Menimbang Kepintaran

Bagi John Mayer, kepintaran itu momok yang tak menarik. Ia tak memikat
seperti gitar yang indah dipetik. John tak hanya menjuluki dirinya tak
pintar, tetapi juga nerd, kuper, kurang gaul. Dia bukan tipe anak SMA yang
dikerling oleh teman-teman perempuan, apalagi disapa dengan senyuman.

Sementara teman-temannya sibuk kencan dan bergoyang di panggung pesta prom,
John memetik gitar di kamarnya sambil membayangkan menyanyi di atas panggung
yang terang. John lebih tertarik garasi yang sepi ketimbang dunia akademis
yang menggiurkan. Ruang mencipta itu ditemukannya di pom bensin tempatnya
bekerja selepas SMA, bukan di perguruan tinggi yang diburu teman-temannya.

Garasi sepi itu sudah menjelma panggung yang dirubung ribuan fans. Tahun
2003, setelah ulang tahunnya yang ke-25, debut pertamanya, Room for Squares
memenangi Grammy. Sejak saat itu, dia berhenti menjadi rendah diri. Dalam No
Such Thing, John bercerita tentang keinginannya untuk menghadiri reuni SMA
dan memamerkan kepada siapa saja tentang kesuksesan yang berhasil diraihnya.
Diajaknya jurnalis Cynthia Mcfadden mengunjungi SMA-nya di Connecticut. Di
seberang jalan sekolah itu, dia menolak untuk turun dari mobil bahkan
mendekat. Seperti dia sedang mengamati kerumunan teman-temannya dari
kejauhan dengan sepi yang pekat. Kini, kepada ribuan gadis yang rela
mengantri untuk membeli tiket pertunjukannya, John tak malu mengakui bahwa
dia adalah nerd, shallow man. Tapi tak ada yang peduli ketika julukan itu
disematkan kepada seorang peraih Grammy. Diteriakkan dari atas panggung yang
riuh oleh teriakan penggemar, nerd terekonstruksi sebagai identitas positif.
John menciptakan counter-narrative dengan meminggirkan kepintaran jauh dari
panggung dan sorot lampu kesuksesan.



Di area suburban di Connecticut, prestasi akademis mungkin menjadi tiket
untuk meraih akses pertemanan. Namun di tempat lain, makna kepintaran bisa
jadi berbeda. Media populer seperti tayangan sitkom remaja di televisi
Amerika mengkonstruksi kepintaran sebagai tingkat “kecerdasan” rata-rata
yang dimiliki remaja kebanyakan. Pertemanan mensyaratkan keluwesan untuk
menjadi “pintar, namun tak terlalu pintar.” Serial remaja seperti Hannah
Montana atau I-Carly misalnya, mencitrakan remaja yang “sangat pintar” --
terutama dalam bidang-bidang eksakta -- sebagai geek, lame, kuper, kikuk,
dan tak punya pacar. Dalam konteks yang berbeda, kepintaran bisa bermakna
kepiawaian dan wawasan dalam olahraga. Kemajemukan makna “standar
kepintaran” ini menunjukkan bahwa kepintaran dikonstruksi secara lokal dan
terjalin erat dengan interaksi sosial.

Mengkaji konstruksi kepintaran dalam konteks lintas budaya dengan demikian
menjadi menarik. Di suatu musim semi 2006, sebuah distrik sekolah di pusat
kota Philadelphia mengundang mahasiswa internasional penerima beasiswa
Fulbright untuk mengunjungi SMA-SMA yang tergolong “at risk.” Saya, dan
teman-teman dari beberapa negara diminta untuk membagi pengalaman
“intelektual” dan suka-duka dalam meraih (apa yang disebut oleh pengelola
sekolah sebagai) “kesuksesan.” Hanya 45 % lulusan dari sekolah yang kami
kunjungi itu melanjutkan ke perguruan tinggi. Itu prestasi tertinggi di
distrik ini, tapi kami ingin lebih baik lagi, kata Kepala Sekolah dengan
matanya yang berseri.

