Hukum Positif dan Kasus Pembobolan ATM BCA
Maraknya pembobolan rekening melalui ATM akhir-akhir ini, membuktikan
bahwa penjahat-penjahat Indonesia sekarang bukan lagi penjahat kelas
jalanan. Bersaing ketat dengan kejahatan korupsi yang hampir pasti
dilakukan oleh para intelektual: pejabat, anggota DPR, polisi, jaksa,
hakim, pengusaha dll yang pada umumnya berpendidikan. Kemungkinan
mereka sekedar pendidikan Sekolah Menengah saja, tidak bergelar
pendidikan apa-apa. Namun kepenitarannya menyalagunakan teknologi
digital begitu mapan, saya tidak mampu untuk membayangkan bagaimana
teknik mereka membobol rekening yang katanya sudah terjamin
keamanannya tersebut.
Persoalannya bukan sekedar bagaimana cara mengungkap kejahatan
tersebut beserta modus operandinya secara tuntuas untuk kemudian
digunakan untuk menciptakan sarana dan teknologi untuk menangkalnya.
Namun juga bajingan-bajingan pembobol tersebut mau didakwa dan diadili
dan dipidana dengan UU (pidana) yang mana? Cukupkah hukum pidana
konvensional misalnya pencurian atau yang lebih maju misalnya UU ITE
digunakan untuk menangani (refresif) terhadap para bajingan tersebut?
Apabila kita melihat dari sudut, adanya perbuatan mengambil uang dari
mesin ATM, kok kayaknya pencurian (Pasal 362 KUHP atau lebih spesipik
(lex specilisnya) : Pasal 363 KUHP khusunya ayat (1) angka 5? Namun
secara juridis tepatkah? Saya akan mencoba menganilisnya seperti di
bawah ini.
Bentuk standar pencurian Pasal 362, yang harus dipenuhi terlebih dulu
untuk menyatakan dan menerapkan Pasal 363 Ayat (1) angka 5 (diberi
kualifikasi sebagai pencurian dengan merusak). Menurut Pasal 362
pengertian yuridis pencurrian adalah perbuatan “mengambil suatu
barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud
untuk dimiliki secara melawan hukum, …”
Tidak ada sesuatu masalah norma Pasal 362 jika dicocokkan dengan
pembobolan rekening di mesin ATM tersebut. Benar-benar pas bin cocok
alias sesuai benar. Persolan kecil yg perlu diberikan analisis, ialah
tentang perbuatan mengambil. Benarkah pada peristiwa tersebut terdapat
perbuatan mengambil? Apa artinya mengambil? Saya memberikan batasan
mengambil, yakni “melakukan suatu perbuatan tertentu dengan bentuk dan
cara apapun terhadap suatu benda (sebagian atau seluruhnya milik orang
lain) yang berakibat beralihnya kekuasaan benda tersebut ke dalam
kekuasaan si pelaku”.
Dari batasan perbuatan mengambil seperti itu, maka untuk dapat
dibuktikan adanya perbuatan mengambil yang dimaksud Pasal 362 KUHP
tersebut, adalah:
1. Sebelum melakukan wujud perbuatan itu, benda objek pencurian
belum/tidak berada di dalam kekuasaan orang yang mengambil/pencuri.
2. Dengan wujud dan perbuatan tertentu yang ditujukan pada benda objek
pencurian, berakibat benda itu berpindah kekuasaannya ke dalam
kekuasaan si pengambil/pencuri.
Dengan batasan perbuatan mengambil seperti itu, kayak-kayaknya
pencurian itu merupakan delik materiil ya? Benar tapi tidak murni.
Suatu delik yang dirumuskan secara formil, namun untuk
terjadinya/selesainya secara sempurna (voltooid) disyaratkan
beralihnya kekuasaan benda ke tangan orang yang mengambil atau si
pencuri. Unsur akibat tidak dicantumkan secara formal ke dalam rumusan
delik, namun harus ada sebagai syarat selesainya pencurian, unsur
akibat mana terdapat secara terselubung di dalam perbuatan mengambil.
