UN dan Ketidakjujuran
MULAI Selasa (22/4) hingga Kamis (24/4), siswa-siswa SD, SMP, dan SMA/SMK akan menghadapi ujian nasional (UN) yang akan diikuti sekitar 10 juta peserta didik dan diperkirakan menghabiskan dana sampai Rp 1 triliun.
Bagi siswa-siswa SD, UN sekarang yang disebut ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) adalah untuk pertama kalinya. Sementara itu bagi siswa sekolah menengah, ujian ini merupakan pelaksanaan yang kelima kalinya, dengan jumlah mata pelajaran dua kali lipat dari mata uji tahun sebelumnya.
Rasanya hampir dapat dipastikan, kita akan kembali disuguhi permasalahan tahun-tahun sebelumnya, seperti beredarnya kunci jawaban, oknum kepala sekolah/pejabat daerah membuat "tim sukses" UN dan siswa menyontek jawaban siswa lainnya.
Tidak perlu dimungkiri bahwa ketidaksiapan siswa dan keharusan mereka lulus UN yang hanya diselenggarakan satu kali dalam satu tahun, memaksa siswa, orang tua siswa, guru, kepala sekolah, dan pejabat setempat melakukan kolaborasi untuk melakukan kecurangan. Kita masih ingat guru-guru dari kelompok Air Mata Guru di Medan membuat headline di media cetak dan elektronik pada pelaksanaan UN tahun kemarin karena mereka menolak "membantu" siswanya agar "sukses" UN.
Hal yang menarik, kecurangan mungkin tidak hanya ditujukan untuk membantu siswa agar lulus UN, tetapi juga sebagai prestise agar ranking nilai UN sekolah atau daerah berada di papan atas tingkat nasional. Ranking-ranking nilai UN yang setiap tahun dikeluarkan oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) menggambarkan sinyalemen ini. Hampir seluruh sepuluh besar papan atas di UN dikuasai oleh sekolah-sekolah yang tidak pernah terdengar punya prestasi di tingkat provinsi, apalagi tingkat nasional, dan lima besar ranking kabupaten/kotamadya juga dimonopoli oleh daerah-daerah yang tidak berprestasi di dunia pendidikan.
Kasus Garut
Masih ingat kasus Kabupaten Garut pada pelaksanaan UN 2006? Kompas 30 Juni 2006 melaporkan bahwa Agus Sugandhi, Sekretaris Jenderal Garut Governance Watch, menengarai adanya kecurangan dalam pelaksanaan UN di Kab. Garut karena adanya tekanan dari sejumlah pejabat daerah untuk menyukseskan tingkat kelulusan 100%.
Di pihak lain, para pejabat yang merasa dituding membantah adanya sinyalemen kecurangan, tetapi mereka mengakui adanya beberapa oknum sekolah yang melakukannya. Walaupun mereka membantah, melihat data hasil UN, ketidakjujuran berjemaah telah terjadi dalam pelaksanaannya.
Berdasarkan data dari Puspendik, Kab. Garut mengalami peningkatan luar biasa dalam UN. Di Jawa Barat, dalam UN SMP pada tahun 2004 Kab. Garut menduduki posisi ke-11 di antara daerah tingkat dua, tetapi tiba-tiba melejit ke depan dengan menduduki posisi keempat pada tahun 2005, dan akhirnya menjadi juara pada tahun 2006.
Prestasi luar biasa seperti ini juga dicapai Kab. Garut dalam UN SMA. Di tingkat nasional, Kab. Garut pada tahun 2006 menempati urutan pertama dalam prestasi kelulusan yang hampir 100%, 99,75% untuk SMP dan 99,93% untuk SMA. Sebagai pembanding, persentase kelulusan nasional adalah 92.68% dan 94.04% masing-masing untuk tingkat SMP dan SMA.
Apakah prestasi Kab. Garut ini berkolerasi positif dengan peningkatan layanan pendidikannya? Ternyata tidak. Menurut hasil survei Indonesia Corruption Watch (ICW) beberapa tahun terakhir, kualitas layanan pendidikan di Garut selalu yang terburuk di tanah air. Ketidakwajaran "prestasi" Kab. Garut ini juga terdeteksi pada buku Index Objektivitas yang disusun oleh Puspendik. Buku ini berisi indeks ketidakwajaran atau ketidakjujuran setiap sekolah, kabupaten/kotamadya , dan provinsi dalam pelaksanaan UN. Sebagai informasi, di buku ini indeks ketidakwajaran Kab. Garut terbesar di antara daerah-daerah tingkat dua.