Di atas panggung siang itu, seorang teman dari sebuah negara di Afrika
bercerita tentang perjuangannya menuju sekolah. Di sana, katanya, jalan ke
sekolah tak dipoles aspal dan sarana transportasi publik. Jalan-jalan itu
harus berbagi dengan sarang binatang melata yang harus ditapaki dengan kaki
telanjang sarat kudis. Setelah berkisah tentang dua jam perjalanan menempuh
sekolah yang menyedihkan, mahasiswa dari Afrika ini menampar anak-anak SMA
itu dengan ironi. Sungguh, kalian tak punya alasan untuk gagal dan berhenti,
katanya, membelah sunyi. Kalian tak harus menempuh jalan-jalan menyeramkan
tak berpenghuni karena negara kalian sungguh peduli. Bahkan guru-guru kalian
pun tak menyiapkan rotan atau cambuk untuk menghukum atau menyakiti,
tambahnya lagi. Anak-anak itu hanya memandang jauh ke depan dengan mulut
bungkam. Beberapa mata berlabuh ke luar jendela, atau ke jam dinding yang
berdetak setia. “Who cares?” bisik-bisik itu lamat-lamat menyapa telinga
saya.

Di banyak negara berkembang seperti Indonesia, kepintaran dikenang sebagai
perjuangan untuk menapaki mobilitas sosial. Kepintaran itu mahal. Kepintaran
itu jalan berliku yang panjang. Kepintaran itu romantisme dalam sebentuk
daya juang yang terdokumentasi dalam kisah-kisah seperti Laskar Pelangi. Di
negara multikultural seperti Amerika, mobilitas sosial seperti itu tentu
juga diakui. Dalam penelitiannya di tahun 1978, John Ogbu menegaskan bahwa
gelombang imigrasi atas “kemauan sendiri,” dalam motif-motif ekonomi,
politik, dan intelektual cenderung menghasilkan generasi yang lebih
berprestasi ketimbang generasi keturunan budak-budak yang “didatangkan” dari
negara lain. Meski dianggap melecehkan kalangan minoritas Afrika-Amerika,
penelitian ini cukup menggambarkan pengakuan bahwa prestasi akademis pun
menjadi sarana aktualisasi diri. Penulis buku anak Rukhsana Khan, seorang
Muslimah yang menghabiskan masa kecilnya di Kanada pun mengakui bahwa buku
adalah tempat curhat manakala tak ada seorang pun mau bersahabat.

Dalam lensa konstruksi sosial, anak-anak dan remaja berkelindan dengan
konsepsi kepintaran yang ditawarkan oleh dunia sosial mereka. Ada kepintaran
yang dipatok orang tua, ada kepintaran yang dikuantifikasi institusi sekolah
dalam bentuk prestasi akademik dan tingkat intelegensia. Ada selebriti dan
media populer yang turut membingkai relasi kepintaran dan kesuksesan. Ada
kepintaran sebagai buah alienasi. Ada juga kepintaran karena tuntutan
pertemanan. Orang dewasa bisa saja menerjemahkan kepintaran, namun anak-anak
akan mengkonstruksi kepintaran dengan cara mereka sendiri. Di tangan mereka,
kepintaran bisa menjadi alat negosiasi untuk menjalin relasi sosial atau
mengukuhkan identitas diri. Seorang sosiolog, William Corsaro, mengatakan
bahwa anak memiliki fleksibilitas untuk menganyam beragam konstruksi sosial
ini. Orang dewasa bisa memanfaatkan pemahaman akan kompleksitas itu untuk
berdialog dengan mereka tentang prioritas dalam kehidupan mereka.

Memahami kepintaran sebagai sebuah konstruksi menuntut orang dewasa untuk
mengenali kompleksitas yang dihadapi oleh anak-anak. Generasi sekarang
memahami kepintaran dalam diskursus yang terikat ruang dan waktu. Kepintaran
termaknai dalam konteks tradisi, budaya, sejarah, dan relasi sosial yang
spesifik. Setiap konteks memiliki tantangan yang unik. Romantisme perjuangan
orang dewasa di masa lalu bisa menginspirasi, atau tidak sama sekali. Kita
memerlukan kreativitas untuk berdialog dengan generasi muda, tanpa jadi
menghakimi. Lantun John Mayer, orang dewasa bisa bertambah tua, namun tak
harus dengan menuai tragedi.
Read More......