Untuk terdatnya secara sempurna (voltooid) perbuatan mengambil – harus
telah beralihnya kekuasaan benda objek pencurian ke dalam kekuasaan si
pelaku. Sama halnya dengan perbuatan merusak, menghancurkan, membunuh
(Pasal 406) menghilangkan nyawa (Pasal 338), dan masih buaaanyak lagi.
Dengan demikian, maka bagaimana caranya dan wujud perbuatan mengambil
tidaklah menjadi persoalan, yang penting dari perbuatan yang entah
bagaimana cara dan wujudnya tersebut benda objek yang diambil beralih
kekuasaannya ke dalam kekuasaan si pencuri. Dengan penjelasan
tersebut, perbuatan mengambil tidak ada persoalan lagi. Cocok benar
dengan peristiwa pembobolan rekening tersebut. Demikian juga
unsur-unsur yang lain tidak ada masalah lagi. Cocok, pas bin genah sdh
memenuhi unsur-unsur delik pencurian.
Saya membaca di koran maupun di situs internet, polisi akan membidik
dengan pencurian yang diperberat yakni Pasal 363. Meski-pun tidak
diterangkan secara spesifik, tapi saya dapat menyimpulkan bahwa yang
dimaksud pastilah Ayat (1) angka 5, karena rumusan disanalah yang
paling dekat dari pada bentuk-bentuk lainnya dalam Pasal 363 tersebut.
Pasal 363 Ayat (1) angka 5 merumuskan “pencurian yang untuk masuk ke
tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang
diambil. Dilakukan dengan merusak, memotong, atau memanjat, atau
dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan
palsu”.
Waduh, kok jauh ya – sungguh besar hambatannya untuk menerapkan Ayat
(1) angka 5 tersebut. Hambatannya adalah dari isi-pengertian unsur “…
untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan” atau “untuk sampai pada
barang yang diambil” …. kiranya disinilah masalahnya. Mengapa??.
Unsur “untuk masuk ketempat melakukan kejahatan”, jelaslah menunjukkan
bahwa objek barang yang dicuri harus berada di dalam sebuah ruangan,
misalnya rumah, kamar atau gudang dsb. Pengertian seperti ini klop
benar dengan unsur berikutnya (caranya untuk masuk) terutama dengan
memakai anak kunci palsu. Dengan demikian, dapat dipastikan unsur ini
tidak mungkin dapat dipenuhi, karena untuk sampai pada objek benda
yang dicuri, si pelaku tidak masuk ke dalam suatu ruangan. Kecuali
jika mesin ATM tersebut ada di dalam gedung atau ruangan, yang untuk
sampai pada ruangan itu si pencuri merusak pintunya atau membuka
pintunya dengan anak kunci palsu. Kasusnya tidak demikian, ya kan???
Mesin ATM diletakkan di arela terbuka umumnya di tempat umum, bahkan
adakalanya dipinggir jalan raya yang mudah dijangkau umum.
Bagaimana dengan unsur alternatifnya yakni untuk sampai pada barang
yang diambil (bukan masuk ya) dengan cara merusak, memotong dsb.
Inipun sulit, karena untuk sampai pada mesin ATM si pelaku tidak
melakukan upaya merusak, memotong, memanjat dan sebagainya.
KESIMPULAN: Pasal 363 KUHP tidak bisa diterapkan. Oleh karena itu kami
– rakyat yang mendambakan tegaknya hukum yang benar (kepastian hukum),
kami berteriak keras: Haaaaai Pak polisi-2, pak jaksa-jaksa dan pak
hakim-2 yang kami hormati. Tolong terapkan hukum yang benar, jangan
ngawur dan untuk mencari popularitas dengan pokoknya di hukum berat.
Sikap yang demikianlah yang merusak sistem dan tatanan hukum pidana
kita selama ini. PRAKTIK YANG MERUSAK, DENGAN MENAFSIRKAN ASAL MAU
GUE. Itulah yang disebut dengan interpretatio est perversio. Mau
sampeyan di cap penegak hukum yang paling ngawur, tukang tafsir est
perversio???? Kalau begitu, apa bedanya anda dengan dukun ramal yang
duduk dipinggir jalan mencari mangsa dengan komat-kamit seolah-olah
berbicara dengan para jin dan dedemit untuk mendapatkan petunjuk
tentang nasib orang-orang yang tanpa iman?.
