pemikiran

Kalau kita merujuk atau mengikuti reportasi pendidikan media cetak
sungguh membuat hati menjadi miris dan menyesakkan dada. Bayangkan
berita tersebut selalu menyudutkan, mutu pendidikan Indonesia sangat
rendah. Dari hasil laporan penelitian International Education
Achieviement (IEA), menyatakan kemampuan membaca untuk tingkat SD saja
Indonesia terpuruk dalam urutan 38 dari 39 peserta studi. Sedangkan
kemampuan daya serap matematika siswa SLTP kita masuk urutan ke 39 dari
42 negara peserta. Begitu juga untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam
(IPA) Indonesia masuk ke dalam urutan 40 dari 42 negara peserta. Laporan
ini mengindikasikan secara umum kemampuan daya serap siswa kita sangat
lemah.

Apalagi, kalau kita mau melongok praktek pembelajaran di kelas sungguh
memprihatinkan. Coba bayangkan, dalam praktek proses pembelajaran di
kelas terlihat persentasi anak yang menguasai materi pembelajaran sangat
kecil sekali. Kalau boleh dibilang anak mampu melakukan proses
pembelajaran dengan benar hanya 10-20 % saja. Itu pun siswa yang
dikategorikan anak pintar atau anak cerdas saja. Apalagi, kalau SDM
gurunya sangat rendah, bagaimana pula output yang dihasilkannya?

Secara umum, jika kita telaah lebih lanjut masalah rendahnya kemampuan
daya serap siswa, ternyata sebahagian besar bersumber dari masalah
internal dari siswa itu sendiri. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan R.L. Mooney dan Mary Alice Price di Amerika,
menyatakan ada 2 kesukaran yang paling menonjol atau paling banyak
dialami pelajar, yaitu:

1. Tidak tahu bagaimana cara belajar yang efektif (don't know
how to study efektively)

2. Tidak dapat memusatkan perhatian dengan baik (unable to
concentrate will).

Selama ini, dalam praktek pengajaran selalu saja timbul kegamangan dan
dilematis. Kesalahan atau ketidakefektifan pemilihan metoda pengajaran
oleh guru tentu berdampak signifikan terhadap pola belajar siswa kita.
Metoda pengajaran yang tidak memberi peluang partisipasi aktif siswa
secara optimal tentu memberi out put yang rendah dan tidak berkualitas
pula. Kondisi belajar seperti ini menyebabkan siswa kita terperangkap
pada metoda belajar klasik dalam menjalankan aktivitas belajarnya, yaitu
terpaku pada metoda belajar menghafal. Padahal, metoda klasik tersebut
hanya membuat siswa hanya pintar membeo dan tataran pengetahuan yang
diperolehpun sangat dangkal, yaitu ingatan belaka. Pada anak mudah
sekali kehilangan gairah belajar. Apalagi anak dihadapkan pada beban
materi pelajaran yang didrillkan itu terlalu sarat. Hal ini membuat anak
terbelenggu dan kehilangan kebebasan untuk belajar. Anak senantiasa
mudah sekali dihinggapi oleh rasa jemu dan rasa bosan dalam belajar.
Kemampuan konsentrasi belajar anak pun hanya mampu bertahan antara 10-20
menit saja setiap mengikuti satu mata pelajaran.

Ketidak mampuan anak membangun intensitas konsentrasi
belajar ini, sehingga bagaimana mungkin anak mampu menguasai materi
pelajaran secara utuh. Dengan demikian bagaimana anak mampu
mengoperasionalkan ilmu pengetahuan yang dihadapkan padanya. Hal seperti
ini membuat wajar, jika mutu produk pendidikan kita sangat rendah.
Harapan untuk membentuk kompetensi siswa pun seperti panggang jauh dari
api.

Faktor kesulitan yang terbesar yang dihadapi setiap guru di negeri ini
adalah bagaimana menyiapkan siswa untuk melakukan proses pembelajarannya
dalam arti belajar dengan benar dan sungguh-sungguh. Mengingat jumlah
siswa yang dihadapi cukup besar, alokasi waktu pembelajaran terbatas dan
sarana/prasarana pun cukup terbatas. Sehingga sangat sulit menciptakan
partisipasi siswa secara aktif seluruh siswa untuk melakukan
pembelajaran. Secara ideal proses belajar itu dapat dikatakan terjadi,
apabila ada proses penggalangan aktivitas keterlibatan
intelektual- emosional seluruh siswa dalam belajar. Guru diharapkan mampu
mendesain materi pelajaran, sehingga mempunyai daya tarik atau daya
magis yang menggairahkan dan menimbulkan antusias siswa untuk
mempelajari pelajaran lebih lanjut, misalnya menyiapkan alat peraga yang
menarik.

Metodologi Belajar Praktis dan Efektif

Oleh karena itu, sebagai konstribusi yang perlu diperhitungkan dan harus
ada adalah sebuah panduan metodologi belajar bagi siswa. Selama ini
dirasakan belum adanya panduan yang riil untuk membantu siswa mengetahui
bagaimana belajar itu harus dilakukan. Bagaimana cara-cara merespon
stimulus yang dihadapkan padanya, merencanakan belajar dan sistematis
belajar, baik belajar dalam bimbingan guru maupun belajar mandiri.
Bagaimana anak membangun proses penalaran, sikapnya dan psikomotornya.

Kalau kita merujuk pada visi pendidikan yang dirumuskan UNESCO dapat
diketahui, bahwa pendidikan adalah mendidik anak untuk belajar berpikir,
belajar hidup, belajar menjadi diri sendiri, belajar untuk belajar
hidup. Hal ini menunjukkan subjek didik menyadari proses pendidikan
berarti belajar mengendalikan, mengarahkan, menggerakkan dan menyetir
pikiran, sikap maupun psycho motornya untuk mencapai tujuan tertentu
atau menjadi tertentu. Anak belajar tidak hanya mengetahui sebuah
informasi saja, namun mengetahui makna mengapanya dan bagaimananya
sesuatu yang dipelajari, sehingga kompetensi anakpun terbangun
sebagaimana yang dikehendaki.

Untuk dapat mengorganisir jalan pikiran, mengendalikan pikiran,
mengarahkan pikiran, sikap dan psikomotor dengan baik dalam belajar,
siswa mutlak membutuhkan metodologi belajar yang efektif. Metodologi
belajar tersebut menjadi "alat" atau "kail" yang
mengatur dan mengorganisir step by step jalan pikiran yang digunakan
untuk menangkap, mengamati, mencerna, menginterpretasikan , menafsirkan,
merangkai dan menyimpulkan ilmu pengetahuan dengan baik. Dengan kata
lain, anak dengan alat tersebut dapat mengerti apa yang dipelajarinya,
mengetahui bagaimana mempelajarinya dan mampu mengoperasionalkan ilmu
yang diperolehnya.

Tentu kita semua mengharapkan siswa memiliki metode belajar yang efektif
sebagai panduan pengarahan fokus pemikiran, sikap dan psycho motornya
dalam belajar untuk mengurai dan menjelaskan atas objek yang dipelajari.
Dengan alat tersebut siswa mampu menangkap dan memahami bentuk bentuk
operasional yang menghubungkan antarunsur atau bagian yang dipelajari
secara menyeluruh membentuk sebuah pengertian atau maksud. Dengan metode
tersebut membantu menjembatani komunikasi timbal-balik antara siswa
dengan pemberi stimulus belajar (guru). Pada diri siswa pun terus
terpacu untuk membangun jalan pikirannya untuk menjadi atau menguasai
sesuatu hingga tuntas. Dan yang lebih essensial lagi pada siswa sadar
akan dirinya yang belajar, sehingga belajar dilakukan dengan penuh
larutan kegembiraan untuk belajar.

Demikianlah sumbang-saran ini disampaikan dengan maksud sebagai bahan
masukan pemikiran begitu "urgen"nya sebuah panduan metodologi
belajar bagi siswa dalam meningkatkan prestasi dan mutu pendidikan di
Indonesia. Semoga, MENDIKNAS yang baru mau memikirkan, menyusun dan
menggerakkan pengembangan metodologi belajar bagi siswa sekolah di
Indonesia. Jika dibutuhkan, saya bersedia menyumbangkan buah pikiran dan
bekerjasama dalam mempersiapkan metodologi belajar yang efektif untuk
siswa agar kualitas pendidikan di Indonesia dapat ditingkatkan.

Wasalam,

Hendra Surya
Read More......

Belanja TI tembus Rp100 triliun

JAKARTA: Belanja teknologi informasi Indonesia sepanjang tahun lalu mencapai Rp100 triliun yang didominasi oleh produk TI buatan luar negeri.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring mengatakan pemerintah akan terus mendorong peningkatan kandungan lokal dalam produk peranti keras dan peranti lunak teknologi informasi.

"Sangat disayangkan apabila nilai bisnis sebesar itu lari semua ke luar negeri. Pemerintah berjanji akan menelurkan kebijakan-kebijakan yang mendukung industri manufaktur lokal," ujarnya di sela-sela pembukaan pameran komputer Indocomtech 2009 kemarin.

Pemerintah sebenarnya sudah mulai memperhatikan industri manufaktur lokal, di antaranya dengan menerapkan kewajiban kandungan dalam negeri pada penyelenggaraan telekomunikasi seluler generasi ketiga (3G) dan broadband wireless access (BWA) atau WiMax.

Selain mengembangkan manufaktur teknologi informasi lokal, pemerintah juga segera mewujudkan Indonesia interconnection pada 2014 berupa keterhubungan yang sinergis antara infrastruktur dan layanan telekomunikasi di seluruh Tanah Air.

Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui pembangunan jaringan serat optik Palapa Ring tahap ke-2 yang menghubungkan daerah-daerah di wilayah timur Indonesia.

"Saat itulah masyarakat bisa berkomunikasi di mana saja dan kapan saja dengan harga yang terjangkau. Saat ini pemerintah menilai penetrasi di sektor TI dan telekomunikasi masih sangat rendah," tutur Menkominfo.

Berdasarkan catatan Depkominfo, penetrasi komputer di seluruh Indonesia baru sekitar 1,4% dari jumlah penduduk, adapun penetrasi Internet hanya sekitar 16%.

Yayasan Apkomindo Indonesia (dulu Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia/Apkomindo ) mendukung program pemerintah yang ingin meningkatkan penetrasi komputer dan Internet di Indonesia.

Salah satunya adalah bersedia mendukung dalam hal pengadaan komputer murah untuk program 1 kecamatan 1 komputer.

Konten Internet

Terkait dengan penetrasi Internet, Tifatul tak menutup mata masih banyaknya masyarakat Indonesia yang mengakses pornografi di Internet. "Saya malu mendengar Indonesia merupakan pengakses terbesar situs pornografi," katanya.

Menurut dia, konten atau informasi yang ditawarkan di Internet tak seluruhnya pantas dan harus dikonsumsi, karena ada juga yang seharusnya dihindari, atau konten sampah.

Hanya saja ketika ditanya apa langkah konkret pemerintah untuk meminimalisasi pornografi di dunia maya ini, Tifatul masih berharap pada pendekatan preventif, yaitu hanya sebatas imbauan atau sosialisasi kepada masyarakat. "Pemerintah sudah memiliki Program Internet Sehat dan Aman [Insa]," katanya.

Menurut catatan Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia (BRTI), lebih dari 90% pengakses Internet sekarang memanfaatkan jaringan bergerak, apalagi kini harga handset jauh lebih terjangkau.

Pelanggan Internet di Tanah Air diprediksikan mencapai 50 juta dan 11,5 juta di antaranya melakukan askes Internet melalui ponsel. (arif.pitoyo@ bisnis.co. id)

Oleh Arif Pitoyo
Bisnis Indonesia
Read More......

Pemilik Moge Kemplang Pajak, Pemprov Jatim Dirugikan Miliaran Rupiah

Sinyalemen motor gede (moge) selundupan masuk Jatim mencuat lagi. Ini
setelah Pemprov Jatim mengaku dirugikan miliaran rupiah, karena banyak
pemilik moge seperti Harley Davidson tak pernah membayar pajak
kendaraan bermotor pribadi (PKBP). Moge itu diduga bodong alias ilegal
ini banyak beredar di Jatim.

Dikatakan bodong, karena moge itu tanpa dilengkapi STNK dan BPKB. Data
di Dinas Pendapatan Pemprov Jatim, moge yang terdaftar hanya 256 unit.
Rinciannya, tahun pembuatan 2007 tercatat 95 unit, tahun 2008 sebanyak
76 unit, dan produksi 2009 terdaftar 85 unit.

"Perkiraan kami moge liar jumlahnya mungkin lebih besar dibandingkan
yang terdaftar," kata Kepala Dinas Pendapatan Provinsi Jatim, Made
Sutarya, Minggu (25/4).

Harga moge ini cukup mahal, antara puluhan hingga ratusan juta.
Sehingga pajak moge juga cukup besar. Kata Made, minimal Rp 3 juta
hingga 8 juta per tahun. Semisal jenis Harley Davidson FLHX pajaknya Rp
5.094.000, sedang Harley Davidson Cruise Rp 8 juta lebih. “Pajak dari
moge ini yang masuk tidak sampai miliaran rupiah. Hanya ratusan saja.
Ini tidak bisa dibiarkan," tandasnya

Sepertoi diketahui Pemprov Jatim memastikan tidak akan menaikkan Pajak
Kendaraan Bermotor Pribadi (PKBP) jenis roda dua alias masih 1,5
persen. Serta, tidak memasukkan roda dua dalam golongan kendaraan
bermotor terkena pajak progresif. Alasan pemprov untuk tidak menaikkan
PKBP roda dua dan tidak memasukkannya ke dalam jenis kendaraan terkena
pajak progresif, karena pemprov menyadari belum bisa optimal
menyediakan sarana transportasi dan lalu lintas yang optimal bagi
masyarakat.

