" The Great Of Create Essays "

now I'm very busy with a lot of work  essays from lecturers and never finished. But since the existence of my essay http://www.professays.com can be resolved. and with this you can custom  essays with good. You must believe it.

To write here is very professional essay not like the market and developed in other pakistan it. By sample essays is good then
they offer all the best for your essays.


To buy essays they are consistent with there working with them to SWREG Inc.
transactions safely and easily . Not only that they also can  compare and contrast with all the other essays the giver and give you help about Create Essays.


Read More......

Pro atau Kontra Ujian Nasional?

Setiap tahun selalu ada berita kejutan dengan Ujian Nasional (UN). Tahun ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) tertanggal 13 Oktober 2009 pelaksanaan UN untuk sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah umum (SMA dan SMK) akan dilaksanakan pada bulan Maret 2010. Jadwal ini satu bulan lebih cepat ketimbang jadwal tahun-tahun sebelumnya. Alasan perubahan jadwal ini karena UN akan diadakan dua kali.

Pertanyaannya, kenapa sekarang UN diadakan dua kali? Alasan pemerintah, sebagaimana yang disampaikan oleh sekertaris Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) Edy Tri Baskoro, untuk memberikan kesempatan ujian ulangan bagi siswa yang tidak lulus pada ujian utama (Kompas; 12 November 2009).

Kalau kita mengikuti alur alasan ini dan menggunakan data tahun lalu sebagai acuan, maka sekitar 6%, 4%, dan 5% masing-masing siswa SMP, SMA, dan SMK akan mendapat keuntungan dengan adanya UN ulangan ini. Tetapi, melihat jadwal ujian utama dan ulangan hanya berselang 6 minggu dan dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya pengumuman kelulusan bisa lebih dari empat minggu setelah pelaksanaannya, kecil kemungkinan mereka dapat mempersiapkan diri lebih baik dan lulus pada UN ulangan jika UN dilaksanakan sesuai kaidah standar tes yang berlaku di ilmu penilaian pendidikan, pengujian atau testing. Jadi assumsi UN ulangan dapat memberikan manfaat bagi siswa masih tanda tanya besar.

Sedangkan mudarat perubahan jadwal dan kebijakan secara tiba-tiba ditengah-tengah tahun ajaran lebih banyak. Pertama, hal yang sudah pasti akan terjadi, dengan memajukan jadwal UN memaksa sekolah mempercepat materi pembelajaran kelas III, agar sekolah dapat lebih cepat mempersiapkan siswanya menghadapi UN. Akibatnya, pembelajaran siswa kelas III menjadi tidak optimal. Kedua, juga hal yang pasti akan terjadi, pemerintah dan mereka yang terlibat di dalamnya akan menghabiskan tenaga, waktu, dan biaya lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya karena disibukkan pelaksanakan UN dua kali.

Ketiga, bagi mereka yang paham dengan ilmu testing tentu tidak sependapat dengan adanya ujian ulangan pada high stake exams atau standardized tests (seperti UN), karena akan menimbulkan ketidak adilan dan secara ilmiah tidak dapat diterima. Bagaimana, misanya, jika siswa ketika ikut UN ulangan mendapat nilai 9, apakah nilai ini akan dicantumkan di ijasah? Jika nilai ini digunakan, tentu tidak fair bagi siswa lain yang lulus pada UN utama tapi mendapat nilai lebih rendah dari 9. Sebaliknya, kalau nilai ini diabaikan tidak fair bagi siswa tersebut. Selain itu, penulis belum pernah memperoleh informasi adanya ujian ulangan pada high stake exams di negara lain dimana hanya diikuti oleh mereka yang tidak lulus pada ujian utama. Model ujian ulangan seperti ini hanya mungkin diterapkan untuk classroom tests, tidak untuk tes seperti UN.