Sekarang, bagaimana dengan UU ITE. Delik yang mana kiranya yang
diprediksi dekat dengan kasus pembobolan rekening di mesin ATM
tersebut. Terdapat 19 bentuk tindak pidana dalam Pasal 27 sampai 37 UU
ITE. Diantara 19 macam tindak pidana ITE tersebut, kiranya yang dekat
dengan peristiwa pembobolan rekening di ATM tersebut yakni:
1. Pasal 30 Ayat (3) jo 36 jo 46 Ayat (3):
Pasal 30 Ayat (3) jo 36 merumuskan: “…dengan sengaja dan tanpa hak
atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik
dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui atau
menjebol sistem pengamanan, yang mengakibatkan kerugian bagi orang
lain”.
Saya kira perbuatan apa wujud dan caranya yang belum diketahui yang
dilakukan pembobol tersebut dapat dikualifikasikan (disamakan) dengan
perbuatan mengakses ….. dengan “menjebol” sistem pengaman. Untuk
memperkuat pendapat saya ini diperlukan ahli teletemstika untuk
menerangkannya di muka penyidik dan di muka hakim. Perbuatan seperti
itu berakibat kerugian bagi orang lain. Mengenai kerugian orang lain
merupakan unsur yang harus ditambahkan pada delik ITE yang dirumuskan
dalam Pasal 30 Ayat (3). Unsur kerugian ini terdapat dalam Pasal 36.
Semua delik yang dirumuskan dalam Pasal 27 sampai 34 tersebut, baru
dapat menjadi tindak pidana ITE bila terdapat unsur kerugian orang
lain dalam Pasal 36 ini.
Tindak pidana ITE dalam Pasal 27 s/d Pasal 34 jelas adalah merupakan
tindak pidana materiil. Timbulnya akibat merupakan syarat satu-satunya
penyelesaian delik. Membuat rumusan tindak pidana dalam UU ITE memang
cara yang tidak lazim. Suatu tindak pidana tertentu harus memuat
unsur-unsur yang dicantumkan dan menjadi kumulatif dalam tiga pasal.
Membuat rumusan yang mbulet? Tidak mudah orang memahaminya, harus
merangkai sendiri unsur-unsur dari dan dimuat dalam tiga pasal. Saya
tidak suka dengan cara perumusan yang demikian. Tentu masih banyak
cara dalam merumuskan suatu tindak pidana agar tidak mbulet, kan.
2. Pasal 33 jo 36 jo 49:
Pasal 33 jo 36 merumuskan “… dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya sistem
elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak
bekerja sebagaimana mestinya, yang mengakibatkan kerugian bagi orang
lain”.
Semata-mata terpenuhinya unsur Pasal 33 belum cukup menjadi tindak
pidana ITE harus ditambah pula unsur kerugian bagi orang lain yang
dirumuskan dalam pasal 36. Persepsi saya, dengan perbuatan yang belum
kita ketahui secara pasti bagaiaman bentuk dan caranya yang dilakukan
pembobol yang berakibat uang dalam mesin ATM dikeluarkan/dikuras
(dengan melawan hukum) sehingga sampai dikuasai pembobol, dapat
disamakan/dikualifikasikan seagai perbuatan yang mengakibatkan sistem
elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya. Sebab jika
sistem elektronik tidak dijadikan pembobol menjadi tidak bekerja
sebagaimana mestinya, maka tidak mungkin uang dapat dikeluarkan dari
mesin ATM.
Diantara 2 macam tindak pidana ITE tersebut, yang manakah yang paling
dekat dengan peristiwa pembobolan rekening melalui ATM tersebut?
Menurut saya dua-duanya dapat diterapkan, fifty-fifty lah sama-sama
kuat.