Penelusuran Surabaya Pagi, banyak pemilik moge di Surabaya mendapatkan
moge ini dari black market (pasar gelap). Mereka memilih black market
karena harganya lebih hemat sekitar Rp 100 jutaan per unit. Anehnya,
moge ini tak dilengkapi STNK dan BPKB. “Sekitar tahun 2000 dan
sebelumnya, hampir semua moge di Indonesia dibeli di black market. BPKB
dan STNK ada kok, tapi STNK-nya dari Ikatan Motor Besar Indonesia
(IMBI),” aku salah seorang penggemar motor gede di Surabaya.

Untuk mengurus biaya satu STNK Moge, jenis Harley-Davidson misalnya,
dia menghabiskan biaya sekitar Rp 100 juta. “Tapi sejak ada ATPM yang
masuk, urusan STNK ditangani dealer. Bukan melalui IMBI lagi,” ungkap
pria yang memiliki Yamaha Dragstar-600.

Sejumlah advokat di Surabaya yang memiliki moge membenarkan beredarnya
moge bodong di Jatim. Advokat Bambang Sugeng, SH, misalnya. Kata dia,
kasus moge bodong sebenarnya sudah lama terjadi. “Tapi di kota-kota
besar di Indonesia sudah ada agen resmi moge, termasuk di Surabaya.
Saya pikir sudah minim yang bodong,” ucap Bambang yang juga Dewan
Penasehat Guardian Angel Jatim, salah satu organisasi moge. Dia
mengusulkan moge yang bodong diputihkan saja, seperti di Bali.

Abdul Salam, SH juga menyatakan sama. Advokat yang biasa menangani
perkara korupsi ini meminta agar kesalahan tidak ditimpakan ke pemilik
moge. Tapi juga instansi terkait seperti Bea Cukai, sebagai lembaga
resmi pengatur keluar-masuknya barang impor. “Bagaimanapun barang
tersebut masuk kan lewat Bea Cukai,” ujar pengacara yang pernah aktif
sebagai anggota Motor Besar Club (MBC) ini.

Dirlantas Polda Jatim Kombes Pol Sambudi Gusdian mengakui banyak moge
lama tak berani ke jalan karena mereka pasti tak memiliki dokumen
resmi. Pihaknya tidak akan mengeluarkan STNK dan BPKB bagi moge bodong.
“STNK dan BPKB itu sifatnya seumur hidup saya tak bisa keluarkan jika
tak prosedur,” tegas Kombes Pol Sambudi, dihubungi via ponselnya, tadi
malam.

Untuk mengurus moge harus ada form A (surat impor dari Bea Cukai).
Kemudian, didaftarkan buat TPT (tanda pendaftaran tipe). Setelah itu,
baru bisa diurus STNK dan BPKB-nya. “Seharusnya Bea Cukai dan Dinas
Pajak yang melakukan penindakan. Apakah pengiriman barang tersebut
memenuhi prosedur atau tidak,” cetus dia. n

http://www.surabaya pagi.com
Read More......

Gerakan Pejuang Penghapusan Surat Ijo Surabaya

Surat Ijo Dr Suparto Wijoyo - Ketua Departemen Hukum Administrasi Universitas Airlangga

TANGGAL 25 April 2010 kemarin saya harus
memprioritaskan acara di ”Gerakan Pejuang Penghapusan Surat Ijo
Surabaya” yang diselenggarakan di Kapal Wicitra dengan sedikit abai
pada dua undangan lainnya dalam waktu yang sama. Acara surat ijo sangat
menyentuh dan menyentak batin serta moralitas warga kota yang sekian
lama tidak diperlakukan dengan benar oleh pemerintahnya.

Saya sendiri memang tidak menjadi bagian dari warga kota yang memiliki
surat ijo, tetapi menaruh empati dan energi untuk turut larut dalam
perjuangannya yang tidak dipedulikan kekuatan politik yang mengusung
tema perjuangan pula yang sudah sekian lama berkuasa. Mendapatkan apa
yang menjadi haknya mestinya tidak perlu diperjuangkan sedemikian lama
waktunya dan mahal modal ruhaninya apabia pemerintah kota waras dalam
ukuran demokrasi. Hal ini tercermin jelas bahwa pemerintah kota lebih
enjoy mempersulit warga daripada memberikan fasilitasi kemudahan
mengenai surat ijo.

Pemerintah kota mengapa sedemikian rapuh dan keroposnya dalam ukuran
layanan untuk membantu melegalisasi soal kepemilikan lahan surat ijo
pada warganya. Pemerintah kota bukan sebagai pemilik tetapi hanya
sebagai manajer yang sepatutnya memberikan apa yang menjadi hak
warganya. Pemerintah kota itu dibentuk adalah untuk memberikan
perlindungan dan pelayanan kepada warga dan bukan untuk saling beradu
kuat dengan warganya. Aneh sekali dalam kehidupan kita berpemerintahan
tatkala antara warga dan pemerintah kota saling gugat dan bangga
apabila rakyatnya menjerit kesakitan. Kondisi gugat-menggugat itu
menandakan bahwa antara rakyat dan pemerintah sudah tidak saling
percaya. Ini adalah kecelakaan demokrasi yang paling serius di kota
surabaya. 100% ini masalah, bukan yang lain. He he he ikutan
iklan-iklan lamis janjine.

Persoalan surat ijo sebenarnya adalah persoalan sepele yang dianggap
penting oleh kekuasaan. Sepele karena ini menyangkut hak warga untuk
diteguhkan oleh negara. Tetapi pemerintah kota merasa ini miliknya yang
berat untuk dilepaskan kepada warganya. Kalau saya sendiri sih
sederhana: apa susahnya memberikan warga apa yang sepatutnya diberikan
oleh negara andai saja itu memang miliknya. Padahal menurut hukum
pertanahan jelas bahwa masalah surat ijo bukan soal kepemilikan hak dan
pelepasan hak yang bermuara pada pemerintah kota.

Seputar surat ijo akhirnya merembet ke masalah politik. Maka tepatlah
kalau Cak Fandi Utomo dan Cak Fitra kemarin datang dengan memberikan
komitmen untuk penuntasan surat ijo. Komitmen politik dan pemerintahan
sudah diucapkan oleh kedua kandidat walikota ini. Komunikasi mengenai
surat ijo dapat menjadi elemen yang mampu mendobrak kebekuan
pemerintahan yang lalai atau menyepelekan tentang nasib warganya. Apa
susahnya pemerintah memfasilitasi untuk menjadikan wilayah surat ijo
menjadi hak milik warga?

Walikota itu dipilih dan diberi amanat untuk memimpin pemerintahan
dengan cita dasar untuk memberikan apa yang terbaik bagi warganya.
Ombyokan warga surat ijo terus melakukan gerakan agar pemerintah kota
mengerti bahwa ada derita warga di sebuah kota yang dibilang maju ini.
Tampaknya kepemimpinan selama ini belum melihat msalah surat ijo itu
penting dan menyangkut hajat hidup warga. Apakah memang walikota selama
ini tidak merasa memiliki warga yang memegang surat ijo? Bukankah soal
penghijauan selalu digalakkan oleh rezim yang berkuasa dewasa ini, tapi
soal ijonisasi surat ijo tampaknya salah alamat. Apakah ada calon
walikota yang mau menuntaskan surat ijo? Jawabnya ada. Siapakah dia,
saya pikir warga pemegang surat ijo tahu siapa yang mau menghadiri
undangan mereka kemarin itu. Itupun apabila mereka tidak lupa karena
banyaknya janji yang selalu dikampanyekan. Harapan telah ada bukan?
Salam

http://www.surabaya pagi.com/
Read More......

SERI GURU IDOLA 2 - Semua Siswa Itu Cerdas

Suatu hari di sebuah sekolah sedang diadakan pertemuan internal para pengajar yang
dipimpin langsung oleh sang kepala sekolah. Mereka sedang membahas pengunduran
diri seorang wali kelas dari kelas yang mereka sebut sebagai “kelas anak-anak
nakal”. Ini adalah kali kelima dimana wali kelas yang bertugas di kelas itu
mengundurkan diri. Dalam rapat, dibahas tentang calon-calon pengganti wali
kelas itu dan solusi untuk mengelola kelas tersebut. Saat satu persatu diminta
untuk menggantikan menjadi wali kelas, spontan semua guru dengan tegas
menolaknya. Tidak ada satupun yang bersedia untuk menjadi wali kelas di kelas
tersebut. Karena mereka tahu kelas tersebut adalah kelas yang paling susah
diatur, siswanya sering membantah perintah guru, sering keluar kelas saat jam
pelajaran berlangsung, sering membuat gaduh dikelas, bahkan beberapa kaca
sekolah pecah karena mereka bermain sepak bola didalam kelas. Mereka yang
menolak malah memberikan beberapa usulan.
Ada yang mengusulkan untuk dilebur dengan kelas lain, ada yang mengusulkan untuk dititipkan disekolah lain sebagai kelas titipan, ada yang mengusulkan untuk memindahkan kelas tersebut ke sekolah lain.

Kemudian kepala sekolah menutup rapat hari itu dengan keputusannya, “Baiklah, usulan
rekan-rekan akan saya pertimbangkan, kita berikan satu kesempatan lagi,
kebetulan minggu depan kita akan kedatangan seorang guru baru, mungkin ia bisa
mengelola kelas ini, jika yang terakhir ini juga tidak bisa maka akan kita
pilih salah satu opsi dari usulan rekan-rekan tadi. Dan untuk mengisi
kekosongan, maka dalam satu minggu kedepan biar saya yang akan menangani
langsung kelas ini”. Semua guru menyetujui keputusan itu, walaupun dalam
kondisi keraguan mereka terhadap sang guru baru, mengingat guru-guru senior
disekolah itu saja tidak mampu untuk mengelola kelas tersebut.

Seminggu kemudian datanglah sang guru baru, tanpa diberitahukan tentang kondisi kelas ia langsung diminta oleh kepala sekolah untuk menjadi wali kelas di kelas
tersebut. Ia hanya diberikan daftar nama dan absensi siswa di kelas tersebut.
Pak Ahmad nama guru baru itu. Ia menerima tugas tersebut dengan senang hati. Ia
mulai mempelajari kondisi kelas, diperhatikannya daftar nama yang baru ia
terima. Abadi Putra 132, Ajat Sudrajat 129, Anwar Sanusi 125, Amelia Santi 137,
Budi Baskoro 123, Cahya Arisanti 135. Ia mengamati satu persatu nama tersebut
hingga nama terakhir. “Hmm, semua IQ nya diatas rata-rata, tidak ada yang
rendah, sepertinya akan mudah”, gumamnya setelah membaca daftar nama siswa.

Pak Ahmad memulai hari dengan gembira, karena mulai hari ini ia akan belajar dengan
siswa-siswi yang cerdas. “Pasti hari ini akan menyenangkan” ujarnya. Hari
pertama mengajar, Pak Ahmad kerepotan dengan kegaduhan dikelas dan beberapa
siswa yang suka membantah. Esoknya ia berpikir, “Hmm, mungkin anak-anak cerdas
memang membutuhkan penyaluran keinginan untuk berpendapat”. Ia kemudian membuat
sebuah forum diskusi santai, dan para siswa antusias mengikutinya karena mereka
tidak dilarang-larang lagi untuk berbicara di kelas, semua siswa yang sering
membuat gaduh dan yang suka membantah dapat menyampaikan pendapatnya dalam
diskusi santai itu.

Beberapa hari berikutnya kembali Pak Ahmad kerepotan. Kali ini mengenai mereka yang
sering keluar saat jam pelajaran berlangsung. Ia mulai berpikir, “Hmm, mungkin
anak-anak cerdas sering jenuh jika terlalu lama di kelas”. Akhirnya hari itu ia
membawa anak-anak ke kebun belakang. “Anak-anak kali ini kita belajar di luar
kelas, selain udaranya lebih segar, belajar diluar juga bagus untuk
menghilangkan kejenuhan” begitu kata Pak Ahmad kepada para siswa saat memulai
pelajaran hari itu. Akhirnya beberapa variasi-variasi mengajar mulai ia gunakan
mengingat kebutuhan anak-anak cerdas pasti akan lebih variatif. Mulai dari games
dalam ruangan dan luar ruangan, lomba menyanyi dikelas, pengenalan multimedia,
liputan pandangan mata ke sekolah lain, acara-acara sosial ke masyarakat
sekitar sekolah, bahkan ia sering sekali mengubah jadwal pelajaran karena
melihat kebutuhan para siswa saat itu.

Akhirnya kerja keras Pak Ahmad membuahkan hasil, kelasnya menjadi kelas terbaik saat
hasil evaluasi penilaian siswa dibagikan. Bahkan beberapa orang siswa
dikelasnya menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti beberapa lomba di wilayah
tersebut.

Kemudian kepala sekolah menghampiri Pak Ahmad, “Selamat ya Pak Ahmad, meskipun guru
baru, tapi Anda bisa membawa kelas ini menjadi yang terbaik tahun ini”.