Ketidak pahaman bagaimana seharusnya UN diterapkan sesuai ilmu testing selama lima tahun terakhir ini tidak lepas dari peran BSNP yang mempunyai wewenang penuh dalam menentukan kebijakan, pelaksanakan, dan evaluasi UN. Latar belakang anggota BSNP yang terdiri dari 15 orang professor tetapi hanya satu orang saja yang berlatar belakang di bidang penilaian pendidikan menyebabkan kebijakan-kebijakan BSNP tentang UN setiap tahun selalu menuai kontraversi. Apalagi mereka bekerja di BSNP tidak fulltime, tetapi hanya satu atau dua hari dalam satu minggu, mengingat mereka juga bekerja sebagai tenaga pendidik di perguruan tinggi masing-masing.

Belajar dari Negara Lain

Kita perlu mengamati profesionalisme dan keseriusan negara lain menangani sistim ujiannya. Terlepas dari apakah mereka menerapkan sistim ujian akhir nasional (seperti Indonesia) atau tidak, yang pasti mereka memiliki suatu lembaga penilaian independen yang khusus melakukan penelitian, mendesain, menerapkan, dan mengevaluasi sistim ujian yang tepat bagi negaranya. Lembaga ini beranggotakan dan memperkerjakan orang-orang yang memang pakar dibidangnya dan tentunya bekerja fulltime (bukan sambilan). Sebagai contoh Singapura dengan Singapore Examination and Assessment Board, Malaysia dengan Lembaga Peperiksaan Malaysia, di Cina ada National Education Examination Authority (NEEA), dan di United States of America (USA) ada dua lembaga testing yang terkenal di dunia testing yaitu Educational Testing Services (ETS) dan American College Testing (ACT).

UN di Cina dibawah kendali NEEA. Selain untuk menentukan kelulusan, nilai UN-nya digunakan untuk masuk ke perguruan tinggi. Badan ini memperkerjakan puluhan pegawai lulusan S3 dari bidang penilaian pendidikan, dan setiap tahun mengirim stafnya ke lembaga-lembaga testing lain yang lebih maju untuk memperdalam ilmu testing dan penerapannya. Sebagai contoh, bulan September dan Oktober kemarin sejumlah 7 orang pegawai NEEA magang di ACT selama sekitar satu bulan. Dan sebagai bukti bahwa NEEA bekerja professional, mereka diberi wewenang mengadministrasikan pelaksanaan semua international standardized tests milik negara lain; seperti tes-tes milik ETS dan ACT yaitu Test of English as a Foreign Language (TOEFL), dan Graduate Record Examinations (GRE).

Berbeda dengan Indonesia dan Cina, USA tidak mengenal UN. Kelulusan ditentukan oleh negara bagian (state) masing-masing. Banyak state memberlakukan kelulusan, tetapi ada juga yang tidak. Bagi state yang tidak menggunakan standar kelulusan, mereka tetap memberikan standardized tests pada tingkatan kelas-kelas tertentu hanya untuk mengukur perkembangan pendidikan siswa (tidak digunakan untuk menentukan kenaikan kelas atau kelulusan). Untuk state yang memberlakukan kebijakan kelulusan, kelulusan ini (lebih tepatnya disebut sertifikasi) hanya berlaku di tingkat SMA tidak untuk SMP apalagi SD. Yang menarik, ujian sertifikasi ini boleh diambil setelah siswa menyelesaikan pendidikannya di kelas 9 (Kelas 3 SMP). Bagi yang tidak lulus tetap dapat terus belajar di kelasnya masing-masing, dan dapat mengulang tes ini satu semester kemudian. Karena di USA ada 3 semester dalam satu tahun ajaran, siswa mendapat 9 kali kesempatan menempuh tes ini untuk memperoleh
sertifikat kelulusannya.