Hambatan umum dalam pekerjaan menganalisis delik-2 dalam ITE adalah
rumusannya tidak jelas, dapat menimbulkan multi tafsir, disamping
tidak semua ahli hukum, polisi, jaksa dan hakim memahami benar tentang
unsur-unsur atau kata atau istilah teknologi informasi degital yang
digunakan UU tersebut, meskipun sebagian istilah diberikan pengertian
otentiknya/yuridisnya, misalnya sistem elektornik, dokumen elektronik,
dll. Toh keterangan mengenai pengertian tersebut mencantukan pula
istilah-istilah yang tidak mudah dipahami oleh semua orang. Oleh
karena itu rasanya ahli telematika dan forensik digital (seperti Ruby
Alamsyah anggota HTCIA (High Technology Crime Investigation
Association) yang dapat dijadikan sample) mutlak diperlukan dalam
setiap mengungkap kasus-kasus cyber crime dan techno crime semacam
ini. Namun menurut analisis saya (sementara) cukup alasannya untuk
menyangkakan/mendakwakan dua bentuk kejahatan ITE tersebut sekaligus.
Saya sangat menyayangkan tindakan seseorang yang menyebut tindakan
Ruby tersebut sebagai tindakan "menyesatkan" dengan membeberkan modus
skimming pada ATM tersebut. Saya berani bertaruh atas kredibilitas
pribadi saya bahwa orang mempunyai pikiran macam itu adalah orang yang
justru tidak memiliki background IT dan hukum, melainkan hanya pandai
bersilat lidah komunikasi masal atas sebuah permasalahan, atau
setidaknya hanya mencari sensasi. Saya mengenal sepak terjang Ruby
jauh sebelum kasus ATM, lebih tepatnya sebelum kasus Prita menjadi
booming kita bersama-sama menganalisa mulai dari barang bukti email
Prita hingga masuk proses pembuktian, bukan maksud membela, tapi track
record beliau saya sudah ketahui bagaimana, berbeda dengan orang yang
"menuduh" Ruby mengajarkan teknik "maling" tersebut yang hanya sekedar
hoby IT.
Kembali pada hukum positif, persoalannya, dari 3 (tiga) macam tindak
pidana, ialah Pasal 362 KUHP, Pasal Pasal 30 Ayat (3) jo 36 jo 46 Ayat
(3) dan Pasal 33 jo 36 jo 49, yang menurut saya dapat diterapkan,
bagaimana cara menerapkannya??.
Untuk hal penerapan pidananya harus melihat penerapan pidana pada
perbarengan. Diantara 3 bentuk perbarengan, mengenai tiga macam tindak
pidana ITE pada kasus pembobolan tersebut dapat dikategorikan masuk ke
dalam bentuk perbarengan peraturan (concursus idialis) menurut Pasal
63 KUHP. Pemidanaan dalam hal perbarengan peraturan yang sesuai dengan
kasus ini ialah menerapkan Pasal 63 Ayat (1) yakni mengunakan sistem
hisapan (asorbsi stelsel). Dalam Pasal 63 Ayat (1) ada dua macam
sistem absorbsi. Petama, jika beberapa tindak pidana yang timbul dari
satu perbuatan itu, diancam dengan pidana yang sama berat, maka
dijatuhkan salah satu pidana dinatara beberapa aturan (rumusan delik)
pidana tersebut. Hakim bebas memilihnya berdasakan pertimbangannya
sendiri mana yang terdekat. Kedua, jika beberapa tindak pidana yang
timbul dari satu perbuatan itu diancam dengan pidana yang berat
ringannya tidak sama, maka dijatuhkan pidana menurut aturan pidana
(rumusan delik) yang diancam pidana yang paling berat.
Nah, diantara 3 macam tindak pidana tadi yang terberat ancaman
pidananya adalah Pasal 33 jo 36 jo 49, yaitu 10 tahun. Maka hakim
harus menjatuhkan pidana terhadap tindak pidana yang dirumuskan dalam
Pasal 33 jo 36 jo 49.
Kini bentuk surat dakwaan apa/bagaimana yang harus dibuat jaksa? Dalam
setiap beberapa tindak pidana bentuk perbarengan baik perbeangan
peraturan (Pasal 63 KUHP) maupun perbarengan perbuatan (Pasal 65
maupun 66), maka JPU harus membuat surat dakwaan bentuk kumulatif.
Pembuktiannya memang lebih ruwet dan sulit, karena wajib membuktikan
kesemua tindak pidana yang didakwakan. Namun tuntutan pidana haruslah
menggunakan sistem hisapan yang ditentukan dalam Pasal 63 tersebut.