Pak Ahmad menjawab dengan rendah hati, “Bukan karena saya Pak, saya hanya memenuhi
kebutuhan mereka, anak-anak dengan IQ tinggi memang memiliki keinginan yang
lebih banyak”.

Kepala sekolah malah mengernyitkan dahinya, “IQ tinggi..?? darimana Pak Ahmad tahu..?? setahu saya semua siswa disini belum pernah mengikuti Tes IQ”.

Dengan sedikit heran Pak Ahmad berujar, “Loh bukannya angka-angka yang ada disamping
nama-nama mereka itu adalah nilai IQ mereka Pak..?? Saya dapatkan angka-angka
itu dari daftar nama yang Bapak berikan waktu pertama kali saya datang ke
sekolah ini”.

“Hahahaha... Ini yang namanya kesalahpahaman berakibat positif. Angka-angka yang ada disamping nama mereka itu sesungguhnya adalah tinggi badan mereka Pak.
Kebetulan waktu itu mereka baru saja mengikuti pengukuran tinggi badan untuk
keperluan pengambilan data oleh salah seorang mahasiswa yang sedang melakukan
penelitian tentang hubungan tinggi badan dan keaktifan siswa”, kepala sekolah
tertawa setelah mengetahui kejadian itu.

Menganggap siswa bodoh ataupun nakal hanya akan menjebak persepsi kita pada kenegatifan, bahkan kecenderungan untuk mengklaim bahwa mereka tidak akan bisa berkembang. Padahal setiap anak memiliki keistimewaan masing-masing. Tidak ada anak yang bodoh, melainkan hanya belum tergali potensi besarnya, galilah potensi mereka,
kemudian lihatlah apa yang akan Anda dapatkan. Untuk menjadi positif, kita
tidak memerlukan informasi negatif yang terlalu hiperbolis. Atau bahkan
terkadang kita tidak memerlukan informasi negatif sama sekali, jika itu malah
membuat sudut pandang kita melemahkan mereka, kecuali jika kita sangat
memerlukannya untuk melakukan perbaikan terhadap mereka.

Sekarang, masihkah kita menganggap ada siswa bodoh di kelas kita..??
Read More......

Seni Berguru

Posted in http://indonesianlp society.org

Discussed in idnlpsociety- subscribe@ yahoogroups. com



Pak, saya sudah ikut training yang Bapak rekomendasikan. Kok saya nggak dapet apa-apa ya? Biasa aja tuh.

Ted, aku sudah baca buku yang katamu bagus, tapi nothing special tuh.

Mas, saya sudah baca juga buku yang Mas ceritakan tadi. Tapi kok saya nggak bisa mendapatkan pelajaran seperti layaknya Mas ya?

Menyelesaikan kelas 2 hari saya bersama Pak Wiwoho di bulan Maret lalu rupanya menghadirkan sebuah pencerahan yang selama ini menggelitik pikiran saya. Ya, 3 pernyataan di atas hanyalah rangkuman dari sekian banyak fenomena sejenis yang seringkali saya dengar dari beberapa orang yang meminta rekomendasi saya akan berbagai pelatihan atau literatur, yang rupanya belum memuaskan dahaga mereka akan ilmu yang didambakan. Sudah sejak beberapa lama sebenarnya saya merasa tahu jawabannya. Hanya saja, saya baru benar-benar mendapatkan sebuah jalinan ide yang terstruktur tepat setelah mengikuti kelas Pak Wi kembali.

Sisi lain, entah sudah berapa banyak tulisan mengenai seni dan teknik mengajar yang ditulis, namun masih sedikit yang mengeksplorasi seni belajar. Maka meskipun saya tetap tertarik untuk menulis sebuah buku tentang seni menjadi guru, saat ini saya sedang begitu bergairah untuk menulis tentang seni menjadi murid. Sebab memang saya juga belum pernah mendengar ada yang namanya guru mumpuni yang datang ke dunia dengan sendirinya, tanpa pernah berguru pada seorang guru yang mumpuni pula. Maka kesimpulan saya pun sederhana: jauh sebelum menjadi seorang guru yang baik, seseorang mestilah menjadi seorang murid yang baik dulu.

Apa yang ingin saya dapat?

Setidaknya ada beberapa hal yang saya temukan dalam perjalanan saya menjadi murid, dari dulu hingga saat ini. Beberapa hal berikut ini adalah hal-hal yang saya rasakan amat membantu saya dalam proses mendownload ilmu dari sang guru.

Saya biasa memiliki beberapa tujuan dalam belajar, baik dalam hal membaca buku ataupun berguru secara langsung. Dua mode yang sering saya gunakan adalah: belajar tentang materinya dan belajar untuk menjadi trainer bagi materi tersebut. Dua tujuan ini jelas dua hewan yang beda sama sekali, maka salah menggunakan mode bisa menjadikan proses belajar salah sambung berat.

Jika saya ingin belajar materinya, maka saya akan memasang state sebagai murid yang benar-benar bodoh. Meskipun saya sudah pernah mempelajari materi tersebut sebelumnya—dan ini memang selalu saya lakukan—saya kan menyimpannya di rumah dan sama sekali tidak saya bawa ke ruang kelas. Di kelas, saya akan duduk di depan, memasang tubuh tegak, memegang buku catatan, dan membiarkan wajah saya melongo, serta sering-sering berkata, “Oooo...gitu tho?”

Melakukan hal ini akan membuat pikiran dan perasaan saya layaknya spons yang siap menyerap setiap detil ilmu yang diajarkan. Karena saya benar-benar menyingkirkan filter-filter yang menganggu, seperti filter merasa tahu, filter membandingkan, dll. Filter-filter ini baru saya pasang lagi setelah saya benar-benar selesai belajar.

Maka saat menggunakan mode ini, saya benar-benar bisa asyik masyuk belajar, meskipun gurunya begitu menjemukan alias memang kurang atraktif dalam mengajar. Karena setiap hal adalah hal baru bagi saya, maka tidak ada hal yang membosankan, melainkan semuanya adalah pelajaran yang menggairahkan. Saya bahkan sangat jarang bertanya jika sedang dalam mode ini. Saya benar-benar pasrah ilmu yang diajarkan diinstal ke dalam pikiran saya.

Pada intinya, saya selalu mengawali proses belajar dengan benar-benar menjadikan diri saya seorang murid. Dalam khasanah ilmu agama, ada sebuah pakem yang mengatakan, “Seorang murid itu bagaikan mayat di hadapan gurunya.” Alias, pasrah betul, dan benar-benar memposisikan guru selayaknya seorang guru. Hormat pada pribadinya, hormat pada ilmunya. Lepaskan pikiran dari memikirkan kekurangannya, fokuskan hati untuk menerima kemumpuniannya.

Sementara itu, cukup sering juga saya mengulang untuk belajar pada seorang guru, demi mengetahui bagaimana caranya sang guru mengajarkannya. Dalam hal ini, saya memang ingin memodel cara beliau mengajar.

Nah, kalau ini yang saya inginkan, maka state yang saya pasang ada 2. Pertama, state pengamat alias posisi 3 di Perceptual Position. Kedua, state pelaku alias posisi 1.

Sebagai pengamat, maka saya akan duduk di belakang, dan seringkali melipat tangan saya, untuk menjadi pengamat yang benar-benar obyektif. Saya tidak peduli ada materi yang diajarkan, melainkan fokus pada bagaimana beliau mengajarkannya. Yang saya perhatikan adalah struktur dan sama sekali bukan kontennya. Bagaimana beliau berkata, menggerakkan tangan, memainkan intonasi, mengatur jalannya sesi, dsb. Dalam konteks belajar lewat buku, maka saya fokus pada struktur penyampaian ide, sembari membayangkan sang penulis mengajarkannya secara langsung pada saya. Maka asyik sekali saat saya menyelami buku-buku klasik awal NLP, yang memang menggunakan format transkrip hasil rekaman di kelas. Saya bisa dengan mudah membayangkan dan mendengarkan para trainer berbicara seperti layaknya peserta.

Sisi lain, saya juga seringkali masuk ke dalam diri sang guru dan memerankan dirinya mengajar. Saya rasakan berbicara sebagai guru, memberikan materi, menggerakkan tubuh, dll.

Sementara dalam hal belajar lewat buku, saya pun berbicara sendiri saat membaca buku tersebut, dan berusaha mencari cara penyampaian yang pas dengan tulisan yang saya baca. Tentu ini saya lakukan di tempat tertutup. Kalau tidak, wah, bisa dikira orang gila. Hehehe...

Fokuskan dengan bertanya

Ajukan pertanyaan, dan jawabannya akan kita dapat. Demikian kata sebuah ungkapan. Pertanyaan adalah stimulus pikiran. Mengajukan pertanyaan yang salah hanya akan mengantarkan pikiran untuk menempuh jalan yang salah pula.

Ya, saya selalu punya pertanyaan yang ingin saya jawab setiap kali mempelajari sesuatu. Maka saya tidak pernah bosan untuk mengulang membaca sebuah buku, sebab saya selalu punya pertanyaan yang berbeda setiap kalinya. Alhasil, hasil yang saya dapat pun berbeda.

Bertanya, “Apa yang baru yang belum saya pelajari sebelumnya?” jelas amat berbeda hasilnya dengan bertanya, “Apa saja di buku ini yang sudah pernah saya pelajari?”

Maka saat saya penasaran dengan cara seorang penulis menemukan ide tulisan, saya bertanya, “Bagaimana dia menemukan ide tulisan ini?”, sembari saya menggunakan posisi satu dan menjadi sang penulis itu sendiri.

Sementara saat saya belajar di kelas, saya seringkali bertanya, “Apa yang saya lewatkan di kelas sebelumnya? Apa yang saya belum paham saat belajar lewat buku kemarin? Bagaimana sebenarnya sebuah materi dipraktikkan? Apa inti yang belum saya pahami sebelumnya dan bisa saya temukan saat ini?” dan seterusnya.

Temukan hakikatnya

Saya memahami tahapan belajar terdiri dari 3 fase. Pertama adalah knowledge, kedua adalah practice, ketiga adalah meaning. Fase knowledge adalah saat kita memulai langkah awal belajar sesuatu. Fase practice adalah saat kita mempraktikkan secara langsung sebuah ilmu, sampai jadi mahir. Dan fase meaning adalah saat kita sudah melewati ratusan bahkan ribuan jam terbang praktik, hingga mampu menemukan mana yang inti dan mana yang pernik.

Maka saya pun seringkali mengulang kembali apa yang saya pelajari bertahun-tahun lalu, demi mendapatkan inti yang dulu belum mampu saya pahami. Bahkan kalau saya bisa menemukannya, saya akan menggali informasi dari sumber primernya. Semisal, dalam konteks belajar lewat buku, maka saya akan mencari referensi awal dari buku yang saya baca. Karena setiap penulis yang mengutip penulis lain pastilah menggunakan ‘peta’-nya masing-masing, maka saya seringkali menemukan banyak hal menakjubkn saat menyelami sumber-sumber primernya. Belum lagi saya bisa memodel langsung gaya penulisan dan penemuan ide dari penulis sumber primer tersebut.

Berdoa

Sengaja saya letakkan langkah ini di bagian akhir karena ia lah langkah yang akan menjadi katalisator langkah-langkah sebelumnya. Ya, sumber segala sumber ilmu adalah Tuhan. Saya termasuk orang yang sangat meyakini bahwa proses mendapatkan ilmu bukanlah semata melalui proses belajar. Bahkan, jauh lebih banyak saya mendapatkan ilmu yang entah dari mana sumbernya, tanpa usaha apapun, begitu saja ia hadir dalam pemahaman saya. Maka saya hampir tidak pernah melupakan untuk berdoa pada Tuhan agar dimudahkan dalam mengambil ilmu yang bermanfaat, dari guru yang mumpuni, secara utuh untuk saya download.

Ilmu yang bermanfaat, sebab belum tentu semua ilmu cocok untuk saya terapkan dalam konteks kehidupan saya. Atau bisa jadi saya masih di tahapan belum sanggup untuk menerima ilmu tersebut. Atau lagi, bisa jadi guru saya memiliki kekurangan yang memang manusiawi beliau miliki. Maka saya berlindung pada Tuhan agar hanya keutamaannya saja yang saya dapat.

Guru yang mumpuni, sehingga ilmu yang saya terima memang merupakan ilmu yang matang, kombinasi kematangan konseptual dan kematangan pribadi. Bukan hanya teori, melainkan plus hasil praktik yang beliau dapatkan sepanjang hidupnya.

Secara utuh, sebab begitu banyak ilmu tidak bisa ditransfer hanya melalui ucapan ataupun tulisan. Ilmu model ini jelas sulit dipelajari oleh pikiran sadar (conscious), namun hanya bisa langsung diterima oleh unconscious. Ilmu yang berada di tataran level unconscious competence.

Tuliskan, ajarkan

Akhirnya, saya selalu teringat pesan dari Imam Ali ra, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.”

Ya, menuliskan ilmu merupakan cara untuk mensistematisasi pelajaran yang kita terima. Yang tadinya berantakan, dengan ditulis ia menjadi rapi plus mudah dievaluasi. Sebab menulis sejatinya adalah menyarikan apa yang kita pelajari. Di dalamnya terkandung proses delesi, distorsi, dan generalisasi yang signifikan sehingga yang muncul pada akhirnya adalah saripatinya.

Nah, setelah menulis inilah biasanya saya jadi jauh lebih mudah ketika ingin mengajarkan, sebab saya sudah memiliki sebuah ilmu yang merupakan hasil racikan saya sendiri, alih-alih membawakan materi orang lain yang belum tentu pas dengan gaya mengajar saya.