Walaupun tidak semua state mengenal ujian kelulusan, Department of Education atau DOE (Depdiknas-nya USA) mempunyai mekanisme memonitor perkembangan pendidikannya paling tidak melalaui informasi dari dua testing. Pertama, setiap tiga tahun DOE dibantu ETS dan ACT mengadministrasikan National Assessment of Educational Progress (NAEP). Tes ini merupakan survey-test yang dibuat untuk memonitor perkembangan kemampuan siswa USA dalam membaca, matematika, dan science. Kedua, setiap siswa SMA yang akan melanjutkan ke universitas di USA diharuskan mengambil ACT Assessment; yaitu tes yang mengukur kemampuan siswa dalam membaca, matematika, science, dan English. Karena identitas siswa lengkap (mencantumkan asal sekolah) pada saat mengikut tes ditambah informasi dari NAEP, kualitas pendidikan di setiap sekolah, district (kecamatan, kabupaten/kotamadya ), dan state di USA dapat dipetakan dan dibandingkan.

Lembaga Penilaian Independen

Kembali ke masalah UN di Indonesia, penulis tidak pro atau kontra dengan adanya UN. Masalahnya adalah dengan segala keterbatasan yang ada pada BSNP, penulis tidak yakin hasil UN dapat menjadi alat ukur (measurement tool) yang reliable (handal) dan valid (dapat dipercaya) untuk melihat perkembangan pendidikan di Indonesia. Sulit (atau mungkin juga mustahil) kita dapat memperbaiki dan meningkatan kualitas pendidikan negara kita melalui model dan penyelenggaraan UN seperti apa yang kita kerjakan selama ini. Waktu, tenaga, dan biaya ratusan milyar rupiah yang kita keluarkan, tidak sepadan dengan apa yang kita dapatkan. Sebagai informasi, UN tahun lalu menghabiskan dana sekitar 900 milyar.

Belajar dari negara lain, pemerintah melalui Depdiknas harus segera membentuk suatu lembaga penilaian independen yang bekerja secara professional dan fulltime untuk meneliti, mendisain, merumuskan, melaksanakan, dan mengevaluasi sistim ujian yang tepat bagi bangsa Indonesia. Tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) BSNP perlu diperbaiki dan dibatasi. Tupoksi mereka hendaknya dibatasi hanya memikirkan masalah kebijakan yang berhubungan dengan mutu dan standarisasi pendidikan nasional, dan mereka tidak lagi terlibat dalam masalah-masalah teknis penilaian pendidikan (seperti menentukan jadwal, jumlah paket, jumlah soal, dan skoring UN). Harapan penulis, Indonesia masa depan memiliki lembaga penilaian independen yang dikelola secara professional dan memperkerjakan para pakar penilaian pendidikan yang dapat memperbaiki sistim pengujian di Indonesia. Semoga ……………………..

Heru Widiatmo, Ph.D.
Peneliti (Researcher)


Read More......

UN dan Ketidakjujuran

MULAI Selasa (22/4) hingga Kamis (24/4), siswa-siswa SD, SMP, dan SMA/SMK akan menghadapi ujian nasional (UN) yang akan diikuti sekitar 10 juta peserta didik dan diperkirakan menghabiskan dana sampai Rp 1 triliun.

Bagi siswa-siswa SD, UN sekarang yang disebut ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) adalah untuk pertama kalinya. Sementara itu bagi siswa sekolah menengah, ujian ini merupakan pelaksanaan yang kelima kalinya, dengan jumlah mata pelajaran dua kali lipat dari mata uji tahun sebelumnya.

Rasanya hampir dapat dipastikan, kita akan kembali disuguhi permasalahan tahun-tahun sebelumnya, seperti beredarnya kunci jawaban, oknum kepala sekolah/pejabat daerah membuat "tim sukses" UN dan siswa menyontek jawaban siswa lainnya.

Tidak perlu dimungkiri bahwa ketidaksiapan siswa dan keharusan mereka lulus UN yang hanya diselenggarakan satu kali dalam satu tahun, memaksa siswa, orang tua siswa, guru, kepala sekolah, dan pejabat setempat melakukan kolaborasi untuk melakukan kecurangan. Kita masih ingat guru-guru dari kelompok Air Mata Guru di Medan membuat headline di media cetak dan elektronik pada pelaksanaan UN tahun kemarin karena mereka menolak "membantu" siswanya agar "sukses" UN.