Arief Rachman : Pendidikan di Indonesia Miskin Proses

*TEMPO Interaktif*, *Jakarta* - Pengamat pendidikan dan Guru Besar
Universitas Negeri Jakarta, Prof. Arief Rachman, menilai pendidikan di
Indonesia masih miskin proses. Kalangan pendidik dan pengajar selama ini
hanya memusatkan perhatian pada orientasi hasil, bukan proses pembelajaran.
"Ini kritik besar terhadap dunia pendidikan kita. Harus ada rekonstruksi
terhadap proses pembelajaran," kata Arief Rachman, Kamis, 12 Mei 2011.
Berita terkait


- Arief Rachman: Pancasila Tidak
Dihilangkan
- Polisi Usut Penyimpangan Dana di
Al-Zaytun
- Besok, Hasil Unas SMA Dibagikan

- Salah Besar, Menghilangkan Pancasila dari Kurikulum Pendidikan

- Pemerintah Diminta Ungkap Beking Gerakan NII


Arief menilai, sikap guru kurang mendukung pembentukan sikap pada siswa,
sehingga yang terjadi hanya transfer ilmu dan pengetahuan, bukan
transformasi sikap kepada pelajar. Untuk pelajaran Pancasila, misalnya,
siswa hanya mengetahui isi pelajaran Pancasila tanpa mengetahui cara
bersikap dari nilai-nilai Pancasila. "Orang tahu dan mengerti bukan berarti
dia bisa bersikap," kata Arief.

Orang tua juga tak luput dari tanggung jawab karena harus menanamkan sikap
kepada putra-putri mereka. Misalnya, bagaimana bersikap sesuai dengan agama
Islam, bahwa di dalam Islam tidak disebutkan bagaimana membentuk negara
Islam, tapi bagaimana memperkokoh kehidupan masyarakat Islam.

Arief menilai selama ini fenomena yang muncul dalam dunia pendidikan
nasional adalah perhatian pada kekuatan kognitif siswa semata, bukan
penekanan pada sisi afektif mereka. Ibaratnya, pengetahuan sudah dikemas
dengan baik, sedangkan sikap sebagai akibat dari pengetahuan justru tidak
dikuasai siswa.

"Selama ini hanya fokus pada hal-hal yang dapat diukur dan diamati, misalnya
nilai," kata Arief. "Padahal, hal-hal yang tidak terukur dan teramati justru
lebih penting."

Arief juga mengamati munculnya gaya hidup yang berbahaya dalam kehidupan
berbangsa, yakni segala aktivitas masyarakat hanya terpaku pada hasil, bukan
proses. Apalagi ditambah dengan budaya hidup serba instan. "Orang yang
materialistis cenderung tidak sabar karena spiritualitasnya lemah," kata
Arief.

Tak hanya proses pembelajaran untuk pembentukan sikap, Arief juga menilai
kekeliruan pendidikan nasional terletak pada sistem evaluasi. Selama ini
yang dievaluasi hanya nilai, sedangkan sikap pelajar sering diabaikan guru.
"Yang penting bukan mata pelajarannya, tapi proses dan evaluasinya."

*MAHARDIKA SATRIA HADI*
Read More......

Sebelum Ujian Nasional, Siswa SD di Probolinggo Minum Susu

Siswa SDN Ngadirejo Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo Jawa Timur
tengah mengerjakan soal ujian nasional di tengah situasi hujan abu di
kawasan Gunung Bromo. TEMPO/David Priyasidharta

*TEMPO Interaktif*,*Probolinggo - *Siswa SDN Ngadirejo, Sukapura,
Probolinggo, Jawa Timur memperoleh jatah susu dan nasi kotak selama
mengikuti ujian nasional. Dengan ini diharapkan para siswa mendapatkan
nutrisi yang memadai selama mengikuti ujian dan mendapatkan nilai terbaik.
"Rata-rata para siswa tinggal di daerah yang paling parah terkena dampak
erupsi Gunung Bromo," kata Kepala Sekolah Mochamad Abd Ghofur kepada*Tem
Read More......