Kenapa sih, harus diajarkan?

Ya, karena hanya dengan mengajar maka ilmu kita akan bertambah. Dengan mengajar, saya jadi tahu persis mana bagian yang sudah benar-benar saya kuasai, dan mana yang perlu saya pelajari lebih lanjut. Sementara itu, mengajar justru membuat saya merasa bodoh, terutama saat mendapat pertanyaan yang belum bisa saya jawab, atau menghadapi kondisi kelas yang belum bisa saya kendalikan.



OK, sampai disini dulu. Semoga setelah mengambil yang menurut Anda paling mudah untuk diterapkan lebih dulu, Anda pun mendapati hasil yang sama mengejutkannya dengan saya. Bahkan lebih!

Read More......

Mohammad Nuh: Tidak Menjamin Kota Besar Mesti Lebih Baik Dibanding dengan Kota Kecil

*TAHUN* ini, Surabaya gagal mempertahankan prestasi sekolah kejuruan
dalam ujian nasional (unas). Secara umum, nilai unas tingkat SMA
sederajat juga belum menggembirakan. Apa pendapat Menteri Pendidikan
Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh mengenai fenomena itu? Berikut petikan
wawancaranya.


*Tahun ini, angka ketidaklulusan siswa SMK di Surabaya naik tajam.
Padahal, Surabaya adalah kota vokasi. Bagaimana pendapat Anda? *

Saya kira tidak hanya Surabaya dan tidak hanya SMK, tapi secara nasional
angka kelulusan memang turun. Yang penting sekarang adalah menyikapi
perbaikannya. Kalau turun, lantas langkah kita apa? Ini memang fakta.
Kami (Kementerian Pendidikan Nasional hingga ke bawah) harus
introspeksi. Kekurangannya apa? Sehingga, kita perlu meningkatkan
komitmen. Ada /effort/ dan ikhtiar agar kualitas pembelajaran lebih
bagus. Metodologi harus lebih bagus. Demikian juga tingkat kedisiplinan.

*Apa ada yang salah dengan metodologi pengajaran terhadap siswa SMK?*

Saya belum tahu yang jatuh mata pelajaran apa. Termasuk di Surabaya.
Karena itu, dalam waktu dekat kami menganalisis seluruh mata pelajaran
yang diujikan. Mana mata pelajaran yang nilainya paling rendah.
Sehingga, para guru, Kasek, dan kepala dinas bisa memberikan perhatian
khusus. Sebenarnya, ini juga tidak menguber unas saja. Jangan
menyalahgunakan unas untuk menutupi kekurangan belajar-mengajar. Kita
harus jujur, apa yang kurang? Secara nasional juga demikian. Kalau
dievaluasi masyarakat dan ada jeleknya, kita tidak boleh /ngamuk./

*Dari tahun ke tahun, prestasi unas Surabaya belum menggembirakan jika
dibandingkan dengan kota kecil di Jatim. Apa yang salah dengan Surabaya? *

Saya belum mengevaluasi. Saya juga menangkap hal itu. Tapi, kualitas
pendidikan tidak serta-merta ditentukan kota besar dan kecil. Tidak
menjamin bahwa kota besar mesti lebih baik jika dibandingkan dengan kota
kecil. Siapa saja memiliki kesempatan yang sama. Tapi, saya akan kaji
hal itu. Termasuk kota-kota besar selain Surabaya.

*Bagaimana cara memperbaikinya? *

Sekarang sudah telat mencari penyebabnya. Kita tidak perlu mencari
alasan. Yang penting menyiapkan ujian ulangan. Adik-adik yang belum
berhasil semoga bisa menerima kenyataan itu. Kedua, mereka sebaiknya
mempersiapkan diri untuk belajar menghadapi ujian ulangan pada 10-14 Mei
mendatang. Kasek harus memberikan perhatian khusus. Demikian juga guru
bidang studi. Mudah-mudahan dalam waktu dua minggu bisa mempersiapkan
anak didiknya dengan baik. /Toh/, yang diujikan hanya mata pelajaran
yang gagal. Saya kira bukan hal yang sulit. Yang penting, pemerintah
telah memberikan kesempatan. *(kit/c6/mik)

http://jawapos. co.id
Read More......

Seporsi Sate Pak Yadi

Seporsi Sate Pak Yadi
Oleh: Sonny Wibisono *

"Mother, how are you today? Mother, don't worry, I'm fine. Promise to see
you this summer. This time there will be no delay."
-- Maywood dalam 'Mother How are You Today?'


SELESAI meeting, Ratno pun berpamitan. Hasil yang menggembirakan. Klien
setuju dengan proposal yang diajukan timnya. Jabat tangan erat menghangatkan
malam yang basah. Pertemuan di restoran itu pun usai. Semua tersenyum
senang. Ratno ingin segera pulang, dia teramat letih.

Namun kemana Yadi? Sopir kantor yang sedianya siap di halaman parkir. Lagi
pula restoran ini tidak memiliki area parkir yang luas. Hanya muat enam
hingga delapan mobil. Semestinya, Avanza hitam ada di sana. Ratno menengok
ke kiri dan ke kanan. Tak kelihatan. Sampai akhirnya dia pun memencet tuts
ponselnya. Yadi, sopir kantornya pun menjawab akan segera kembali dalam
waktu lima menit.

Lima belas menit berlalu, tak terlihat lampu mobilnya masuk. Ratno kian
gelisah. Sempat terpikir untuk naik taksi saja ke kantor. Tapi niat itu
urung karena mobil Avanza hitam sudah masuk ke halaman parkir. Ratno yang
kesal langsung masuk mobil, dan hampir menumpahkan kekesalannya, bila Yadi
tak segera menyambut dengan senyum dan permintaan maaf.

Mata Ratno menoleh sesuatu. Di kursi depan teronggok satu bungkus plastik
berwarna hitam. Rupanya itu yang membuatnya datang terlambat. Tercium bau
sate menusuk hidung dari bungkus plastik tersebut. Sepuluh tusuk sate daging
ayam masih terasa hangat. "Buat ibu saya pak, tapi ngantrinya lama banget,
maaf ya pak," kata Yadi sekali lagi.

Yadi pun berkisah tentang ibunya yang sudah tua dan susah menemukan selera
makannya. Nah, biasanya dengan menu sate ayam seperti ini dia mau makan.
"Biasanya
lahap," kata Yadi lagi. Si Ibu yang kini tersisa. Ayahnya sudah lama wafat.
Ibu dan ayah mertuanya pun demikian.

Ratno tak mau bertanya banyak lagi. Pikirannya berkelana ke mana-mana. Kalau
saja sate yang dibelikan Yadi untuk ibundanya ditaruh di mobil, sudah pasti
akan dingin begitu sampai di rumah. Pertama, dia harus mengantarkannya
pulang ke rumah. Lalu Yadi kembali ke kantor untuk mengembalikan mobil.
Setelah itu Yadi masih harus menempuh perjalanan belasan kilometer dengan
sepeda motornya. Sudah pasti jadi anyep nasib sepuluh sate itu. Di mobil ini
saja, sate itu sudah ditiup pendingin udara.

"Pak Yadi, AC-nya dimatikan saja. Dingin banget, saya juga pengen merokok."
Sebenarnya dia ingin agar sate yang dibawa Yadi tak begitu dingin. Begitu AC
di matikan, Ratno membakar rokoknya.

Dalam asap yang tersembur, pikirannya tiba-tiba melayang pada ibunya yang
sudah sepuh di sudut kota Jakarta. Sudah lama dia tidak menyambangi ibunya
itu. Kesibukan pekerjaan dan berbagai problema yang harus dihadapinya sering
kali membuatnya lupa untuk sekadar meneleponnya.

Tiba-tiba sebungkus sate daging ayam Yadi menohoknya. Yadi, yang
penghasilannya tak seberapa bila dibandingkan dirinya, berusaha mati-matian
menyisihkan uangnya untuk membeli seporsi sate ayam. Sedangkan dirinya? Dia
nyaris melupakan semuanya tentang ibunya, perempuan yang melahirkan dan
membesarkannya dengan segala suka dan dukanya. Dia tahu ibunya sangat
menyukai roti bakar yang katanya selalu menjadi makanan romantis bersama
suaminya yang telah wafat beberapa tahun silam.

Ratno membatin. Dia mengambil ponselnya untuk menelepon rumah ibunya. Sayang
tak ada jawab. Bik Ummi, wanita yang setia menemani ibunya juga pasti telah
terlelap. Tak lama setelah melewati pertigaan, Ratno pun menyuruh Yadi
menghentikan mobilnya. Padahal jarak ke kantor masih jauh.

Ratno menyuruh sopirnya langsung ke kantor. "Nanti Pak Yadi kemalaman sampai
di rumah." Dia sendiri memilih meneruskan perjalanan dengan menggunakan
taksi. Betapa indahnya hidup Yadi, yang teramat menyayangi ibunya.

Tak lama kemudian, Ratno menyetop taksi. Di kursi belakang taksi berwarna
biru itu, dia menahan haru dan perasaaan bersalah. Sebuah janji dicatat
dalam hatinya, akhir pekan ini dia akan mengunjungi ibunya. Bersama dengan
anak dan istrinya.
Read More......

Corat-Coret Baju Warnai Pengumuman UN SMA Temanggung

Para siswa SMK Dr Sutomo Temanggung luapkan kegembiraan dengan corat-coret baju.
Aksi corat-coret mewarnai pengumuman hasil Ujian Nasional (UN) Temanggung, Senin (26/4) siang. Begitu mengetahui hasil kelulusan dari orang tuanya, puluhan siswa SMK Dr Sutomo, Temanggung langsung melakukan corat-coret di baju, badan dan kepala.

Kegiatan serupa juga dilakukan di SMK YP Temanggung. Usai corat-coret, mereka langsung berkonvoi kendaraan bermotor keliling kota Temanggung.

Di Temanggung, terdapat sekolah yang siswanya tidak lulus 100 persen yakni Madrasah Aliyah (MA) Darul Aman Pringsurat. Kepala MA Darul Aman Pringsurat, Dukut Sri Widayat mengatakan, jumlah siswa kelas III sebanyak 13 anak, terpaksa harus mengikuti UN ulangan pada 10-13 Mei mendatang karena tidak ada yang lulus pada UN utama. Hasil UN tahun ini turun drastis dari tahun lalu yang bisa lulus 98 persen dari jumlah siswa sebanyak 17 anak.

Ia mengatakan, sekolah sebenarnya telah melakukan persiapan maksimal untuk menghadapi UN, namun hasilnya kurang menggembirakan. Dukut mengatakan, sekolah juga telah mengadakan pelatihan UN, namun hasilnya memang tidak bagus. Menurut dia, sisa waktu yang tinggal beberapa hari menjelang pelaksanaan UN ulangan siswa akan diberikan latihan mengerjakan soal.

"Dengan banyak latihan mengerjakan soal diharapkan para siswa bisa lulus semua dalam UN ulangan nanti," katanya.

Ditemui terpisah, Kepala dinas pendidikan Temanggung, Tri Marhaen Suhardono menyatakan, dari 4.447 peserta UN SMA/MA/SMK 2010 tidak lulus sebanyak 594 siswa. terdiri atas siswa SMA/MA jurusan IPA dari 859 peserta tidak lulus 134 siswa, jurusan IPS 1.278 siswa tidak lulus 170 siswa. Kemudian dari 156 siswa jurusan bahasa tidak lulus 18 siswa dan jurusan keagamaan 20 siswa tidak lulus satu siswa, dan dari 2.134 siswa SMK tidak lulus 271 siswa. (Mud)


Sumber
TEMANGGUNG (KRjogja.com)

Read More......

Pasca Lulusan, Permintaan Kartu Kuning Mulai Meningkat

Pasca pengumuman Ujian Nasional, minat masyarakat Temanggung mencari kartu pencarai kerja (AK1) atau kartu kuning meningkat. Dinas Tenaga Kerja dan Trasmigrasi Kabupaten Temanggung mencatat saat ini permintaan kartu kuning naik 5 hingga 6 orang dibanding hari biasanya.

Kepala Bidang Penempatan dan Transmigrasi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Temanggung Ripto Susilo mengatakan permintaan kartu kuning saat ini masih didominasi lulusan universitas baik strata 1 maupun program diploma, untuk mencari pekerjaan di beberapa kota industri dan pusat perekonomian.

" Paska kelulusan SMA/SMK, permintaan AK1 akan didominasi oleh mereka," katanya, Selasa (27/4).

Syarat pembuatan AK1, ujarnya, bisa menggunakan surat keterangan lulus dari sekolah, sebelum ijazah dikeluarkan, yang biasanya jadinya sampai beberapa minggu.

Dikemukakan lulusan baru tersebut membuat AK1, untuk mencari pekerjaan di beberapa kota besar dan sebagai syarat pelampiran lamaran pekerjaan pada perusahaan dari program kerjasama antara perusahaan dengan pihak sekolah.

Berdasar catatan, jumlah kartu kuning yang telah dikeluarkan pada bulan April hingga kemarin, sebanyak 95 lembar. Sedangkan bulan Januari 165 lembar, Februari 156 lembar dan Maret 143 lembar.