Link:
http://mygoder.wordpress.com/2010/01/25/hukum-konvesional-dalam-pembobolan-atmbca
Silahkan jika ada yang ingin berdiskusi masalah ini, demi pembelajaran bersama
Read More......
bahwa penjahat-penjahat Indonesia sekarang bukan lagi penjahat kelas
jalanan. Bersaing ketat dengan kejahatan korupsi yang hampir pasti
dilakukan oleh para intelektual: pejabat, anggota DPR, polisi, jaksa,
hakim, pengusaha dll yang pada umumnya berpendidikan. Kemungkinan
mereka sekedar pendidikan Sekolah Menengah saja, tidak bergelar
pendidikan apa-apa. Namun kepenitarannya menyalagunakan teknologi
digital begitu mapan, saya tidak mampu untuk membayangkan bagaimana
teknik mereka membobol rekening yang katanya sudah terjamin
keamanannya tersebut.
Persoalannya bukan sekedar bagaimana cara mengungkap kejahatan
tersebut beserta modus operandinya secara tuntuas untuk kemudian
digunakan untuk menciptakan sarana dan teknologi untuk menangkalnya.
Namun juga bajingan-bajingan pembobol tersebut mau didakwa dan diadili
dan dipidana dengan UU (pidana) yang mana? Cukupkah hukum pidana
konvensional misalnya pencurian atau yang lebih maju misalnya UU ITE
digunakan untuk menangani (refresif) terhadap para bajingan tersebut?
Apabila kita melihat dari sudut, adanya perbuatan mengambil uang dari
mesin ATM, kok kayaknya pencurian (Pasal 362 KUHP atau lebih spesipik
(lex specilisnya) : Pasal 363 KUHP khusunya ayat (1) angka 5? Namun
secara juridis tepatkah? Saya akan mencoba menganilisnya seperti di
bawah ini.
Bentuk standar pencurian Pasal 362, yang harus dipenuhi terlebih dulu
untuk menyatakan dan menerapkan Pasal 363 Ayat (1) angka 5 (diberi
kualifikasi sebagai pencurian dengan merusak). Menurut Pasal 362
pengertian yuridis pencurrian adalah perbuatan “mengambil suatu
barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud
untuk dimiliki secara melawan hukum, …”
Tidak ada sesuatu masalah norma Pasal 362 jika dicocokkan dengan
pembobolan rekening di mesin ATM tersebut. Benar-benar pas bin cocok
alias sesuai benar. Persolan kecil yg perlu diberikan analisis, ialah
tentang perbuatan mengambil. Benarkah pada peristiwa tersebut terdapat
perbuatan mengambil? Apa artinya mengambil? Saya memberikan batasan
mengambil, yakni “melakukan suatu perbuatan tertentu dengan bentuk dan
cara apapun terhadap suatu benda (sebagian atau seluruhnya milik orang
lain) yang berakibat beralihnya kekuasaan benda tersebut ke dalam
kekuasaan si pelaku”.
Dari batasan perbuatan mengambil seperti itu, maka untuk dapat
dibuktikan adanya perbuatan mengambil yang dimaksud Pasal 362 KUHP
tersebut, adalah:
1. Sebelum melakukan wujud perbuatan itu, benda objek pencurian
belum/tidak berada di dalam kekuasaan orang yang mengambil/pencuri.
2. Dengan wujud dan perbuatan tertentu yang ditujukan pada benda objek
pencurian, berakibat benda itu berpindah kekuasaannya ke dalam
kekuasaan si pengambil/pencuri.
Dengan batasan perbuatan mengambil seperti itu, kayak-kayaknya
pencurian itu merupakan delik materiil ya? Benar tapi tidak murni.
Suatu delik yang dirumuskan secara formil, namun untuk
terjadinya/selesainya secara sempurna (voltooid) disyaratkan
beralihnya kekuasaan benda ke tangan orang yang mengambil atau si
pencuri. Unsur akibat tidak dicantumkan secara formal ke dalam rumusan
delik, namun harus ada sebagai syarat selesainya pencurian, unsur
akibat mana terdapat secara terselubung di dalam perbuatan mengambil.
Untuk terdatnya secara sempurna (voltooid) perbuatan mengambil – harus
telah beralihnya kekuasaan benda objek pencurian ke dalam kekuasaan si
pelaku. Sama halnya dengan perbuatan merusak, menghancurkan, membunuh
(Pasal 406) menghilangkan nyawa (Pasal 338), dan masih buaaanyak lagi.