Pada pelaksanaan UN 2007, berita kecurangan tidak nyaring terdengar dari Kab. Garut dan kalah nyaring dengan berita dari Kotamadya Medan yang dibawakan oleh kelompok Air Mata Guru. Ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama, karena tingkat kecurangan di Kab. Garut menurun atau karena daerah lain intensitas kecurangannya meningkat. Dari seluruh daerah di Jabar pada tahun tersebut posisi Kab. Garut sedikit melorot ke urutan tiga dalam UN.
Metode statistik
Masalah kecurangan peserta tes dalam menjawab soal-soal pilihan ganda bertahun-tahun telah menjadi perhatian para ahli di bidang educational measurement (penilaian pendidikan). Mereka mengembangkan metode statistik untuk mendeteksi siapa-siapa saja yang diduga melakukannya. Metode ini dibagi menjadi dua kategori. Masing-masing metode berdasarkan teori peluang menjawab soal dan metode berdasarkan perbandingan pola jawaban antarpeserta tes.
The index (Frary, Tideman, & Watts, 1977) dan the index (Wollack, 1997) adalah contoh metode kategori pertama. Kedua metode ini dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa setiap peserta tes punya peluang menjawab benar atau salah suatu soal yang diberikan berdasarkan tingkat kemampuan dia dan tingkat kesukaran soal tersebut. Dalam kondisi tidak terjadi kecurangan, peluang dia menjawab benar pada soal-soal mudah dan menjawab salah pada soal-soal sukar akan lebih besar. Kedua metode ini sama, perbedaannya yang pertama berdasarkan teori tes klasik dan yang satu lagi berdasarkan teori tes modern (Item Response Theory).
Contoh dari kategori kedua adalah the K index (Holland, 1996) dan the Pair1 and Pair2 indices (Hanson, Harris, & Brennan, 1987). Dasar dari metode ini sederhana, yaitu dengan membandingkan pola jawaban pasangan-pasangan peserta tes yang dicurigai dengan distribusi jawaban dari pasangan-pasangan peserta tes yang disebut benchmark group. Benchmark group adalah kelompok peserta tes yang tidak mungkin (sangat kecil kemungkinannya) menyontek satu sama lain (melakukan kecurangan) karena mereka berada di lokasi tes yang berbeda. ACT atau American College Testing yang merupakan suatu lembaga testing ternama di Amerika Serikat menerapkan the Pair1 and Pair2 indices untuk mendeteksi ketidakwajaran jawaban peserta tes dalam tesnya.
Metode di atas digunakan sebagai metode statistik untuk mendapatkan informasi tambahan apakah individu peserta tes menyontek atau tidak, biasanya setelah pengawas tes melaporkan adanya kecurigaan terhadap peserta tersebut. Akan tetapi, metode tersebut tidak untuk mendeteksi penyontekan kelompok peserta tes (dalam arti kelas, sekolah, kotamadya/kabupaten , dan/atau provinsi) yang mungkin terjadi pada pelaksanaan UN. Penulis mengembangkan the Pair1 and Pair2 indices untuk mendeteksi ketidakwajaran jawaban kelompok peserta UN yang hasilnya berupa Index Objektivitas.
Mengurangi ketidakjujuran
Untuk mengurangi kecurangan dan perbaikan UN, pemerintah dalam hal ini Diknas perlu memerhatikan tiga saran berikut. Pertama, bagikan secara random (acak) semua paralel paket tes (dengan asumsi tidak ada soal-soal yang sama antarpaket) yang digunakan pada tahun tersebut pada setiap ruangan tes. Banyaknya paket-paket soal dalam suatu ruangan tes akan menyulitkan siswa (dan juga sekolah) melakukan kecurangan. Misal, ada 10 paket tes pada tahun tersebut dan ada 30 siswa dalam satu ruangan, maka kemungkinannya hanya ada tiga orang yang akan memperoleh paket tes yang sama dalam satu ruangan tes. Lebih lanjut, kemungkinan dua siswa yang duduk berdekatan memperoleh paket tes sama sangat kecil 0,01 (satu berbanding 100).
