Menimbang Kepintaran

Bagi John Mayer, kepintaran itu momok yang tak menarik. Ia tak memikat
seperti gitar yang indah dipetik. John tak hanya menjuluki dirinya tak
pintar, tetapi juga nerd, kuper, kurang gaul. Dia bukan tipe anak SMA yang
dikerling oleh teman-teman perempuan, apalagi disapa dengan senyuman.

Sementara teman-temannya sibuk kencan dan bergoyang di panggung pesta prom,
John memetik gitar di kamarnya sambil membayangkan menyanyi di atas panggung
yang terang. John lebih tertarik garasi yang sepi ketimbang dunia akademis
yang menggiurkan. Ruang mencipta itu ditemukannya di pom bensin tempatnya
bekerja selepas SMA, bukan di perguruan tinggi yang diburu teman-temannya.

Garasi sepi itu sudah menjelma panggung yang dirubung ribuan fans. Tahun
2003, setelah ulang tahunnya yang ke-25, debut pertamanya, Room for Squares
memenangi Grammy. Sejak saat itu, dia berhenti menjadi rendah diri. Dalam No
Such Thing, John bercerita tentang keinginannya untuk menghadiri reuni SMA
dan memamerkan kepada siapa saja tentang kesuksesan yang berhasil diraihnya.
Diajaknya jurnalis Cynthia Mcfadden mengunjungi SMA-nya di Connecticut. Di
seberang jalan sekolah itu, dia menolak untuk turun dari mobil bahkan
mendekat. Seperti dia sedang mengamati kerumunan teman-temannya dari
kejauhan dengan sepi yang pekat. Kini, kepada ribuan gadis yang rela
mengantri untuk membeli tiket pertunjukannya, John tak malu mengakui bahwa
dia adalah nerd, shallow man. Tapi tak ada yang peduli ketika julukan itu
disematkan kepada seorang peraih Grammy. Diteriakkan dari atas panggung yang
riuh oleh teriakan penggemar, nerd terekonstruksi sebagai identitas positif.
John menciptakan counter-narrative dengan meminggirkan kepintaran jauh dari
panggung dan sorot lampu kesuksesan.



Di area suburban di Connecticut, prestasi akademis mungkin menjadi tiket
untuk meraih akses pertemanan. Namun di tempat lain, makna kepintaran bisa
jadi berbeda. Media populer seperti tayangan sitkom remaja di televisi
Amerika mengkonstruksi kepintaran sebagai tingkat “kecerdasan” rata-rata
yang dimiliki remaja kebanyakan. Pertemanan mensyaratkan keluwesan untuk
menjadi “pintar, namun tak terlalu pintar.” Serial remaja seperti Hannah
Montana atau I-Carly misalnya, mencitrakan remaja yang “sangat pintar” --
terutama dalam bidang-bidang eksakta -- sebagai geek, lame, kuper, kikuk,
dan tak punya pacar. Dalam konteks yang berbeda, kepintaran bisa bermakna
kepiawaian dan wawasan dalam olahraga. Kemajemukan makna “standar
kepintaran” ini menunjukkan bahwa kepintaran dikonstruksi secara lokal dan
terjalin erat dengan interaksi sosial.

Mengkaji konstruksi kepintaran dalam konteks lintas budaya dengan demikian
menjadi menarik. Di suatu musim semi 2006, sebuah distrik sekolah di pusat
kota Philadelphia mengundang mahasiswa internasional penerima beasiswa
Fulbright untuk mengunjungi SMA-SMA yang tergolong “at risk.” Saya, dan
teman-teman dari beberapa negara diminta untuk membagi pengalaman
“intelektual” dan suka-duka dalam meraih (apa yang disebut oleh pengelola
sekolah sebagai) “kesuksesan.” Hanya 45 % lulusan dari sekolah yang kami
kunjungi itu melanjutkan ke perguruan tinggi. Itu prestasi tertinggi di
distrik ini, tapi kami ingin lebih baik lagi, kata Kepala Sekolah dengan
matanya yang berseri.