Sementara untuk menyerap tenaga kerja, selama dua hari yakni Rabu dan Kamis (28-29/4), pihaknya akan digelar Temanggung Job Fair di Balai Latihan Kerja jalan Gajah Mada Temanggung. Telah ada 20 perusahaan yang mendaftar ikut untuk merekrut tenaga kerja, mereka dari perusahaan kelapa sawit, garmen, perkayuan, lembaga pendidikan dan retail.

" Yang berminat, bisa datang dengan lamaran lengkap, foto, daftar riwayat hidup dan langsung tes wawancara," katanya, sembari menyatakan job fair dibuka jam 08.00 hingga 15.00. (Osy)


Sumber
TEMANGGUNG (KRjogja.com)
Read More......

M Nuh: Ujian Nasional Tidak Gagal

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono mengakui jumlah ketidaklulusan Ujian Nasional (UN) tahun ini meningkat dibandingkan 2009. Menteri Pendidikan Nasional M Nuh memberi jawaban dengan mengibaratkan UN sebagai laboratorium.

"Ada orang yang sangat enggan pergi ke laboratorium untuk cek kesehatan. Karena mereka khawatir ketahuan penyakitnya. UN itu sebetulnya laboratoriumnya, " kata M Nuh di Gedung Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, Selasa 27 April 2010.

Dengan melakukan uji laboratorium, masih kata M Nuh, maka akan diketahui jenis penyakit yang bersangkutan. Apakah kolesterol tinggi, diabetes tinggi, tekanan darah tidak normal dan lain sebagainya.

"Kalau dari cek laboratorium itu ada tekanan darah tidak normal, maka jangan laboratoriumnya yang dikorbankan, " ujar mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya ini.

Maka itu, kata dia, laboratorium harus tetap didirikan. Bahkan harus diperkuat dengan peralatan yang lebih canggih. Jadi, bila diketahui hasil tekanan darahnya tinggi, dapat pula diketahui obatnya dan direkomendasikan.

"Bukan laboratoriumnya yang gagal. Tapi orangnya yang diperbaiki. Syukur itu kalau ketahuan," ujar dia.

Kendati demikian, M Nuh meminta agar murid-murid tidak khawatir. Karena masih ada kesempatan pada 10 -14 Mei mendatang. M Nuh yakin, ada kemungkinan kenaikan angka kelulusan.

"Dengan pendekatan 40 ribu anak yang mengulang hanya satu mata pelajaran, menggunakan presentase sekarang, 80 persen. Maka ada 32 ribu yang lulus. Berarti tinggal 120 ribu siswa, turun lagi. Siswa itu pasti punya effort, ikhtiar luar biasa," kata dia.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kesra Agung Laksono sudah menerima laporan bahwa sebanyak 154.079 siswa tidak lulus Ujian Nasional. Jumlah ini sekitar 10 persen dari seluruh seluruh peserta ujian sebanyak 1.522.162 siswa. Jumlah ini meningkat dibanding tahun lalu.



Sumber
VIVAnews
Read More......

Gagal Unas, Gusti Ayu Minum Racun

Gusti Ayu Riska Lestari alias Riska, siswi SMA PGRI Maros, Sulawesi Selatan, nekad minum racun serangga setelah mengetahui tidak lulus Ujian Nasional (Unas).

Beruntung, tindakan Riska dipergoki orang lain sehingga dia berhasil dibawa ke Puskesmas Barangdasi, Maros. Riska kini sudah lumayan pulih dan dibawa ke rumahnya, Selasa (27/4/2010) malam ini. Saat ditemui di rumahnya, Jl Taufiq 13, Maros, malam ini, Riska mengaku nekad meminum racun karena takut dimarahi orangtuanya.

"Saya malu, takut dimarahi papi karena tidak lulus UN," kata Riska dengan suara parau. Ia hanya bisa berbaring di tempat tidur kamarnya. Riska pun menyesal melakukan perbuatan tersebut dan berusaha akan belajar agar bisa lulus di UN susulan nantinya.

Di sekolahnya, ada sembilan temannya lagi yang juga tidak lulus UN. "Saya menyesal dan tidak akan melakukannya lagi," ungkap cewek yang nilai Matematikanya jelek ini. Rasmi Ridjang Sikati



Sumber
MAROS, KOMPAS.com
Read More......

PELAJAR PENGGUNA NARKOBA DI BEKASI MENINGKAT

Jumlah pelajar di Kota Bekasi yang menjadi pengguna narkoba dan tertangkap tangan saat ada razia ataupun penggerebekan terus meningkat dari 60 orang pada 2008 menjadi 72 orang pada 2009.

Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) Badan Narkotika Kota Bekasi Encu Hermana di sela kegiatan sosialisasi pencegahan narkoba bagi siswa dan mahasiswa di Bekasi, Kamis, mengatakan, peningkatan jumlah pelajar yang tertangkap sebagai pengguna mengindikasikan telah terjadi peningkatan penggunaan narkoba pada siswa SMU dan SMK.
Kasus narkoba secara umum pada 2008 sebanyak 417 kasus dengan tersangka 461 orang dan 2009 menjadi 560 kasus dengan 645 tersangka.

Sedangkan barang bukti yang dimusnahkan mencapai ribuan kilogram ganja, puluhan ribu pil ekstasi, ratusan bong sabu-sabu, serta beberapa gram heroin. Jenis narkoba yang banyak digunakan oleh siswa berupa ganja sementara jenis lain seperti ekstasi, sabu dan heroin sangat sedikit.

Dalam menekan penggunaan narkoba dan menumbuhkan kesadaran akan bahaya narkoba, pihaknya pada 2010 lebih menekankan pada pencegahan dengan melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah. Kegiatan sosialisasi itu dilaksanakan bahkan mulai tingkat sekolah dasar dengan pertimbangan mereka telah dijadikan target melalui permen mengandung narkoba.

"Dari sosialisasi itu siswa jadi tahu bahaya menggunakan narkoba begitu juga modus yang dilakukan pengedar dalam membujuk siswa mengkonsumsi narkoba. Narkoba telah diingatkan nikmatnya sesaat dan sejenak sementara akibatnya sangat luar biasa dan bahkan kematian," ujarnya.

Dalam kegiatan "road show" ke sekolah-sekolah terlihat tumbuhnya kesadaran untuk menghindari dari penggunaan narkoba serta kesadaran mengisi waktu luang dengan kegiatan positif seperti berolahraga ataupun kegiatan lain yang bermanfaat.
"Pada setiap kegiatan di kecamatan, kita juga sudah meminta agar diselipkan bahaya narkoba termasuk kepada orang tua dalam mengenali anak yang mulai menjadi pengguna narkoba serta kiatnya agar anak terhindar dari narkoba," ujar Encu.

Kepala Seksi Penindakan BNK Kota Bekasi Agustin menyatakan setiap tiga bulan sekali diadakan razia di sekolah-sekolah untuk mencegah dan menangkap pengguna narkoba.


Sumber
Bekasi, 29/4 (ANTARA)
Read More......

ICW LAPORKAN KORUPSI DANA PENDIDIKAN KE KPK

Indonesia Corruption Watch melaporkan dugaan korupsi Dana Alokasi Khusus sektor pendidikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam laporannya yang disampaikan kepada bagian Pengaduan Masyarakat KPK di Jakarta, Kamis, ICW menyatakan telah terjadi korupsi DAK pendidikan sejak 2006 sampai 2009.
"Korupsi dana pendidikan harus benar-benar diusut karena berkaitan dengan masa depan anak bangsa," kata Koordinator Divisi Monitoring ICW, Ade Irawan.

Berdasar data ICW, pemerintah telah mengalokasikan DAK pendidikan sebesar Rp2,6 triliun pada 2006, Rp5,2 triliun pada 2007, Rp7,02 triliun pada 2008, dan Rp9,3 triliun pada 2009.
Berdasar ketentuan, DAK bidang pendidikan hanya boleh digunakan untuk membiayai rehabilitasi gedung Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah.
Namun pada kenyataannya, alokasi dana tersebut tidak sesuai ketentuan.
"Bahkan ada daerah yang tergolong kaya justru menerima DAK. Ini kan mengherankan, " kata Ade.
Selain itu, ICW mendeteksi beberapa modus lain dalam korupsi DAK pendidikan. Modus-modus tersebut antara lain pemotongan anggaran, penggelembungan biaya rehabilitasi gedung, proyek fiktif, dan pungutan biaya.
Dalam laporannya, ICW menyebutkan dugaan korupsi di sejumlah daerah, antara lain Tasikmalaya dengan kerugian negara Rp1,7 miliar, Garut (Rp4,5 miliar), dan Simalungun (Rp18 miliar).


Sumber
Jakarta, 29/4 (ANTARA)
Read More......

ICW TOLAK UU BARU PENGGANTI UU BHP

Indonesia Corruption Watch (ICW) menolak adanya Undang-Undang baru yang akan digunakan sebagai pengganti dari Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Siaran pers Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW yang diterima ANTARA di Jakarta, Kamis, menyebutkan, pembuatan peraturan pemerintah atau UU baru untuk mengatur pendidikan dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan baru yang tidak jauh dari keberadaan UU BHP yang telah dibatalkan MK.

Menurut ICW, hal itu kemungkinan karena berpotensi terjadinya kanibalisasi (mengambil pasal-pasal di dalam UU BHP) untuk dimasukkan ke dalam regulasi baru tersebut.
Bila itu dilakukan, maka UU baru dikhawatirkan hanya akan kembali menimbulkan kontroversi dan ketegangan lagi di tengah masyarakat.
LSM tersebut berpendapat, pembuatan regulasi baru tidak diperlukan mengingat kita telah memiliki UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur penyelenggaraan pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.
Sedangkan kelembagaan untuk sekolah swasta sudah diatur di dalam UU Nomor 16 Tahun 2001 junto UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, sehingga tidak ada istilah kevakuman payung hukum.
Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, peraturan perundang-undangan pengganti UU BHP yang telah dibatalkan MK segera diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Rencananya akan kami serahkan dalam pekan ini," katanya kepada wartawan usai Pelantikan Rektor Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, di Purwokerto, Rabu (28/4).
Menurut dia, sejumlah opsi pengganti UU BHP sedang dikaji oleh tim dari Kementerian Pendidikan Nasional, antara lain peraturan pengganti undang-undang, peraturan presiden, dan peraturan menteri.
Untuk membahas peraturan pengganti tersebut, Mendiknas juga mengaku telah memanggil asosiasi perguruan tinggi negeri dan swasta sehingga diharapkan pembahasan itu bisa mengakomodasi seluruh pihak pemangku kepentingan terkait pendidikan nasional.


Sumber
Jakarta, 29/4 (ANTARA)

Read More......

Alternatif Ujian Nasional dan Refleksi Sebagai Seorang Pengajar Pendidikan Formal

*Alternatif Ujian Nasional*

Beberapa tahun yang lalu, saat saya membuka koran Kompas, saya terharu
membaca kumpulan tulisan karya Naynul, Fika, dan Siti. Tulisannya bisa di
baca di sini http://thejargon. multiply. com/journal/ item/134 .


Bagi anak-anak sekolah lain, termasuk sekolah tempat saya mengajar,
mengikuti Ujian Nasional adalah untuk memperoleh Ijazah sekolah, menentukan
lulus atau tidak, sedangkan bagi Naynul, Fika, dan Siti tidak. Mereka
mengikuti ujian nasional untuk melakukan penelitian karena ingin tahu apa
apa rasanya mengikuti ujian nasional.

Begini kutipan tulisan mereka:

*"Tujuan kami mengikuti UN bukan sekadar untuk memperoleh ijazah, tapi untuk
antisipasi. Siapa tahu nantinya hati kami terketuk untuk melanjutkan
perjuangan ke sekolah lain. Namun, belum pernah tebersit di benak kami untuk
meninggalkan Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah. Karena saat ini sekolah
itulah yang kami rasa cocok untuk pengembangan diri kami lebih lanjut.*

*Selain untuk antisipasi, kami juga ingin merasakan detik-detik menjelang
UN. Tapi yang terpenting bagi kami adalah mengetahui seperti apa substansi
UN, mengetahui sejauh mana manfaat UN bagi bangsa Indonesia, dan memulai
sebuah penelitian." *

*
*

Sebagian besar murid Qaryah Thayibbah, Salatiga memang saat itu memutuskan
untuk tidak mengikuti Ujian Nasional. Pak Bahrruddin, sang kepala sekolah,
dalam sebuah diskusi di Bandung pernah berkata, bahwa ia tetap mendaftarkan
siswanya untuk ikut Ujian Nasional, urusan mereka ingin ikut atau tidak
memang terserah mereka.

Malam membaca tulisan di Kompas, saya meng-sms Pak Bahruddin agar ia
menyampaikan pada ketiga penulis betapa menariknya tulisan mereka. Malam itu
juga Pak Bahruddin mengirimkan disertasi asli mereka melalui email. Saya
membacanya, satu persatu. Luar biasa ketiga anak ini.

Bagi yang biasa berkecimpung atau hanya tahu mengenai pendidikan formal, hal
seperti ini bisa jadi merupakan suatu yang aneh. Saat saya ceritakan apa
yang dilakukan oleh murid-murid Qaryah Thayibbah pertanyaan mereka begini:

"Lah nanti bagaimana kalau mencari kerja?"

"Kalau tidak dengan ujian apa dong alternatifnya? "

Sebenarnya alternatif untuk *assessment* banyak sekali. Di Qaryah Thayibbah
sendiri, saat itu (mungkin sudah berubah sekarang, saya tidak tahu)
siswa-siswanya diminta untuk membuat semacam penelitian/tugas akhir. Untuk
legalitas, setahu saya Pak Bahrudin, meminta temannya dari pihak universitas
untuk mengomentari karya-karya siswanya. Kalau tidak salah itu cara yang
dilakukan oleh teman-teman Qaryah Thayibbah.