Juga dari masalah kebocoran cara ini lebih aman karena belum tentu siswa yang mendapatkan bocoran soal atau jawaban paket tertentu akan mendapatkan soal-soal tersebut pada saat ujian. Walaupun, andaikan, semua paket soal bocor, siswa akan kesulitan mempelajari /menghafalkan semua jawaban soal-soal UN karena keterbatasan waktu dan banyaknya paket yang diadministrasikan. Sebagai contoh, jika UN SMP dengan empat bidang studi berjumlah 180 soal (40, 40, 50, dan 50 soal masing-masing untuk matematika, IPA, bahasa Indonesia, dan Inggris) dan masing-masing bidang studi ada sepuluh paket yang diadministrasikan bocor, maka akan ada 1.800 soal yang harus dihafalkan jawabannya dalam waktu tidak lebih dari 48 jam (dua hari menjelang pelaksanaan paket-paket soal UN didistribusikan ke daerah tingkat dua) oleh siswa pada saat UN.
Kalau siswa dapat lulus UN dengan banyaknya jumlah paket soal yang digunakan, ini lebih karena siswa dapat mengerjakan soal-soal ujian ketimbang karena mereka mendapat bocoran soal atau jawabannya. Bandingkan dengan UN sekarang karena hanya ada dua paket soal (terlebih jika banyak soal yang sama antarpaket) digunakan di setiap provinsi jika bocor satu paket, risiko kegagalan UN di provinsi tersebut besar.
Kedua, jika UN tetap ingin digunakan sebagai alat penentu kelulusan dan hanya dilaksanakan satu tahun satu kali, perlu mendesain UN yang adil dalam arti tingkat kesukaran UN disesuaikan dengan kualitas sekolah. Sekolah berkualitas baik tentunya perlu memperoleh paket-paket tes yang lebih sulit daripada sekolah berkualitas kurang. Perbedaan tingkat kesukaran antarpaket dapat ditanggulangi dengan metode equating (penyetaraan tingkat kesukaran) sehingga semua paket berada pada skala yang sama.
Apa yang berlangsung di UN sekarang adalah ibarat kejuaraan loncat tinggi sekaligus ajang seleksi atlet untuk ikut Pekan Olahraga Nasional (PON) yang diikuti oleh peserta dengan kemampuan sangat heterogen. Ada atlet tingkat kampung, ada juara provinsi atau nasional, bahkan juga ada juara olimpiade. Panitia penyelenggara pasti bingung, darimana tinggi mistar akan dimulai? Mulai dari 2,0 m, mistar akan terlalu tinggi dan membuat frustrasi atlet tingkat kampung (mungkin juga bagi atlet nasional). Akan tetapi jika di 1,50 m mistar terlalu rendah dan buang-buang waktu serta tenaga saja bagi si juara olimpiade.
Fakta lain, kejuaraan ini tidak akan menarik. Masyarakat sudah tahu jika kompetisi ini berjalan jujur, si juara olimpiade akan menjadi pemenang, sedangkan si atlet tingkat kampung akan menjadi juru kunci, bahkan mungkin tidak dapat ikut PON. Akan tetapi apa yang terjadi kemudian? Hasil kejuaraan memutarbalikkan nalar waras masyarakat. Si atlet tingkat kampung tidak hanya dapat lolos untuk ikut ke PON, tetapi juga menjadi juara mengalahkan juara olimpiade. Selidik punya selidik, karena takut tidak dapat lolos ke PON yang berarti kariernya tamat, si atlet kampung ini melakukan kecurangan dengan menggunakan alat bantu (seperti tangga, kursi, atau meja) agar dapat meloncati mistar.
Ketiga, terlepas dari pro dan kontra pelaksanaan UN, perlu diimbau kepada orang tua murid, guru, kepala sekolah, pejabat daerah, dan mereka yang terlibat di dalamnya untuk ikut mengawasi dan mendukung siswa untuk mengerjakan UN dengan jujur. Kejujuran dalam mengerjakan UN merupakan suatu keharusan karena ketidakjujuran berakibat buruk pada rasa keadilan, merusak tujuan dari UN yang dibuat dan dilaksanakan dengan dana sangat besar, serta akan memperparah ketidakjujuran generasi muda kita.
Selain itu perlu diinformasikan kepada mereka bahwa ketidakjujuran dalam melaksanakan UN dapat dideteksi dengan menggunakan suatu metode statistik. Dua tahun terakhir ini, menteri dan pejabat pusat Diknas telah mendapat laporan tentang sekolah-sekolah dan daerah-daerah mana saja yang perlu mendapat "pembinaan" agar melaksanakan UN secara jujur.***
Sumber
Oleh Heru Widiatmo
Rabu, 23 April 2008
Penulis, alumnus University of Iowa, AS, pernah bekerja di ACT Inc., Iowa City, Iowa, AS.
0 komentar:
Posting Komentar