Di atas panggung siang itu, seorang teman dari sebuah negara di Afrika
bercerita tentang perjuangannya menuju sekolah. Di sana, katanya, jalan ke
sekolah tak dipoles aspal dan sarana transportasi publik. Jalan-jalan itu
harus berbagi dengan sarang binatang melata yang harus ditapaki dengan kaki
telanjang sarat kudis. Setelah berkisah tentang dua jam perjalanan menempuh
sekolah yang menyedihkan, mahasiswa dari Afrika ini menampar anak-anak SMA
itu dengan ironi. Sungguh, kalian tak punya alasan untuk gagal dan berhenti,
katanya, membelah sunyi. Kalian tak harus menempuh jalan-jalan menyeramkan
tak berpenghuni karena negara kalian sungguh peduli. Bahkan guru-guru kalian
pun tak menyiapkan rotan atau cambuk untuk menghukum atau menyakiti,
tambahnya lagi. Anak-anak itu hanya memandang jauh ke depan dengan mulut
bungkam. Beberapa mata berlabuh ke luar jendela, atau ke jam dinding yang
berdetak setia. “Who cares?” bisik-bisik itu lamat-lamat menyapa telinga
saya.

Di banyak negara berkembang seperti Indonesia, kepintaran dikenang sebagai
perjuangan untuk menapaki mobilitas sosial. Kepintaran itu mahal. Kepintaran
itu jalan berliku yang panjang. Kepintaran itu romantisme dalam sebentuk
daya juang yang terdokumentasi dalam kisah-kisah seperti Laskar Pelangi. Di
negara multikultural seperti Amerika, mobilitas sosial seperti itu tentu
juga diakui. Dalam penelitiannya di tahun 1978, John Ogbu menegaskan bahwa
gelombang imigrasi atas “kemauan sendiri,” dalam motif-motif ekonomi,
politik, dan intelektual cenderung menghasilkan generasi yang lebih
berprestasi ketimbang generasi keturunan budak-budak yang “didatangkan” dari
negara lain. Meski dianggap melecehkan kalangan minoritas Afrika-Amerika,
penelitian ini cukup menggambarkan pengakuan bahwa prestasi akademis pun
menjadi sarana aktualisasi diri. Penulis buku anak Rukhsana Khan, seorang
Muslimah yang menghabiskan masa kecilnya di Kanada pun mengakui bahwa buku
adalah tempat curhat manakala tak ada seorang pun mau bersahabat.

Dalam lensa konstruksi sosial, anak-anak dan remaja berkelindan dengan
konsepsi kepintaran yang ditawarkan oleh dunia sosial mereka. Ada kepintaran
yang dipatok orang tua, ada kepintaran yang dikuantifikasi institusi sekolah
dalam bentuk prestasi akademik dan tingkat intelegensia. Ada selebriti dan
media populer yang turut membingkai relasi kepintaran dan kesuksesan. Ada
kepintaran sebagai buah alienasi. Ada juga kepintaran karena tuntutan
pertemanan. Orang dewasa bisa saja menerjemahkan kepintaran, namun anak-anak
akan mengkonstruksi kepintaran dengan cara mereka sendiri. Di tangan mereka,
kepintaran bisa menjadi alat negosiasi untuk menjalin relasi sosial atau
mengukuhkan identitas diri. Seorang sosiolog, William Corsaro, mengatakan
bahwa anak memiliki fleksibilitas untuk menganyam beragam konstruksi sosial
ini. Orang dewasa bisa memanfaatkan pemahaman akan kompleksitas itu untuk
berdialog dengan mereka tentang prioritas dalam kehidupan mereka.

Memahami kepintaran sebagai sebuah konstruksi menuntut orang dewasa untuk
mengenali kompleksitas yang dihadapi oleh anak-anak. Generasi sekarang
memahami kepintaran dalam diskursus yang terikat ruang dan waktu. Kepintaran
termaknai dalam konteks tradisi, budaya, sejarah, dan relasi sosial yang
spesifik. Setiap konteks memiliki tantangan yang unik. Romantisme perjuangan
orang dewasa di masa lalu bisa menginspirasi, atau tidak sama sekali. Kita
memerlukan kreativitas untuk berdialog dengan generasi muda, tanpa jadi
menghakimi. Lantun John Mayer, orang dewasa bisa bertambah tua, namun tak
harus dengan menuai tragedi.
Read More......