Cara lain yang terpikir di kepala saya adalah portfolio. Saya pernah melihat
sebuah karya seorang siswa dalam pelajaran bahasa didokumentasikan dalam
sebuah kliping yang cukup tebal. Semua tugasnya ada di sana, dari menulis
berita, membuat tulisan deskripsi, membuat iklan, dan sebagainya. Di akhir
tahun ajaran, ia diminta untuk menuliskan refleksi mengenai apa yang ia
rasakan mengenai kemampuan bahasanya selama satu tahun belajar. Apa ada
kemajuan atau kemunduran, dulu tidak bisa apa sekarang bisa apa, apa yang
bisa dikembangkan, apa yang harus diperbaiki. Refleksi ini kira-kira
sepanjang 2 halaman A4. Selain itu, teman sekelasnya juga diminta untuk
membaca kumpulan karya siswa ini dan sebaliknya. Ia juga diminta untuk
menuliskan sebuah komentar balik mengenai kumpulan karya siswa ini.

Dalam mata kuliah *assessment* sendiri yang saya alami di bangku kuliah,
saya pernah mendiskusikan sistem portfolio ini. Dan salah satu hal yang jadi
permasalahan memang waktu. Seorang guru yang pernah menggunakan sistem ini,
pernah bercerita kalau di ruag kerjanya pernah bertumpuk sejumlah portfolio
karya siswa sampai tinggi sekali. Kepraktisan memang menjadi masalah yang
patut dipertimbangkan.

Lalu teman saya juga pernah berkata:

"Tapi kan yang dibutuhkan untuk mencari kerja adalah ijazah? Apa bisa dapat
kerja?

Hm.. saya jawab begini saja, "tergantung kerja di mana."

Tentu kalau bekerja sendiri tak perlu ijazah, hm.. Tapi bagaimana kalau
bekerja dengan orang lain? Nah untuk hal itu saya jawab begini pada teman
saya.

"Kan zaman bisa berubah ya? Mungkin ada perusahaan yang akan lebh menghargai
karya dan skill daripada ijazah. Ok, seandainya kamu jadi direktur
perusahaan. Lalu ada dua pelamar kerja. Yang satu mengirimkan Ijazah
sekolahnya dan satu mengirimkan kumpulan karyanya, tersususn rapi dalam
portfolio. Bukan hanya itu, ia bisa menjelaskan skill dan kemampuan yang ia
miliki. Yang mana yang kamu terima kerja?"

Dan teman saya menjawab pelamar yang kedua. Hehehe (Well, kalau saya ajukan
pada orang lain bisa saja jawabannya lain, hehehe).

Ujian Nasional atau segala ujian akhir memang sebenarnya bukan satu-satunya
solusi untuk menentukan prestasi siswa. Setiap kali saya membaca tentang
assessment, saya akan ingat Swedia, karena berdasarkan literatur yang saya
baca, posisi mereka terhadap ujian berskala nasional berbanding terbalik
dengan kondisi di Indonesia (dan beberapa negara lainnya termasuk UK):

*"In Sweden, external final examinations were abandoned in 1971 and replaced
by school assessments. There are national tests in some subjects but these
are used to calibrate teachers' own assessmets. The mean and range of marks
in the national tests of a particular school determine a mean and spread to
which its final results must confirm, but the school is free to use its own
results, together with the national test results, to determine awards for
pupils within the constraint ." (Black, 1998, h.140)*

Sebagai tambahan gambaran bagaimana ujian nasional dilaksanakan di Swedia,
bisa dilihat dari pengalaman dua siswa bernama Sixteen dan Ingrid, bawah
ini:

*[In Sweden] there are no final leaving examinations at the end of secondary
school for either Sixteen and Ingrid. Instead, they have taken tests and
examination throughout their course of stucy. For example, Ingrid has
already taken tests by the National Board of Education in Swedish language
and literature in her final (second) year. The English language achievement
test is scheduled for March 15. Sixteen took similar tests in English,
German, and Chemistry n his second year and in Swedish, mathematics and
physics during his third year. The tests are typically composed of a mixture
of multiple-choice and extended-answer items, three hours for each subject.
The dates for these tests are set for the entire country by the National
Board of Examination and spread over the academic year. This is done in
order to make the testing process part of the ordinary school routine and to
reduce the tension usually associated with a marathon period of testing
crowded into the one or two weeks in the end of school career.... In this,
the final year of school, all that remains is to complete the course of
study.*

*(Eckstein,1993, h.38)*

Dibandingkan negara lain ujian di tingkat nasional di Swedia memang
diusahakan agar siswa tidak merasa seperti sedang berkompetisi. Seperti yang
tergambar di bawah ini:

*...neither Sixteen nor Ingrid feels the competitive urgency [about
examinations compared to othe r countries] (Eckstein,1993, h.39)*

Di Swedia, tahun terakhir sekolah memang penting tapi tidak terlalu kritis
untuk menentukan masa depan mereka, seperti yang diungkap di bawah in*i:*

*[In Sweden] the final year of school is **important* *, but not** absolutely
critical** to their [the students] future.... (Eckstein,1993, h.39)*

dan juga terungkap di sini:

*They are confident that they will be able to pursue whatever careers they
chooses without to many hurdles place in their way. They can always try a
second time, and even a third, if their application for higher or further
training is turned down. There are ways of entering alternative career paths
if they should change their minds latter on. (Eckstein,1993, h.39)*

*These two Swedens have been educated in a system that strives to provide
wide educational opportunities to all. Tests and examinations continue to
exsist, but a deliberate effort is made to ease their psychological strain
on students and to make the tests nonthreathening as possible. The central
government and localities (municipalities) collaborate in providing the
examinations, with the close involvement of teachers. A student who at first
does not suceed can try again. The examination results are important, but do
not virtually control an individual's future, as we shall see in only too
frequent elsewhere. (Eckstein,1993, h.40)*

Beberapa negara memang menggunakan ujian nasional dengan cara yang
berbeda-beda. Seperti yang tertera di bawah ini:

*In some countries the results of the examination will **totally determine *
*the students' subsequent work studies, training, and careers as adults; in
others, the examination results are not the **be-all and end-all of
everything, but will nevertheless exert a powerful influence on life
chances. (Eckstein,1993, h.39)*

Menurut pendapat saya, mengapa ujian nasional sangat bermasalah di Indonesia
adalah karena di Indonesia kelulusan dan ketidaklulusan dalam ujian nasional
bersifat kritis. Bahkan bisa menghambat siswa untuk memperoleh pendidikan
lebih lanjut. Dari pengalaman saya sendiri, kalau siswa sampai gagal di
ujian ulang yang kedua, mereka harus membayar lagi untuk mengikuti ujian
berikutnya (ujian kejar paket) dan biayanya jauh dari murah (setidaknya ini
yang terjadi di Jawa Barat). Hal ini menyebabkan banyak anak akhirnya
menyerah dan putus sekolah apalagi apabila mereka tidak memiliki uang,
kekuatan, dan jaringan yang kuat untuk mendukung mereka berjuang.

Sebenarnya, kalau kita mau belajar, kita bisa menemukan banyak alternatif
terhadap ujian nasional. Tentu tak semuanya bisa dierapkan di Indonesia.

*Refleksi sebagai Seorang Guru di Pendidikan Formal*

Saya sendiri salut dengan keberanian teman-teman di Qaryah Thayibbah. Saya
selalu berpikir, seharusnya saya bisa seberani mereka. Sayangnya belum.

Saya pun selalu menghadapi dilema yang pernah saya tuliskan dalam tulisan
saya yang sebelumnya:

*"Tujuan setiap orang tergantung dari latar belakang mereka, apa yang mereka
jalani selama hidup, pengalaman mereka, kepercayaan mereka. Guru ingin
muridnya memiliki ketrampilan berpikir karena berdasarkan pengalamannya,
ketrampilan berpikir mampu membuatnya bertahan dalam hidup hingga kini.
Murid ingin ijazah karena dalam hidupnya ia melihat secara langsung orang
yang memiliki ijazah hidupnya jauh lebih baik darinya. Dua-duanya benar,
karena berdasarkan asumsi yang berbeda tentang bagaimana masing-masing
manusia memandang dunia.

Sebagai seorang guru juga, saya pasti juga merasakan pusingnya menghadapi
dilema ini. Saya ingin anak-anak belajar, bukan sekedar lulus ujian, saya
ingin mereka bisa kreatif menciptakan peluang, bukan hanya menunggu peluang,
tapi mereka memiliki dunia yang berbeda dengan saya sehingga saya tidak bisa
sembarangan memaksakan kehendak saya. "*

(http://warnapastel. multiply. com/tag/disertas i)

Dalam bahasa Inggris, saya pernah mengungkapkan refleksi saya sebagai
berikut:

*In reality, in many places people are still valued for their certification,
not for their*

*skills. On the other hand, all of the teachers have experienced being a
university student,*

*which means that we all have a secondary and a high school certificate. We
could not tell the*

*students that certificates were less important, when we, ourselves have
them.*
(Sarasvati, 2009)

Saya memang bukan seorang
radikal.Dari sudut seorang guru di sekolah formal (bukan alternatif)
sebenarnya sudut pandang saya terhadap ujian nasional sangat sederhana dan
telah diungkapkan oleh Pak Kartono (Kompas, 27/04/2010) dalam tulisannya
beberapa hari yang lalu:

*Pemikiran para guru yang dalam keseharian bergelut dengan dunia mendidik
anak-anak hanyalah sederhana, silakan UN tetap berjalan, tetapi tidak lagi
dipakai sebagai salah satu kriteria kelulusan. Kementerian Pendidikan
Nasional harus betul-betul memanfaatkan hasil UN untuk memetakan mutu
pendidikan, dengan ujung-ujungnya untuk memperbaiki pelayanan secara merata
kepada semua anak di negeri ini. Sekolah yang nilai-nilai ujian siswanya
rendah mesti diprioritaskan untuk diperbaiki.*

http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2010/04/27/ 0323404/setelah. un.pemerintah. harus.jujur.

Tentu saja dengan syarat, saya juga harus memperbaiki kualitas mengajar
saya. Saya harus bisa mengembangkan potensi siswa-siswa saya agar senantiasa
bisa berkarya, berkreasi, menumbuhkan cinta akan ilmu pengetahuan dan
sebagainya. Hm.. Saya jadi teringat sikap Romo Mangun seperti yang telah
diungkapkan di bawah ini oleh seorang pegawai Dinamika Edukas Dasar (DED)
bernama Ana di bawah ini:

*"Romo Mangun tidak gelisah ketika anak-an[image: Background Color]ak
sekolah Mangunan belum tentu bisa melanjutkan sampai tingkat SMP. Dia ngak
gelisah. Yang penting anak-anak Mangunan punya ketrampilan hidup. Kalau dia
punya ketrampilan hidup dia pasti bisa hidup."*

*(Pradipto, 2007, h.40)*

Hm.. Terus terang saya belum mencapai tahap yang diungkap oleh Romo Mangun
tersebut. Tapi kini itu merupakan PR saya, dan juga PR teman-teman guru
semuanya.

Sumber:

1) Paul Black. (1998) Testing: Friend or Foe? Theory and Practice of
Assessment and Testing. London: Falmer Press

2) Max. A. (1993)Eckstein. Secondary School Examinations: International
Perspectives on Policies and Practice. Yale: Yale University Press

3) Y. Dedy Pradipto. (2007). Belajar Sejati VS Kurikulum Nasional:
Kontestasi Kekuasaan dalm Pendidikan Dasar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius


Read More......

Nilai SMK Jeblok karena Program SMK Bisa

KLOJEN - Pengamat pendidikan di Kota Malang punya penilaian sendiri terkait jebloknya hasil ujian nasional untuk siswa SMK pada tahun ini.

Direktur Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang Marthen Pali mengatakan, lonjakan jumlah siswa yang gagal dalam UN tahun ini tak lepas dari program SMK Bisa yang cenderung dipaksakan oleh pemerintah. "Saya sudah perkirakan sebelumnya, program ini ibarat bom waktu yang siap meledak," ujar pakar konseling sekolah ini, Rabu (28/4/2010).

Marthen mengatakan, tujuan pemerintah sebenarnya bagus, yaitu memfokuskan siswa belajar di sekolah kejuruan demi memperkecil pengangguran. Hanya, akibatnya yang tidak dipikirkan.

"Siswa digiring ke SMK, tetapi jumlah guru dan kelas tidak ditambah, tidak berimbang," ujar Marthen.

Kondisi semakin pelik, kata dia, karena guru kejuruan tidak bisa disiapkan secara instan. Ada keterampilan khusus yang tidak dipunyai guru umum.

"Tak mengherankan siswa gagal UN makin banyak. Pemerintah tidak sadar program ini salah. Program 60 SMK/40 SMA jangan dijalankan sebelum tenaga pendidik siap," katanya.

Sementara itu, pakar pendidikan dari Fakultas Ekonomi UM Hari Wahyono menyebut konsep UN untuk SMK salah kaprah. Siswa SMK, yang mengandalkan keterampilan teknis di lapangan pekerjaan, tidak semestinya diuji secara tertulis seperti UN.