Wakil Ketua Komisi X DPR : Revitalisasi Pancasila

Kita menghadapi kenyataan makin lunturnya ideologi Pancasila dalam jiwa
bangsa. Ingat, Pancasila adalah weltanschauung (landasan filosofis)
berbangsa dan bernegara. Tanpa fondasi tersebut, negara bergerak tanpa
pedoman. Sayangnya, sejak awal reformasi hingga saat ini, pamor Pancasila
terasa kian meredup, seiring meningkatnya pengaruh liberalisasi dan
demokratisasi.

Padahal, Dr Paul Marshall, Senior Fellow Institut Leimena, yang pernah
meneliti fenomena radikalisme agama di sejumlah negara Afrika dan Asia
menyatakan, Indonesia beruntung memiliki Pancasila sebagai penangkal
filosofis radikalisme agama di saat negara-negara lain kebingungan
menghadapinya karena ketiadaan "tameng" semacam itu.

Persoalannya, masyarakat makin jauh dari Pancasila karena mengasosiasikannya
dengan penataran (P4) seperti pada era Orde Baru. Karena itu, rakyat
sebenarnya bukan menepis Pancasila, namun lebih menolak cara-cara penanaman
nilai yang bersifat indoktrinasi seperti pada masa lalu.

Pengajaran Pancasila sebagai dasar negara di dunia pendidikan harus
direvitalisasi. Sebab, pola indoktrinasi dan penafsiran tunggal selama ini
telah mengerdilkan Pancasila dan membuatnya ditinggalkan sebagai ideologi
berbangsa dan bernegara. Karena itu, Komisi X DPR terus mendorong penguatan
materi pendidikan Pancasila.

Parlemen mendukung rencana Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas)
menjadikan empat mata pelajaran (mapel) sebagai kewenangan pemerintah pusat.
Keempat mata pelajaran itu ialah agama, matematika, pendidikan
kewarganegaraan (PKn) yang memuat materi Pancasila, dan bahasa secara
nasional.

Namun, karena sifatnya perubahan kurikulum yang mendasar, hal itu
membutuhkan kajian terlebih dulu, termasuk kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP). Sebelum ditetapkan, Komisi X DPR akan melakukan telaah
mendalam pada masa persidangan mendatang. Ini terutama dimaksudkan agar
Pancasila tetap menjadi muatan pokok PKn.

Sekarang ini pola kurikulum KTSP semua diserahkan ke daerah. Ke depan,
dimungkinkan ada pembagian pengelolaan. Khusus untuk empat mapel itu akan
disusun, dikembangkan, dikendalikan, dan diawasi oleh pusat secara nasional.
Sedangkan mapel lainnya mengenai seni budaya, sosial, dan muatan lokal,
diserahkan ke daerah dan sekolah.

UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sangat tegas menyebutkan
nilai-nilai materi Pancasila sebagai dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan
nasional (pasal 2 dan 3). Hanya saja, dalam implementasi, perlu dilakukan
perbaikan metode pembelajarannya serta penerapan nilai-nilai dalam kehidupan
sehari-hari. Upaya lain, melatih guru-guru pendidikan Pancasila agar bisa
meyakinkan siswa tentang urgensi nilai-nilai ideologi negara itu.

Pengambilalihan empat mapel oleh pusat karena memiliki ikatan secara
nasional. Selain matematika, tiga mapel lainnya adalah penalaran logika
secara nasional dan umum. Pemisahan mapel untuk pemerintah pusat dan daerah
akan menyelesaikan sejumlah pertanyaan di masyarakat. Termasuk sebagai upaya
meningkatkan karakter bangsa dan mengatasi paham yang bertentangan dengan
ideologi negara.