Arief Rachman : Pendidikan di Indonesia Miskin Proses

*TEMPO Interaktif*, *Jakarta* - Pengamat pendidikan dan Guru Besar
Universitas Negeri Jakarta, Prof. Arief Rachman, menilai pendidikan di
Indonesia masih miskin proses. Kalangan pendidik dan pengajar selama ini
hanya memusatkan perhatian pada orientasi hasil, bukan proses pembelajaran.
"Ini kritik besar terhadap dunia pendidikan kita. Harus ada rekonstruksi
terhadap proses pembelajaran," kata Arief Rachman, Kamis, 12 Mei 2011.
Berita terkait


- Arief Rachman: Pancasila Tidak
Dihilangkan
- Polisi Usut Penyimpangan Dana di
Al-Zaytun
- Besok, Hasil Unas SMA Dibagikan

- Salah Besar, Menghilangkan Pancasila dari Kurikulum Pendidikan

- Pemerintah Diminta Ungkap Beking Gerakan NII


Arief menilai, sikap guru kurang mendukung pembentukan sikap pada siswa,
sehingga yang terjadi hanya transfer ilmu dan pengetahuan, bukan
transformasi sikap kepada pelajar. Untuk pelajaran Pancasila, misalnya,
siswa hanya mengetahui isi pelajaran Pancasila tanpa mengetahui cara
bersikap dari nilai-nilai Pancasila. "Orang tahu dan mengerti bukan berarti
dia bisa bersikap," kata Arief.

Orang tua juga tak luput dari tanggung jawab karena harus menanamkan sikap
kepada putra-putri mereka. Misalnya, bagaimana bersikap sesuai dengan agama
Islam, bahwa di dalam Islam tidak disebutkan bagaimana membentuk negara
Islam, tapi bagaimana memperkokoh kehidupan masyarakat Islam.

Arief menilai selama ini fenomena yang muncul dalam dunia pendidikan
nasional adalah perhatian pada kekuatan kognitif siswa semata, bukan
penekanan pada sisi afektif mereka. Ibaratnya, pengetahuan sudah dikemas
dengan baik, sedangkan sikap sebagai akibat dari pengetahuan justru tidak
dikuasai siswa.

"Selama ini hanya fokus pada hal-hal yang dapat diukur dan diamati, misalnya
nilai," kata Arief. "Padahal, hal-hal yang tidak terukur dan teramati justru
lebih penting."

Arief juga mengamati munculnya gaya hidup yang berbahaya dalam kehidupan
berbangsa, yakni segala aktivitas masyarakat hanya terpaku pada hasil, bukan
proses. Apalagi ditambah dengan budaya hidup serba instan. "Orang yang
materialistis cenderung tidak sabar karena spiritualitasnya lemah," kata
Arief.

Tak hanya proses pembelajaran untuk pembentukan sikap, Arief juga menilai
kekeliruan pendidikan nasional terletak pada sistem evaluasi. Selama ini
yang dievaluasi hanya nilai, sedangkan sikap pelajar sering diabaikan guru.
"Yang penting bukan mata pelajarannya, tapi proses dan evaluasinya."

*MAHARDIKA SATRIA HADI*
Read More......

Sebelum Ujian Nasional, Siswa SD di Probolinggo Minum Susu

Siswa SDN Ngadirejo Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo Jawa Timur
tengah mengerjakan soal ujian nasional di tengah situasi hujan abu di
kawasan Gunung Bromo. TEMPO/David Priyasidharta

*TEMPO Interaktif*,*Probolinggo - *Siswa SDN Ngadirejo, Sukapura,
Probolinggo, Jawa Timur memperoleh jatah susu dan nasi kotak selama
mengikuti ujian nasional. Dengan ini diharapkan para siswa mendapatkan
nutrisi yang memadai selama mengikuti ujian dan mendapatkan nilai terbaik.
"Rata-rata para siswa tinggal di daerah yang paling parah terkena dampak
erupsi Gunung Bromo," kata Kepala Sekolah Mochamad Abd Ghofur kepada*Tem
Read More......