Hal yang menarik, kecurangan mungkin tidak hanya ditujukan untuk membantu siswa agar lulus UN, tetapi juga sebagai prestise agar ranking nilai UN sekolah atau daerah berada di papan atas tingkat nasional. Ranking-ranking nilai UN yang setiap tahun dikeluarkan oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) menggambarkan sinyalemen ini. Hampir seluruh sepuluh besar papan atas di UN dikuasai oleh sekolah-sekolah yang tidak pernah terdengar punya prestasi di tingkat provinsi, apalagi tingkat nasional, dan lima besar ranking kabupaten/kotamadya juga dimonopoli oleh daerah-daerah yang tidak berprestasi di dunia pendidikan.

Kasus Garut
Masih ingat kasus Kabupaten Garut pada pelaksanaan UN 2006? Kompas 30 Juni 2006 melaporkan bahwa Agus Sugandhi, Sekretaris Jenderal Garut Governance Watch, menengarai adanya kecurangan dalam pelaksanaan UN di Kab. Garut karena adanya tekanan dari sejumlah pejabat daerah untuk menyukseskan tingkat kelulusan 100%.

Di pihak lain, para pejabat yang merasa dituding membantah adanya sinyalemen kecurangan, tetapi mereka mengakui adanya beberapa oknum sekolah yang melakukannya. Walaupun mereka membantah, melihat data hasil UN, ketidakjujuran berjemaah telah terjadi dalam pelaksanaannya.

Berdasarkan data dari Puspendik, Kab. Garut mengalami peningkatan luar biasa dalam UN. Di Jawa Barat, dalam UN SMP pada tahun 2004 Kab. Garut menduduki posisi ke-11 di antara daerah tingkat dua, tetapi tiba-tiba melejit ke depan dengan menduduki posisi keempat pada tahun 2005, dan akhirnya menjadi juara pada tahun 2006.

Prestasi luar biasa seperti ini juga dicapai Kab. Garut dalam UN SMA. Di tingkat nasional, Kab. Garut pada tahun 2006 menempati urutan pertama dalam prestasi kelulusan yang hampir 100%, 99,75% untuk SMP dan 99,93% untuk SMA. Sebagai pembanding, persentase kelulusan nasional adalah 92.68% dan 94.04% masing-masing untuk tingkat SMP dan SMA.

Apakah prestasi Kab. Garut ini berkolerasi positif dengan peningkatan layanan pendidikannya? Ternyata tidak. Menurut hasil survei Indonesia Corruption Watch (ICW) beberapa tahun terakhir, kualitas layanan pendidikan di Garut selalu yang terburuk di tanah air. Ketidakwajaran "prestasi" Kab. Garut ini juga terdeteksi pada buku Index Objektivitas yang disusun oleh Puspendik. Buku ini berisi indeks ketidakwajaran atau ketidakjujuran setiap sekolah, kabupaten/kotamadya , dan provinsi dalam pelaksanaan UN. Sebagai informasi, di buku ini indeks ketidakwajaran Kab. Garut terbesar di antara daerah-daerah tingkat dua.

Pada pelaksanaan UN 2007, berita kecurangan tidak nyaring terdengar dari Kab. Garut dan kalah nyaring dengan berita dari Kotamadya Medan yang dibawakan oleh kelompok Air Mata Guru. Ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama, karena tingkat kecurangan di Kab. Garut menurun atau karena daerah lain intensitas kecurangannya meningkat. Dari seluruh daerah di Jabar pada tahun tersebut posisi Kab. Garut sedikit melorot ke urutan tiga dalam UN.

Metode statistik
Masalah kecurangan peserta tes dalam menjawab soal-soal pilihan ganda bertahun-tahun telah menjadi perhatian para ahli di bidang educational measurement (penilaian pendidikan). Mereka mengembangkan metode statistik untuk mendeteksi siapa-siapa saja yang diduga melakukannya. Metode ini dibagi menjadi dua kategori. Masing-masing metode berdasarkan teori peluang menjawab soal dan metode berdasarkan perbandingan pola jawaban antarpeserta tes.