Dengan nasionalisasi empat mapel itu, maka sekolah tidak boleh menambahkan
materi apa pun ke dalamnya. Untuk urusan agama, pendidikan Pancasila (PKn),
bahasa Indonesia, dan matematika ini dikunci secara nasional. ***
Read More......

Dindik Larang Tour Pelajar

Selain dikeluhkan orantua, ada dugaan menjadi ajang bisnis sekolah

MALANG–Akhir tahun ajaran (lulusan) ini sekolah di Kota Malang tak lagi bisa
seenaknya menggelar tour (wisata) pelajar maupun wisuda kelulusan sekolah.
Menyusul keluhan walimurid merasa berat menanggung biaya kegitan itu, Dinas
Pendidikan Kota Malang pun mengeluarkan kebijakan baru; melarang sekolah
menggelar tour maupun wisuda siswa.

Selama ini, sepertinya sudah menjadi budaya memang,--setiap akhir tahun
ajaran, sekolah mulai tingkat SD hingga SMA sederejat di Kota Malang selalu
menggelar kegiatan tour maupun wisuda yang biayanya ditanggung masing-masing
siswa.

Kegiatan lebih berkesan merayakan lulusan ini rupanya kerap mematik keluhan
walimurid. Banyak orangtua pelajar berkeluh dengan besarnya pungutan untuk
pembiayaan kegiatan tour maupun wisuda sebagai keberhasilan menempuh
pendidikan sesuai jenjangnya.

Ini karena biaya yang harus ditanggung siswa atau walimurid mulai ratusan
ribu rupiah hingga jutaan rupiah. Bahkan sempat pula muncul tudingan
kegiatan tour pelajar dan wisuda kelulusan sekolah itu menjadi ladang bisnis
sekolah setempat memanfaatkan momen pelarayaan lulusan.

Nah, berlatar belakang keluhan itulah, Sri Wahyuni, Kepala Dinas Pendidikan
Kota Malang rupanya menyadarinya. Bahkan sebelum polemik itu menjadi besar,
pihaknya memutuskan mengambil kebijakan melarang sekolah menggelar tour dan
wisuda mulai ajaran tahun ini.

Terkait kebijakan itu, lanjut dia, pihaknya memastikan akan mengeluarkan
surat instruksi yang ditujukan kepada sekolah mulai tingkat SD – SMA.
“Instruksi itu berisi larangan bagi sekolah melaksanakan wisuda dan
rekreasi. Karena dari awal kami memang sudah menekankan pada sekolah untuk
tidak mengadakan wisuda dan rekreasi yang selalu menunai keluhan dari
walimurid karena persoalan biaya,” kata Yuyun.

Meski demikian, lanjut dia, bukan berarti pelajar tidak boleh berekreasi
merayakan kelulusannya. “Selama panitianya bukan dari sekolah, tentunya
tidak ada masalah. Intruksi itu hanya melarang sekolah bertindak sebagai
penyelenggara tour dan wisuda,” tegasnya.

Kata lain, , bila ada paguyuban walimurid atau komite sekolah tetap
menyelenggarakan dua kegiatan itu, pihaknya tidak bisa mencegahnya. Apalagi
berdasarkan ada kesepakatan bersama para walimurid dan menjamin tidak
memunculkan keluhan dari orangtua siswa.

Sementara itu, Ketua Komisi D DPRD Kota Malang, Christea Frisdiantara
menegaskan, surat intruksi yang akan dikeluarkan Dinas Pendidikan Kota
Malang itu menjadi kesepakatan saat rapat bersama beberapa saat lalu. “Ini
memang berawal dari banyaknya keluhan yang masuk ke kami tentang banyak
pungutan setiap akhir tahun ajaran sekolah. Sehingga ada kesepakatan dengan
Dindik untuk membuat surat intruksi larangan melakukan pungutan,” kata
Cristea.