Wakil Ketua Komisi X DPR : Revitalisasi Pancasila

Kita menghadapi kenyataan makin lunturnya ideologi Pancasila dalam jiwa
bangsa. Ingat, Pancasila adalah weltanschauung (landasan filosofis)
berbangsa dan bernegara. Tanpa fondasi tersebut, negara bergerak tanpa
pedoman. Sayangnya, sejak awal reformasi hingga saat ini, pamor Pancasila
terasa kian meredup, seiring meningkatnya pengaruh liberalisasi dan
demokratisasi.

Padahal, Dr Paul Marshall, Senior Fellow Institut Leimena, yang pernah
meneliti fenomena radikalisme agama di sejumlah negara Afrika dan Asia
menyatakan, Indonesia beruntung memiliki Pancasila sebagai penangkal
filosofis radikalisme agama di saat negara-negara lain kebingungan
menghadapinya karena ketiadaan "tameng" semacam itu.

Persoalannya, masyarakat makin jauh dari Pancasila karena mengasosiasikannya
dengan penataran (P4) seperti pada era Orde Baru. Karena itu, rakyat
sebenarnya bukan menepis Pancasila, namun lebih menolak cara-cara penanaman
nilai yang bersifat indoktrinasi seperti pada masa lalu.

Pengajaran Pancasila sebagai dasar negara di dunia pendidikan harus
direvitalisasi. Sebab, pola indoktrinasi dan penafsiran tunggal selama ini
telah mengerdilkan Pancasila dan membuatnya ditinggalkan sebagai ideologi
berbangsa dan bernegara. Karena itu, Komisi X DPR terus mendorong penguatan
materi pendidikan Pancasila.

Parlemen mendukung rencana Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas)
menjadikan empat mata pelajaran (mapel) sebagai kewenangan pemerintah pusat.
Keempat mata pelajaran itu ialah agama, matematika, pendidikan
kewarganegaraan (PKn) yang memuat materi Pancasila, dan bahasa secara
nasional.

Namun, karena sifatnya perubahan kurikulum yang mendasar, hal itu
membutuhkan kajian terlebih dulu, termasuk kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP). Sebelum ditetapkan, Komisi X DPR akan melakukan telaah
mendalam pada masa persidangan mendatang. Ini terutama dimaksudkan agar
Pancasila tetap menjadi muatan pokok PKn.

Sekarang ini pola kurikulum KTSP semua diserahkan ke daerah. Ke depan,
dimungkinkan ada pembagian pengelolaan. Khusus untuk empat mapel itu akan
disusun, dikembangkan, dikendalikan, dan diawasi oleh pusat secara nasional.
Sedangkan mapel lainnya mengenai seni budaya, sosial, dan muatan lokal,
diserahkan ke daerah dan sekolah.

UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sangat tegas menyebutkan
nilai-nilai materi Pancasila sebagai dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan
nasional (pasal 2 dan 3). Hanya saja, dalam implementasi, perlu dilakukan
perbaikan metode pembelajarannya serta penerapan nilai-nilai dalam kehidupan
sehari-hari. Upaya lain, melatih guru-guru pendidikan Pancasila agar bisa
meyakinkan siswa tentang urgensi nilai-nilai ideologi negara itu.

Pengambilalihan empat mapel oleh pusat karena memiliki ikatan secara
nasional. Selain matematika, tiga mapel lainnya adalah penalaran logika
secara nasional dan umum. Pemisahan mapel untuk pemerintah pusat dan daerah
akan menyelesaikan sejumlah pertanyaan di masyarakat. Termasuk sebagai upaya
meningkatkan karakter bangsa dan mengatasi paham yang bertentangan dengan
ideologi negara.

Dengan nasionalisasi empat mapel itu, maka sekolah tidak boleh menambahkan
materi apa pun ke dalamnya. Untuk urusan agama, pendidikan Pancasila (PKn),
bahasa Indonesia, dan matematika ini dikunci secara nasional. ***
Read More......