The index (Frary, Tideman, & Watts, 1977) dan the index (Wollack, 1997) adalah contoh metode kategori pertama. Kedua metode ini dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa setiap peserta tes punya peluang menjawab benar atau salah suatu soal yang diberikan berdasarkan tingkat kemampuan dia dan tingkat kesukaran soal tersebut. Dalam kondisi tidak terjadi kecurangan, peluang dia menjawab benar pada soal-soal mudah dan menjawab salah pada soal-soal sukar akan lebih besar. Kedua metode ini sama, perbedaannya yang pertama berdasarkan teori tes klasik dan yang satu lagi berdasarkan teori tes modern (Item Response Theory).

Contoh dari kategori kedua adalah the K index (Holland, 1996) dan the Pair1 and Pair2 indices (Hanson, Harris, & Brennan, 1987). Dasar dari metode ini sederhana, yaitu dengan membandingkan pola jawaban pasangan-pasangan peserta tes yang dicurigai dengan distribusi jawaban dari pasangan-pasangan peserta tes yang disebut benchmark group. Benchmark group adalah kelompok peserta tes yang tidak mungkin (sangat kecil kemungkinannya) menyontek satu sama lain (melakukan kecurangan) karena mereka berada di lokasi tes yang berbeda. ACT atau American College Testing yang merupakan suatu lembaga testing ternama di Amerika Serikat menerapkan the Pair1 and Pair2 indices untuk mendeteksi ketidakwajaran jawaban peserta tes dalam tesnya.

Metode di atas digunakan sebagai metode statistik untuk mendapatkan informasi tambahan apakah individu peserta tes menyontek atau tidak, biasanya setelah pengawas tes melaporkan adanya kecurigaan terhadap peserta tersebut. Akan tetapi, metode tersebut tidak untuk mendeteksi penyontekan kelompok peserta tes (dalam arti kelas, sekolah, kotamadya/kabupaten , dan/atau provinsi) yang mungkin terjadi pada pelaksanaan UN. Penulis mengembangkan the Pair1 and Pair2 indices untuk mendeteksi ketidakwajaran jawaban kelompok peserta UN yang hasilnya berupa Index Objektivitas.

Mengurangi ketidakjujuran
Untuk mengurangi kecurangan dan perbaikan UN, pemerintah dalam hal ini Diknas perlu memerhatikan tiga saran berikut. Pertama, bagikan secara random (acak) semua paralel paket tes (dengan asumsi tidak ada soal-soal yang sama antarpaket) yang digunakan pada tahun tersebut pada setiap ruangan tes. Banyaknya paket-paket soal dalam suatu ruangan tes akan menyulitkan siswa (dan juga sekolah) melakukan kecurangan. Misal, ada 10 paket tes pada tahun tersebut dan ada 30 siswa dalam satu ruangan, maka kemungkinannya hanya ada tiga orang yang akan memperoleh paket tes yang sama dalam satu ruangan tes. Lebih lanjut, kemungkinan dua siswa yang duduk berdekatan memperoleh paket tes sama sangat kecil 0,01 (satu berbanding 100).

Juga dari masalah kebocoran cara ini lebih aman karena belum tentu siswa yang mendapatkan bocoran soal atau jawaban paket tertentu akan mendapatkan soal-soal tersebut pada saat ujian. Walaupun, andaikan, semua paket soal bocor, siswa akan kesulitan mempelajari /menghafalkan semua jawaban soal-soal UN karena keterbatasan waktu dan banyaknya paket yang diadministrasikan. Sebagai contoh, jika UN SMP dengan empat bidang studi berjumlah 180 soal (40, 40, 50, dan 50 soal masing-masing untuk matematika, IPA, bahasa Indonesia, dan Inggris) dan masing-masing bidang studi ada sepuluh paket yang diadministrasikan bocor, maka akan ada 1.800 soal yang harus dihafalkan jawabannya dalam waktu tidak lebih dari 48 jam (dua hari menjelang pelaksanaan paket-paket soal UN didistribusikan ke daerah tingkat dua) oleh siswa pada saat UN.