Ditambahkannya, dewan meminta Dindik lebih ketat dan tegas mengawasi setiap
sekolah. “Bila ada komite sekolah atau pun pihak sekolah yang tetap
mengenakan pungutan kepada siswa yang tidak mampu, maka harus ditindak
tegas,” ujarnya. “Jadi tidak cukup dikeluarkan surat intruksi, juga tetap
harus ada pengawasan ketat dari Dindik kepada seluruh sekolah. Agar tidak
sampai ada penyimpangan dilapangan,” tambahnya.*zar*
Read More......

DPRD Soroti Ujian di DKI : Yang Gagal Mesti Dievaluasi, Pungli Harus Diberantas

Sebanyak 142.013 siswa tingkat Sekolah Dasar (SD) di DKI Jakarta mengikuti
Ujian Nasional (UN) yang digelar sejak kemarin hingga Jumat besok. Dari
jumlah itu, 130.143 siswa merupakan siswa SD, 11.724 siswa Madrasah
Ibtidaiyah (MI), dan 146 siswa SD Luar Biasa.

Menanggapi pelaksaan UN, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Inggard Joshua
menekankan, ke depannya, pelaksanaan UN harus ada standarisasi penilaian.
Hal tersebut dia nilai perlu sebagai evaluasi tingkat akhir.

“Saya tentu setuju dengan ada nya UN. Pasalnya, hal tersebut dilakukan untuk
mengukur sejauh mana penilaian yang objektif terhadap kualitas pendidikan di
Jakarta. Jangan sampai dilakukan dengan subjektif,” kata Inggard kepada
wartawan di Gedung DPRD DKI Jakarta di Kebon Sirih, kemarin.

Dia mengungkapkan, jika memang ada kegagalan atau ada yang tidak lulus dalam
UN SD ini, harus menjadi evaluasi bagi pihak sekolah. Apakah

kegagalan ini bersumber dari muridnya, orangtua siswa atau kualitas

pendidikan di sekolah yang kurang baik. Karena itu, perlu standarisasi di
setiap sekolah, disesuaikan dengan kondisi wilayahnya masing-masing.

Politisi Partai Golkar ini me lanjutkan, hal ini harus menjadi tugas bersama
bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, khusus nya Dinas Pendidikan DKI untuk
menganalisa dan mengkaji hasil UN yang akan diumumkan nanti.

“Pihak sekolah juga jangan cepat merasa puas dengan hasil yang sudah
didapat. Harus ada sikap kritis dalam memajukan kualitas pendidikan di
sekolah nya masing-masing,” sarannya.

Dia mengingatkan, dalam pelaksanaan dan setelah UN SD ini, jangan sampai ada
pungutan-pungutan yang membebani orang tua siswa.

“Ini tugas Dinas Pendi dikan untuk melakukan pengawasan. Jika terjadi

pelanggaran, ini tugas Inspektorat Jenderal menindaknya,” tegasnya.

Yang patut menjadi perhatian, sambung Inggard, perlu penyetaraan guru antara
yang honorer dan non honorer. Pasalnya, kualitas pendidikan di sekolah
sangat ditentukan oleh kondisi guru.

“Jika terjadi perbedaan mendasar terhadap guru honorer dan non honorer,
tentunya akan berdampak pada perkembangan siswa,” cetusnya.

Karena itu, Inggard memberi masukan, para guru honorer perlu diangkat men
jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tentunya di lakukan sesuai prosedur yang
ditetapkan, seperti dengan mengikuti seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil
(CPNS), agar didapatkan hasil yang sesuai dengan kualitas guru terbaik.

“Selain itu, guru-guru yang ada juga harus sadar terhadap kewajibannya di
sekolah. Soal nya, tunjangan yang didapatkan guru saat ini sudah lebih baik
dari sebelumnya, bahkan sudah lebih sejahtera,” pungkasnya.

Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudhi Mulyanto
mengatakan, sejumlah 3.474 guru telah disiapkan menjadi pengawas ujian
nasional.

Dari jumlah tersebut, 3.030 orang akan menjaga ujian di SD, 444 orang di MI
dan 24 orang di SD Luar Biasa. “Mereka semua tidak akan menjaga di sekolah
nya sendiri,” ucapnya. *(RMOL)*
Read More......