Dengan demikian, maka bagaimana caranya dan wujud perbuatan mengambil
tidaklah menjadi persoalan, yang penting dari perbuatan yang entah
bagaimana cara dan wujudnya tersebut benda objek yang diambil beralih
kekuasaannya ke dalam kekuasaan si pencuri. Dengan penjelasan
tersebut, perbuatan mengambil tidak ada persoalan lagi. Cocok benar
dengan peristiwa pembobolan rekening tersebut. Demikian juga
unsur-unsur yang lain tidak ada masalah lagi. Cocok, pas bin genah sdh
memenuhi unsur-unsur delik pencurian.
Saya membaca di koran maupun di situs internet, polisi akan membidik
dengan pencurian yang diperberat yakni Pasal 363. Meski-pun tidak
diterangkan secara spesifik, tapi saya dapat menyimpulkan bahwa yang
dimaksud pastilah Ayat (1) angka 5, karena rumusan disanalah yang
paling dekat dari pada bentuk-bentuk lainnya dalam Pasal 363 tersebut.
Pasal 363 Ayat (1) angka 5 merumuskan “pencurian yang untuk masuk ke
tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang
diambil. Dilakukan dengan merusak, memotong, atau memanjat, atau
dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan
palsu”.
Waduh, kok jauh ya – sungguh besar hambatannya untuk menerapkan Ayat
(1) angka 5 tersebut. Hambatannya adalah dari isi-pengertian unsur “…
untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan” atau “untuk sampai pada
barang yang diambil” …. kiranya disinilah masalahnya. Mengapa??.
Unsur “untuk masuk ketempat melakukan kejahatan”, jelaslah menunjukkan
bahwa objek barang yang dicuri harus berada di dalam sebuah ruangan,
misalnya rumah, kamar atau gudang dsb. Pengertian seperti ini klop
benar dengan unsur berikutnya (caranya untuk masuk) terutama dengan
memakai anak kunci palsu. Dengan demikian, dapat dipastikan unsur ini
tidak mungkin dapat dipenuhi, karena untuk sampai pada objek benda
yang dicuri, si pelaku tidak masuk ke dalam suatu ruangan. Kecuali
jika mesin ATM tersebut ada di dalam gedung atau ruangan, yang untuk
sampai pada ruangan itu si pencuri merusak pintunya atau membuka
pintunya dengan anak kunci palsu. Kasusnya tidak demikian, ya kan???
Mesin ATM diletakkan di arela terbuka umumnya di tempat umum, bahkan
adakalanya dipinggir jalan raya yang mudah dijangkau umum.
Bagaimana dengan unsur alternatifnya yakni untuk sampai pada barang
yang diambil (bukan masuk ya) dengan cara merusak, memotong dsb.
Inipun sulit, karena untuk sampai pada mesin ATM si pelaku tidak
melakukan upaya merusak, memotong, memanjat dan sebagainya.
KESIMPULAN: Pasal 363 KUHP tidak bisa diterapkan. Oleh karena itu kami
– rakyat yang mendambakan tegaknya hukum yang benar (kepastian hukum),
kami berteriak keras: Haaaaai Pak polisi-2, pak jaksa-jaksa dan pak
hakim-2 yang kami hormati. Tolong terapkan hukum yang benar, jangan
ngawur dan untuk mencari popularitas dengan pokoknya di hukum berat.
Sikap yang demikianlah yang merusak sistem dan tatanan hukum pidana
kita selama ini. PRAKTIK YANG MERUSAK, DENGAN MENAFSIRKAN ASAL MAU
GUE. Itulah yang disebut dengan interpretatio est perversio. Mau
sampeyan di cap penegak hukum yang paling ngawur, tukang tafsir est
perversio???? Kalau begitu, apa bedanya anda dengan dukun ramal yang
duduk dipinggir jalan mencari mangsa dengan komat-kamit seolah-olah
berbicara dengan para jin dan dedemit untuk mendapatkan petunjuk
tentang nasib orang-orang yang tanpa iman?.