"Siswa SMK disiapkan bekerja sesuai sekolahnya. Mereka jago dalam keterampilan lapangan, tapi lemah untuk soal tertulis. Coba, di dunia kerja praktis, apa ditanyakan soal-soal Matematika itu?” kata Hari.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang Shofwan tetap membantah penilaian itu. Shofwan berdalih, hasil jeblok ini lebih akibat adanya mata ujian teori kejuruan yang baru diujikan tahun ini. (nab)

http://edukasi. kompas.com
Read More......

PENDIDIKAN MAHAL JADI SOROTAN DPRD PEKANBARU

Pekanbaru,28/ 4(ANTARA) - Pendidikan yang masih mahal di Pekanbaru mendapat sorotan dari anggota DPRD Kota Pekanbaru dalam rapat paripurna pandangan umum fraksi terhadap Lembar Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Wali Kota Pekanbaru, Rabu.

Juru bicara Fraksi Golkar, Said Zohrin mengatakan pada 2009 lalu, DPRD Pekanbaru sudah menganggarkan dana sebesar Rp442 miliar untuk pendidikan. Namun nyatanya, sampai saat ini masih banyak ditemukan warga Pekanbaru yang tidak dapat bersekolah dikarenakan pendidikan yang dirasa masih terlalu mahal.

"Hal ini dikarenakan sekolah dan komite masih memungut biaya dengan alasan adanya otonomi sekolah. Begitu juga untuk buku pelajaran yang digratiskan, namun sampai saat ini siswa masih diminta untuk membeli buku. Padahal buku yang ada dengan yang dibeli tidak jauh beda," kata dia.

Ungkapan senada juga disampaikan Ade Hartati, juru bicara dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), yang mengatakan pendidikan masih dirasakan mahal oleh masyarakat Pekanbaru. Terbukti dengan banyaknya keluhan yang diterima.

"Memang setiap tahunnya, dana untuk pendidikan di Pekanbaru lebih dari 20 persen. Namun sebagian besar digunakan untuk pembayaran gaji ataupun honorer tenaga pendidik," kata dia.

Hal ini yang menyebabkan anggaran untuk fisik yang digunakan untuk pembangunan gedung maupun revitalisasi masih dirasakan kurang.

"Masih banyak bangunan sekolah seperti SMPN 12 Pekanbaru yang mengalami kerusakan padahal berada ditengah kota," ujar Ade.

Sekretaris Kota Pekanbaru, Yusman Amin, mengatakan pihaknya akan memberikan jawaban dari permasalahan yang diajukan DPRD Pekanbaru tersebut paling lambat tujuh hari.

"Masalah pendidikan tetap menjadi prioritas utama. Tapi untuk jawaban lengkapnya akan diberikan pekan depan," ujar Yusman.
Read More......

PEMKOT DEPOK AKAN BANGUN JALUR SEPEDA

Pemerintah Kota Depok, Jawa Barat, berencana membangun jalur sepeda di Jalan Margonda Raya yang merupakan jalan utama di kota yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta tersebut.
"Pembangunan jalur sepeda untuk mengurangi tingkat pemanasan global," kata Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail di Depok, Rabu.

Ia mengatakan walaupun jalan tersebut sempit, namun masih ada ruang selebar dua meter di kiri dan kanan Jalan Margonda Raya yang akan dimanfaatkan sebagai jalur sepeda.
"Untuk realisasi kemungkinan pada tahun 2011 baru bisa digunakan," katanya.
Untuk saat ini Pemerintah sedang melakukan pelebaran Jalan Margonda yang akan rampung di akhir tahun 2010. "Sekarang fokus dulu dengan pelebaran jalan," jelasnya.
Menurut dia, pihaknya akan membersihkan trotoar dan sepanjang Jalan Margonda dari pedagang kaki lima (PKL) yang dapat mengganggu jalur sepeda. Saat ini, kata Nurmahmudi, Dinas Pekerjaan Umum juga masih melengkapi perangkat utilitas pada proyek pelebaran jalan Margonda.
Wali Kota mengimbau PNS yang rumahnya dekat dengan kantor untuk bersepeda ke kantor. "Saya pun juga siap saja Bike to Work, hanya didampingi Patwal bermotor atau tak didampingi juga tidak apa-apa," katanya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pemantauan Lingkungan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Depok, Lies Karmawati meminta tiap-tiap kecamatan di Kota Depok mempersiapkan satu lokasi bebas kendaraan untuk mengantisipasi pencemaran udara di kota tersebut.
Ia mengatakan hingga saat ini tingkat pencemaran udara di Kota Depok masih cukup rendah. Pencemaran udara atau polusi tertinggi terdapat di Jalan Margonda Raya, karena tingkat kepadatan lalu lintasnya yang sangat tinggi.
"Meskipun di Margonda yang paling tinggi dan sudah diprogramkan (pemerintah) provinsi, tapi kita tidak bisa melaksanakan Car Free Day di sana, karena tidak ada akses alternatif. Karenanya kita mendorong tiap-tiap kecamatan untuk memersiapkan lokasi bebas kendaraan," ujarnya.
Dia menegaskan masih baiknya udara di Depok juga dibuktikan dari hasil uji emisi terhadap 600 kendaraan bulan lalu, 70 persen diantaranya lulus uji emisi. Sementara sisanya mendekati batas standar baku mutu udara Kota Depok yang berada di kisaran angka 5.

Sumber
Depok, 28/4 (ANTARA)
Read More......

Irasionalitas UN

Setiap kali menjelang pelaksanaan dan atau pengumuman hasil ujian nasional (UN) selalu ditemukan fenomena menarik, baik di tingkat birokrasi pendidikan maupun di sekolah. Pada saat menjelang UN, fenomena di tingkat birokrasi adalah pengerahan pengawas sampai jutaan orang, termasuk anggota kepolisian, dan pada 2010 ini ada penandatanganan Fakta Kejujuran antara Kementerian Pendidikan Nasional dan 33 pemerintah provinsi untuk menjamin bahwa UN tahun 2010 terlaksana secara jujur. Meskipun demikian, di tingkat birokrasi daerah, tetap ada tim sukses untuk UN.

Sedangkan di sekolah-sekolah, fenomena yang marak pada saat menjelang UN adalah melakukan doa bersama secara massif. Tentu kegiatan berdoa bersama tidaklah salah, sebagai bangsa yang religius. Tapi yang menarik adalah, dalam doa itu muncul peristiwa anehaneh, seperti ada murid yang menangis histeris atau pingsan. Di SMA 1 Salatiga (Jawa Tengah), doa bersama menjelang UN melibatkan seluruh orang tua murid kelas III, targetnya lulus 100 persen dengan nilai rata-rata 8. Di SMA I Karanganyar (Jawa Tengah), mereka menggelar apel, dan dalam apel tersebut murid diminta sungkem kepada guru untuk memohon doa restu menghadapi UN. Atau di Ponorogo (Jawa Timur), ratusan murid di suatu sekolah memperebutkan air jimat yang ditengarai punya tuah untuk memberikan ketenangan menghadapi UN. Sedangkan fenomena yang muncul pada saat menjelang pengumuman hasil UN adalah perasaan cemas dan doa yang khusyuk agar lulus UN.

Beberapa fenomena yang disebutkan di atas menunjukkan irasionalitas ujian nasional.

Padahal UN dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia agar lebih rasional. Itu substansi dari peningkatan kualitas pendidikan nasional. Tapi yang terjadi di lapangan justru sebaliknya, masyarakat Indonesia makin tidak rasional dalam menghadapi UN. Tingkat irasionalitas mereka berbanding lurus dengan naiknya standar kelulusan: semakin tinggi standar kelulusan, semakin tinggi pula tingkat irasionalitasnya.

Irasionalitas dimulai dari Kementerian Pendidikan Nasional yang memajukan jadwal UN dari April atau Mei menjadi Maret. Kebijakan itu irasional, karena secara rasional pada Maret materi pembelajaran belum selesai. Dengan dimajukannya jadwal ujian, secara otomatis materi harus dikebut untuk diselesaikan sehingga proses pembelajaran semakin tidak rasional, sekadar menyelesaikan target kuriku

lum pun tidak.

Irasionalitas di tingkat kebijakan itu diikuti dengan irasionalitas di tingkat praksis. Sejak Januari 2010, kegiatan pembelajaran di sekolah hanya berfokus pada materi yang akan diUN-kan dengan mengorbankan materi lain.

Proses pembelajarannya pun berfokus pada pembahasan soal-soal, sehingga tingkat pemahaman materi oleh murid rendah. Dalam dua bulan terakhir sekolah-sekolah sibuk mengadakan latihan soal (tryout) dan doa bersama untuk mempersiapkan diri menghadapi UN. Banyak sekolah menjadi panik ketika terbukti hasil tryout buruk dan tingkat ketidaklulusan mencapai 50 persen. Banyak sekolah kemudian bertindak tidak rasional dengan mengundang bimbingan tes masuk ke sekolah.

Ketundukan sekolah kepada bimbingan tes atau bimbingan belajar untuk menyiapkan murid-muridnya menghadapi UN jelas merupakan tindakan yang irasional, mengingat sekolah itu sendiri mempunyai tugas pokok mencerdaskan murid, tapi justru tugas pokoknya terkalahkan oleh bimbingan belajar.

dangkan anggaran terbesar justru dikeluarkan oleh masyarakat untuk mengikuti bimbingan belajar atau les-les privat.

Adalah ilusi belaka bahwa UN akan meningkatkan mutu pendidikan nasional. Yang betul, justru akan memerosotkan mutu pendidikan nasional, karena fokus pembelajaran di sekolah hanya pada materi yang di-UN-kan dengan model drill soal-soal, bukan pemahaman terhadap suatu masalah dengan mempertimbangkan minat murid. Sedangkan materi lain yang mungkin justru diminati oleh murid jadi terabaikan. Sekolah tidak bedanya dengan bimbingan belajar untuk sekadar menghadapi UN saja.

Alternatif untuk mengganti UN dengan model evaluasi lain yang tidak merusak proses pembelajaran, tapi dapat mengarah pada perwujudan standardisasi mutu pendidikan nasional, sudah banyak diusulkan, seperti model tes diagnostik atau bahkan model tes TOEFL.

Tes TOEFL itu sifatnya baku, standarnya jelas, dan memiliki tingkat akurasi yang tinggi, tapi tidak mengikat pada semua orang yang belajar bahasa Inggris. Mereka yang sekadar ingin berbahasa Inggris saja tidak perlu ikut tes TOEFL. Tapi bagi yang akan melanjutkan sekolah lebih lanjut dan atau pekerjaan yang menuntut adanya skor TOEFL, hukumnya wajib untuk ikut tes TOEFL. Tes itu bisa diselenggarakan oleh lembaga-lembaga independen yang punya kredibilitas untuk melaksanakan tes, dan dapat dilaksanakan kapan saja sesuai dengan kebutuhan kita.

Ujian nasional dapat mengikuti model tes TOEFL, sehingga tetap dapat menjadi referensi atas mutu pendidikan nasional dengan tingkat akurasi yang tinggi, tapi tidak memaksa semua murid untuk mengikutinya. Mereka yang setelah lulus SMP/SMK/SMA langsung bekerja, tidak perlu dipaksa ikut UN, cukup diberi tanda tamat belajar. Apalagi bagi murid SMK, tidak perlu UN. Tapi, mereka yang ingin mengetahui kemampuan akademiknya dapat mengikuti UN yang diselenggarakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan bekerja sama dengan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan, yang ada di setiap provinsi. Waktu pelaksanaannya setahun bisa empat kali, tergantung permintaan. Model ini dapat menjamin standar kualitas pendidikan nasional, tapi juga tidak menimbulkan stres pada murid, orang tua, guru, kepala sekolah, dan birokrat di daerah. Juga tidak menimbulkan irasionalitas seperti yang terjadi pada UN saat ini. Ngotot mempertahankan UN itu sendiri merupakan cermin berpikir dan
bertindak irasional. ●

http://epaper. korantempo. com/KT/KT/ 2010/04/24/ ArticleHtmls/ 24_04_2010_ 009_009.shtml? Mode=1
Read More......

Ujian Nasional Menyesatkan

(Peneliti di American College Testing, USA)
Kelulusan Ujian Naional (UN) tingkat SMA dan Aliyah telah diumumkan. Hasilnya, walaupun tingkat kelulusan turun tajam tapi rerata nilai tetap naik dari 7,25 menjadi 7,29. Nilai ini diprediksi akan meroket setelah ujian ulangan selesai diselengarakan.

Peningkatan rerata UN setiap tahun yang mencapai sekitar 5% membuat bangga sejumlah kalangan di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) . Logika mereka, nilai UN meningkat berbanding lurus dan menjadi bukti mutu pendidikan meningkat. Berdasarkan logika ini, mereka simpulkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia meningkat 5% pertahun. Luar biasa !

Kalau data ini dapat dipercaya, boleh jadi para pakar pendidikan negara-negara lain (termasuk negara-negara maju) akan berbondong-bondong datang ke Indonesia dan belajar “keajaiban” kita mengelola pendidikan sehingga mutunya meningkat secara luar biasa. Sayangnya, kenyataannya itu tidak terjadi, tidak ada satupun dari mereka yang melirik apalagi datang dan belajar ke sini.