Kalau siswa dapat lulus UN dengan banyaknya jumlah paket soal yang digunakan, ini lebih karena siswa dapat mengerjakan soal-soal ujian ketimbang karena mereka mendapat bocoran soal atau jawabannya. Bandingkan dengan UN sekarang karena hanya ada dua paket soal (terlebih jika banyak soal yang sama antarpaket) digunakan di setiap provinsi jika bocor satu paket, risiko kegagalan UN di provinsi tersebut besar.

Kedua, jika UN tetap ingin digunakan sebagai alat penentu kelulusan dan hanya dilaksanakan satu tahun satu kali, perlu mendesain UN yang adil dalam arti tingkat kesukaran UN disesuaikan dengan kualitas sekolah. Sekolah berkualitas baik tentunya perlu memperoleh paket-paket tes yang lebih sulit daripada sekolah berkualitas kurang. Perbedaan tingkat kesukaran antarpaket dapat ditanggulangi dengan metode equating (penyetaraan tingkat kesukaran) sehingga semua paket berada pada skala yang sama.

Apa yang berlangsung di UN sekarang adalah ibarat kejuaraan loncat tinggi sekaligus ajang seleksi atlet untuk ikut Pekan Olahraga Nasional (PON) yang diikuti oleh peserta dengan kemampuan sangat heterogen. Ada atlet tingkat kampung, ada juara provinsi atau nasional, bahkan juga ada juara olimpiade. Panitia penyelenggara pasti bingung, darimana tinggi mistar akan dimulai? Mulai dari 2,0 m, mistar akan terlalu tinggi dan membuat frustrasi atlet tingkat kampung (mungkin juga bagi atlet nasional). Akan tetapi jika di 1,50 m mistar terlalu rendah dan buang-buang waktu serta tenaga saja bagi si juara olimpiade.

Fakta lain, kejuaraan ini tidak akan menarik. Masyarakat sudah tahu jika kompetisi ini berjalan jujur, si juara olimpiade akan menjadi pemenang, sedangkan si atlet tingkat kampung akan menjadi juru kunci, bahkan mungkin tidak dapat ikut PON. Akan tetapi apa yang terjadi kemudian? Hasil kejuaraan memutarbalikkan nalar waras masyarakat. Si atlet tingkat kampung tidak hanya dapat lolos untuk ikut ke PON, tetapi juga menjadi juara mengalahkan juara olimpiade. Selidik punya selidik, karena takut tidak dapat lolos ke PON yang berarti kariernya tamat, si atlet kampung ini melakukan kecurangan dengan menggunakan alat bantu (seperti tangga, kursi, atau meja) agar dapat meloncati mistar.

Ketiga, terlepas dari pro dan kontra pelaksanaan UN, perlu diimbau kepada orang tua murid, guru, kepala sekolah, pejabat daerah, dan mereka yang terlibat di dalamnya untuk ikut mengawasi dan mendukung siswa untuk mengerjakan UN dengan jujur. Kejujuran dalam mengerjakan UN merupakan suatu keharusan karena ketidakjujuran berakibat buruk pada rasa keadilan, merusak tujuan dari UN yang dibuat dan dilaksanakan dengan dana sangat besar, serta akan memperparah ketidakjujuran generasi muda kita.

Selain itu perlu diinformasikan kepada mereka bahwa ketidakjujuran dalam melaksanakan UN dapat dideteksi dengan menggunakan suatu metode statistik. Dua tahun terakhir ini, menteri dan pejabat pusat Diknas telah mendapat laporan tentang sekolah-sekolah dan daerah-daerah mana saja yang perlu mendapat "pembinaan" agar melaksanakan UN secara jujur.***


Sumber
Oleh Heru Widiatmo
Rabu, 23 April 2008
Penulis, alumnus University of Iowa, AS, pernah bekerja di ACT Inc., Iowa City, Iowa, AS.

Read More......