Sekarang, bagaimana dengan UU ITE. Delik yang mana kiranya yang
diprediksi dekat dengan kasus pembobolan rekening di mesin ATM
tersebut. Terdapat 19 bentuk tindak pidana dalam Pasal 27 sampai 37 UU
ITE. Diantara 19 macam tindak pidana ITE tersebut, kiranya yang dekat
dengan peristiwa pembobolan rekening di ATM tersebut yakni:
1. Pasal 30 Ayat (3) jo 36 jo 46 Ayat (3):
Pasal 30 Ayat (3) jo 36 merumuskan: “…dengan sengaja dan tanpa hak
atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik
dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui atau
menjebol sistem pengamanan, yang mengakibatkan kerugian bagi orang
lain”.
Saya kira perbuatan apa wujud dan caranya yang belum diketahui yang
dilakukan pembobol tersebut dapat dikualifikasikan (disamakan) dengan
perbuatan mengakses ….. dengan “menjebol” sistem pengaman. Untuk
memperkuat pendapat saya ini diperlukan ahli teletemstika untuk
menerangkannya di muka penyidik dan di muka hakim. Perbuatan seperti
itu berakibat kerugian bagi orang lain. Mengenai kerugian orang lain
merupakan unsur yang harus ditambahkan pada delik ITE yang dirumuskan
dalam Pasal 30 Ayat (3). Unsur kerugian ini terdapat dalam Pasal 36.
Semua delik yang dirumuskan dalam Pasal 27 sampai 34 tersebut, baru
dapat menjadi tindak pidana ITE bila terdapat unsur kerugian orang
lain dalam Pasal 36 ini.
Tindak pidana ITE dalam Pasal 27 s/d Pasal 34 jelas adalah merupakan
tindak pidana materiil. Timbulnya akibat merupakan syarat satu-satunya
penyelesaian delik. Membuat rumusan tindak pidana dalam UU ITE memang
cara yang tidak lazim. Suatu tindak pidana tertentu harus memuat
unsur-unsur yang dicantumkan dan menjadi kumulatif dalam tiga pasal.
Membuat rumusan yang mbulet? Tidak mudah orang memahaminya, harus
merangkai sendiri unsur-unsur dari dan dimuat dalam tiga pasal. Saya
tidak suka dengan cara perumusan yang demikian. Tentu masih banyak
cara dalam merumuskan suatu tindak pidana agar tidak mbulet, kan.
2. Pasal 33 jo 36 jo 49:
Pasal 33 jo 36 merumuskan “… dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya sistem
elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak
bekerja sebagaimana mestinya, yang mengakibatkan kerugian bagi orang
lain”.
Semata-mata terpenuhinya unsur Pasal 33 belum cukup menjadi tindak
pidana ITE harus ditambah pula unsur kerugian bagi orang lain yang
dirumuskan dalam pasal 36. Persepsi saya, dengan perbuatan yang belum
kita ketahui secara pasti bagaiaman bentuk dan caranya yang dilakukan
pembobol yang berakibat uang dalam mesin ATM dikeluarkan/dikuras
(dengan melawan hukum) sehingga sampai dikuasai pembobol, dapat
disamakan/dikualifikasikan seagai perbuatan yang mengakibatkan sistem
elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya. Sebab jika
sistem elektronik tidak dijadikan pembobol menjadi tidak bekerja
sebagaimana mestinya, maka tidak mungkin uang dapat dikeluarkan dari
mesin ATM.
Diantara 2 macam tindak pidana ITE tersebut, yang manakah yang paling
dekat dengan peristiwa pembobolan rekening melalui ATM tersebut?
Menurut saya dua-duanya dapat diterapkan, fifty-fifty lah sama-sama
kuat.
Hambatan umum dalam pekerjaan menganalisis delik-2 dalam ITE adalah
rumusannya tidak jelas, dapat menimbulkan multi tafsir, disamping
tidak semua ahli hukum, polisi, jaksa dan hakim memahami benar tentang
unsur-unsur atau kata atau istilah teknologi informasi degital yang
digunakan UU tersebut, meskipun sebagian istilah diberikan pengertian
otentiknya/yuridisnya, misalnya sistem elektornik, dokumen elektronik,
dll. Toh keterangan mengenai pengertian tersebut mencantukan pula
istilah-istilah yang tidak mudah dipahami oleh semua orang. Oleh
karena itu rasanya ahli telematika dan forensik digital (seperti Ruby
Alamsyah anggota HTCIA (High Technology Crime Investigation
Association) yang dapat dijadikan sample) mutlak diperlukan dalam
setiap mengungkap kasus-kasus cyber crime dan techno crime semacam
ini. Namun menurut analisis saya (sementara) cukup alasannya untuk
menyangkakan/mendakwakan dua bentuk kejahatan ITE tersebut sekaligus.