Masalah UN

Menyadari banyak manipulasi dalam pelaksanaannya yang mengakibatkan nilai UN naik di luar batas kewajaran, Badan Standarisasi Nasional Pendidikan yang mempunyai wewenang penuh dalam menentukan kebijakan UN, sejak tahun lalu lebih banyak melibatkan peran perguruan tinggi negeri (PTN) dalam kegiatan penulisan soal dan pelaksanaannya. Harapannya, jika kecurangan dapat dikurangi dan PTN telah menerima nilai UN sebagai salah satu pertimbangan seleksi mahasiswa baru, penolakan masyarakat terhadap UN menjadi berkurang dan UN dapat terus menjadi hajatan (mungkin juga bancakan) nasional setiap tahun.

Patut disayangkan, mereka kurang paham, permasalahan UN tidak hanya terletak pada tataran penyusunan soal dan pelaksanaan ujian tapi juga menyangkut persoalan paling fundamental dari suatu sistim ujian yaitu apa yang perlu dan harus diuji (what matter most to be assessed). Mencermati pola dan model soal-soalnya, UN lebih banyak menguji kemampuan siswa dalam menguasai materi hafalan (rote learning), yang pelaksanaannya sering dikerjakan dengan cara drilling, tryout, atau bimbingan tes. Karena itu, walaupun kecurangan dalam pelaksanaannya dapat dihilangkan, hasil UN masih kurang layak digunakan untuk mengetahui kompetensi siswa dan mutu pendidikan Indonesia. Skor perolehan siswa masih sangat sulit untuk diterjemahkan menjadi tingkat kompetensi siswa. Dengan kata lain, skor perolehan siswa pada UN, belum mampu menjelaskan pemahaman siswa pada mata pelajaran bersangkutan (test-wiseness) .

Masalah lain, UN menerapkan skor yang dikenal di dunia testing sebagai raw score (skor mentah) yang diperoleh dari jumlah benar dibagi jumlah soal dikali 10. Skor seperti ini boleh diterapkan di classroom tests, tapi illegal digunakan di high-stake test (termasuk UN), karena akan menyesatkan (misleading) . Harus ada konversi nilai dengan menggunakan metode statistik yang disebut equating.

Tes-Tes Berstandar Internasional

Ironis memang, sudah 65 tahun Indonesia merdeka Kemendiknas belum mampu membuat suatu sistem penilaian pendidikan nasional secara benar. Bagaimana mereka bisa mengetahui mutu dan meningkatkannya, kalau mereka sendiri tidak mampu membuat alat ukur yang bermutu. Untunglah, Indonesia beserta lebih dari 40 negara di dunia mengikuti tes-tes berstandar internasional, sehingga kita dapat memperoleh informasi mutu pendidikan kita lebih valid.

Selama tiga kali Indonesia ikut TIMSS (Trend in Mathematics and Science Study) yang diadakan setiap empat tahun yaitu tahun 1999, 2003, dan 2007, hasilnya menunjukan tidak ada peningkatan mutu. Selain itu, posisi Indonesia berada di bawah peserta negara-negara Asia Tenggara lainnya. Dari tiga periode tes siswa-siswa kita pada Mathematics memperoleh skor 403, 411, dan 405 (skala dari 0 s.d. 800). Sebagai pembanding, di tahun 2007 rekan-rekan mereka di Singapura, Malaysia, dan Thailand masing-masing memperoleh 593 dan 474, dan 441 (lihat www.timss.org) . Hasil PISA (Program for International Assessment) juga menunjukkan keadaan serupa. Pada tahun 2006, kemampuan siswa kita di Mathematics, Science, dan Reading masing-masing 391, 393, dan 393 (skala 0-800), sedangkan skor rerata semua negara pada saat itu adalah 498, 500, dan 492 (www.pisa.oedc. org).

Mungkin sebagian dari kita akan berkelit dengan mengemukakan bahwa itu data usang, karena tes-tes tersebut dilaksanakan 3 dan 4 tahun lalu. Betul, data terbaru dari PISA periode tes 2009 akan dikeluarkan akhir tahun ini dan TIMSS periode berikutnya akan berlangsung tahun depan. Namun, jangan berharap hasilnya nanti akan melonjak luar biasa dibandingkan pencapaian-pencapai an sebelumnya.

Alternatif UN
Kita harus menyadari dan menerima kenyataan bahwa mutu pendidikan kita sampai saat ini memang masih rendah. Pelaksanaan UN terbukti tidak dapat meningkatkan mutu; sebaliknya, justru dengan UN mudaratnya lebih banyak. Siswa, guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan juga orangtua siswa berlomba-lomba mengejar target kelulusan UN dengan pembelajaran model bimbingan tes, yang sangat merusak proses pembelajaran.
Ketimbang bersikukuh melaksanakan UN dengan biaya, tenaga, dan waktu yang dikeluarkan cukup besar, sebaiknya UN ditiadakan. Lebih baik uang yang satiap tahunnya bisa mencapai hampir satu triliun itu digunakan untuk tujuan yang hasilnya lebih nyata, seperti memperbaiki sarana-prasarana pendidikan, dan meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan guru, khususnya di daerah terpencil. Sebagai ganti UN, penilaian kelulusan jenjang sekolah menjadi tanggungjawab daerah tingkat dua, dan ini sejalan dengan kebijakan otonomi daerah. Pengelola pendidikan di daerah dapat mengadakan ujian kelulusan pada tingkat daerah, rayon, atau sekolah.
Lantas bagaimana mutu pendidikan secara nasional dimonitor dan dikendalikan? Laporan hasil tes berstandar internasional yang selama ini diperoleh Kemendiknas digunakan sebagai bagian dari upaya pemetaan mutu dan sebagai basis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Selain itu, sebagai pelengkap, setiap tiga tahun Kemendiknas perlu mengadakan survei tes tingkat nasional yang kredibel dengan melibatkan para pakar penilaian pendidikan. Bagi daerah (sekolah) yang masih rendah pemerintah perlu membantunya, dan yang sudah baik layak mendapat penghargaan dan menjadi percontohan. Setelah itu, kalau sampai tiga tahun atau sampai tes periode berikutnya daerah tertinggal tidak menunjukan peningkatan mutu, maka pemimpin institusi pendidikannya (seperti kepala sekolah dan kepala dinas) perlu lengser atau dilengserkan.
Read More......

Anatomy of a Plagiarism

Membaca berita-berita di media massa dan komentar-komentar di forum alumni IA-ITB, bagiku masih banyak "misteri" yang belum terjawab. Apalagi pihak-pihak yang langsung terkait juga masih bungkam seribu basa. Memang sudah dibentuk "pansus" untuk melakukan investigasi dan memberi rekomendasi dalam sebulan -- bahkan menurut dekan STEI (Adang Suwandi Ahmad), Komisi Kehormatan STEI ITB sudah melakukan investigasi sejak akhir tahun lalu [detikNews, 4/16/2001].

Entahlah, kenapa proses investigasi ini membutuhkan waktu begitu lama, seandainya punya akses ke disertasi MZ saya rasa tidak lebih dari 30 menit untuk membandingkannya dengan thesis dari Siyka Zlatanova yang bisa didapat di Internet. Kalau paper yang dikirim ke IEEE untuk konperensi Chengdu sudah jelas, carbon-copy alias jiplakan 100%.

Bukannya tidak sabar menunggu hasil kerja berat tim investigasi, tetapi banyak pertanyaan yang harus kujawab. Misalnya yang datang dari anak muda pemilik toko kecil di BeMall [tipikal anak-anak muda yang "kurang beruntung," tidak dapat melanjutkan ke perguruan tinggi dan harus berusaha mencari sesuap nasi dengan keringat sendiri]: "Kalau begitu, jadi doktor di ITB itu mudah sekali ya ... apa betul kesimpulan saya ini?"

"Errrr ... barangkali memang begitu ... di negeri ini, paling tidak di ITB, seperti skandal plagiarisme MZ baru-baru ini. Tentu saja bisa jadi ini hanya perkecualian, tidak bisa begitu saja kita gebyah-uyah (generalization) , tetapi ... mungkin ini juga hanya merupakan puncak yang kelihatan dari sebuah gunung es (the tips of an iceberg). Ada baiknya kita mencoba mengerti bagaimana perguruan tinggi yang termasuk "paling baik" di negeri ini bisa kecolongan. Apa yang sesungguhnya terjadi? Apa yang ada di benak si plagiarist ketika merencanakan dan melaksanakan kejahatannya? Apakah ada buku petunjuknya atau "contekannya" ?

Dibawah ini, aku akan berusaha menulis semacm "imaginary" how-to manual, yang mungkin dimulai dengan kalimat: "So you want to be a doctor?" -- dari kampus yang paling beken di nusantara. Beginilah caranya:

1. Daftar ke perguruan tinggi, nggak usah yang paling top, cukup yang "kelas dua" saja (PT2). Ada baiknya PT2 ini merupakan "spin-off" dari satu perguruan tinggi yang beken (PT1). Alasan utama adalah persaingan di PT2 tidak terlalu ketat, jadi besar kemungkinan diterima. Keuntungan lain adalah pelajaran lebih mudah, mudah lulus, dan juga lebih murah biayanya. Kuliah yang rajin sambil cari kontak dengan para pengajar - yang umumnya "diperbantukan" dari PT1.

2. Setelah lulus dari PT2, daftar ke program S2 dan selanjutnya S3 dari PT1. Hampir pasti anda akan diterima. Rekomendasi dari pengajar di PT2 pasti dipercaya oleh pengambil keputusan di PT1 -- lha wong orang-orangnya ya sama saja, atau paling tidak kolega di satu jurusan yang sama. Tentu saja ada "motivasi" lain. Duit anda sangat dibutuhkan oleh PT1, untuk "cross subsidy" atau apapun namanya, mengingat dana itu selalu kurang saja. Kalau mampu jangan pelit-pelit amat lah, masuk sekalian ke "jalur cepat." Dijamin anda akan bener-bener bisa lulus dengan cepat.

3. Soal riset/penelitian atau penulisan thesis. Jangan kuatir, didepan kampus biasanya ada yang terima "pesanan" paper, essay, tugas akhir, thesis atau disertasi. Mungkin bisa sambil pura-pura beli software bajakan atau janjian ketemu di tempat lain yang lebih discreet ketika membicarakan detail topik dan biayanya (siapa tahu ada teman atau pengajar yang kebetulan lewat).

4. Alternative yang lain adalah Internet -- murah-meriah alias gratis (kalau anda memang sudah pengalaman dengan jalur yang cheap ... you may have done it before, may be ever since highscool days). Ketrampilan web-surfing dan bahasa Ingrris sangat membantu. Google-search topik yang dibutuhkan, yang kira-kira diluar expertise para pembimbing (promotor). Ini penting sekali, karena beliau-beliau ini sangat sibuk, jadi tidak akan punya waktu untuk belajar atau membaca hal-hal yang baru -- apalagi hal-hal diluar bidang spesialisasinya yang sempit itu. [Di tanahair ada pepatah "orang berhenti belajar setelah mendapat gelar." It's sad but at least the words rhyme nicely :-]

5. Rajin-rajinlah "berkonsultasi" ke pembimbing, kalau bisa seminggu sekali, atau 2 kali seminggu kalau perlu. [Hey, bukankah anda berada di "jalur cepat"]. Anda sendiri tidak perlu rajin riset, cukup pelajari saja chapter atau bagian yang anda "konsultasikan" itu sebelum menghadap dan menyerahkan sang pembimbing. Anda akan pegang "upper hand" karena siapapun tidak akan bisa mencerna dalam tempo yang singkat -- lagi pula para pembimbing ini profesor dan pejabat yang amat sangat sibuk. Anda coba lempar satu-dua pertanyaan, (polite question, of course ... jangan sok jago!). Mohon petunjuk. Bisa ditebak pembimbing akan "menjaga posture akademik" (for crying outloud, they are the advisors, and you are a mere advisee) dan menasihati begini-begitu ... singkatnya "Lanjutkan!" (does this gives you a déjà vu?)

6. Chapter demi chapter ... ceritanya tidak banyak berbeda. P[ada setiap konsultasi "bimbingan" anda akan selalu kelihatan "begitu menguasai materi dan mampu menjawab pertanyaan, tidak seperti orang yang plagiat," (detikBandung, 19/4/2010). Lanjutkan! Nah, disini anda memutuskan kapan anda mau lulus. [Hey, bukankah anda berada di "jalur cepat"... dan andalah yang pegang kendali dalam proses "bimbingan" ini]. Lengkapi semua persyaratan kredit dan segala macam kewajiban publikasi, baik dalam maupun luar negeri. Rencanakan pesta selamatan wisuda yang heboh ... you earn it!

[Note: Kelihatannya MZ tidak membaca atau meremehkan "disclaimer" berikut.]

7. Jangan sekali-sekali --saya ulangi-- jangan sekali-sekali menerbitkan thesis/disertasi anda atau bagian darinya, walau sedikitpun, di jurnal atau publikasi internasional (baca: luar negeri), seperti misalnya jurnalnya IEEE. Bukan karena mereka ini institusi yang "sacred" tetapi hanya karena banyak dibaca orang (jutaan). Dalam hitungan hari akan ada seorang yang merasa déjà vu, "Hmmm ... I think I've read it before ... somewhere." Dan hanya butuh beberapa detik bagi Google untuk memberikan hasil pencariannya. And kaboom ... suddenly everyone is getting on your case! And you got a new middle name, "plagiarist" -- for the rest of your life. The rest, as they say, is history.

[Bersambung dengan bagian kedua, "Apa yang menyebabkan orang melakukan plagiarisme" dan bagian ketiga, "Bagaimana perguruan tinggi menanggulangi masalah ini"]

Moko Darjatmoko
Madison, Wisconsin*
Read More......