Saya sangat menyayangkan tindakan seseorang yang menyebut tindakan
Ruby tersebut sebagai tindakan "menyesatkan" dengan membeberkan modus
skimming pada ATM tersebut. Saya berani bertaruh atas kredibilitas
pribadi saya bahwa orang mempunyai pikiran macam itu adalah orang yang
justru tidak memiliki background IT dan hukum, melainkan hanya pandai
bersilat lidah komunikasi masal atas sebuah permasalahan, atau
setidaknya hanya mencari sensasi. Saya mengenal sepak terjang Ruby
jauh sebelum kasus ATM, lebih tepatnya sebelum kasus Prita menjadi
booming kita bersama-sama menganalisa mulai dari barang bukti email
Prita hingga masuk proses pembuktian, bukan maksud membela, tapi track
record beliau saya sudah ketahui bagaimana, berbeda dengan orang yang
"menuduh" Ruby mengajarkan teknik "maling" tersebut yang hanya sekedar
hoby IT.
Kembali pada hukum positif, persoalannya, dari 3 (tiga) macam tindak
pidana, ialah Pasal 362 KUHP, Pasal Pasal 30 Ayat (3) jo 36 jo 46 Ayat
(3) dan Pasal 33 jo 36 jo 49, yang menurut saya dapat diterapkan,
bagaimana cara menerapkannya??.
Untuk hal penerapan pidananya harus melihat penerapan pidana pada
perbarengan. Diantara 3 bentuk perbarengan, mengenai tiga macam tindak
pidana ITE pada kasus pembobolan tersebut dapat dikategorikan masuk ke
dalam bentuk perbarengan peraturan (concursus idialis) menurut Pasal
63 KUHP. Pemidanaan dalam hal perbarengan peraturan yang sesuai dengan
kasus ini ialah menerapkan Pasal 63 Ayat (1) yakni mengunakan sistem
hisapan (asorbsi stelsel). Dalam Pasal 63 Ayat (1) ada dua macam
sistem absorbsi. Petama, jika beberapa tindak pidana yang timbul dari
satu perbuatan itu, diancam dengan pidana yang sama berat, maka
dijatuhkan salah satu pidana dinatara beberapa aturan (rumusan delik)
pidana tersebut. Hakim bebas memilihnya berdasakan pertimbangannya
sendiri mana yang terdekat. Kedua, jika beberapa tindak pidana yang
timbul dari satu perbuatan itu diancam dengan pidana yang berat
ringannya tidak sama, maka dijatuhkan pidana menurut aturan pidana
(rumusan delik) yang diancam pidana yang paling berat.
Nah, diantara 3 macam tindak pidana tadi yang terberat ancaman
pidananya adalah Pasal 33 jo 36 jo 49, yaitu 10 tahun. Maka hakim
harus menjatuhkan pidana terhadap tindak pidana yang dirumuskan dalam
Pasal 33 jo 36 jo 49.
Kini bentuk surat dakwaan apa/bagaimana yang harus dibuat jaksa? Dalam
setiap beberapa tindak pidana bentuk perbarengan baik perbeangan
peraturan (Pasal 63 KUHP) maupun perbarengan perbuatan (Pasal 65
maupun 66), maka JPU harus membuat surat dakwaan bentuk kumulatif.
Pembuktiannya memang lebih ruwet dan sulit, karena wajib membuktikan
kesemua tindak pidana yang didakwakan. Namun tuntutan pidana haruslah
menggunakan sistem hisapan yang ditentukan dalam Pasal 63 tersebut.
Link:
http://mygoder.wordpress.com/2010/01/25/hukum-konvesional-dalam-pembobolan-atmbca
Silahkan jika ada yang ingin berdiskusi masalah ini, demi pembelajaran bersama
Read More......