Dindik Larang Tour Pelajar

Selain dikeluhkan orantua, ada dugaan menjadi ajang bisnis sekolah

MALANG–Akhir tahun ajaran (lulusan) ini sekolah di Kota Malang tak lagi bisa
seenaknya menggelar tour (wisata) pelajar maupun wisuda kelulusan sekolah.
Menyusul keluhan walimurid merasa berat menanggung biaya kegitan itu, Dinas
Pendidikan Kota Malang pun mengeluarkan kebijakan baru; melarang sekolah
menggelar tour maupun wisuda siswa.

Selama ini, sepertinya sudah menjadi budaya memang,--setiap akhir tahun
ajaran, sekolah mulai tingkat SD hingga SMA sederejat di Kota Malang selalu
menggelar kegiatan tour maupun wisuda yang biayanya ditanggung masing-masing
siswa.

Kegiatan lebih berkesan merayakan lulusan ini rupanya kerap mematik keluhan
walimurid. Banyak orangtua pelajar berkeluh dengan besarnya pungutan untuk
pembiayaan kegiatan tour maupun wisuda sebagai keberhasilan menempuh
pendidikan sesuai jenjangnya.

Ini karena biaya yang harus ditanggung siswa atau walimurid mulai ratusan
ribu rupiah hingga jutaan rupiah. Bahkan sempat pula muncul tudingan
kegiatan tour pelajar dan wisuda kelulusan sekolah itu menjadi ladang bisnis
sekolah setempat memanfaatkan momen pelarayaan lulusan.

Nah, berlatar belakang keluhan itulah, Sri Wahyuni, Kepala Dinas Pendidikan
Kota Malang rupanya menyadarinya. Bahkan sebelum polemik itu menjadi besar,
pihaknya memutuskan mengambil kebijakan melarang sekolah menggelar tour dan
wisuda mulai ajaran tahun ini.

Terkait kebijakan itu, lanjut dia, pihaknya memastikan akan mengeluarkan
surat instruksi yang ditujukan kepada sekolah mulai tingkat SD – SMA.
“Instruksi itu berisi larangan bagi sekolah melaksanakan wisuda dan
rekreasi. Karena dari awal kami memang sudah menekankan pada sekolah untuk
tidak mengadakan wisuda dan rekreasi yang selalu menunai keluhan dari
walimurid karena persoalan biaya,” kata Yuyun.

Meski demikian, lanjut dia, bukan berarti pelajar tidak boleh berekreasi
merayakan kelulusannya. “Selama panitianya bukan dari sekolah, tentunya
tidak ada masalah. Intruksi itu hanya melarang sekolah bertindak sebagai
penyelenggara tour dan wisuda,” tegasnya.

Kata lain, , bila ada paguyuban walimurid atau komite sekolah tetap
menyelenggarakan dua kegiatan itu, pihaknya tidak bisa mencegahnya. Apalagi
berdasarkan ada kesepakatan bersama para walimurid dan menjamin tidak
memunculkan keluhan dari orangtua siswa.

Sementara itu, Ketua Komisi D DPRD Kota Malang, Christea Frisdiantara
menegaskan, surat intruksi yang akan dikeluarkan Dinas Pendidikan Kota
Malang itu menjadi kesepakatan saat rapat bersama beberapa saat lalu. “Ini
memang berawal dari banyaknya keluhan yang masuk ke kami tentang banyak
pungutan setiap akhir tahun ajaran sekolah. Sehingga ada kesepakatan dengan
Dindik untuk membuat surat intruksi larangan melakukan pungutan,” kata
Cristea.

Ditambahkannya, dewan meminta Dindik lebih ketat dan tegas mengawasi setiap
sekolah. “Bila ada komite sekolah atau pun pihak sekolah yang tetap
mengenakan pungutan kepada siswa yang tidak mampu, maka harus ditindak
tegas,” ujarnya. “Jadi tidak cukup dikeluarkan surat intruksi, juga tetap
harus ada pengawasan ketat dari Dindik kepada seluruh sekolah. Agar tidak
sampai ada penyimpangan dilapangan,” tambahnya.*zar*
Read More......

DPRD Soroti Ujian di DKI : Yang Gagal Mesti Dievaluasi, Pungli Harus Diberantas

Sebanyak 142.013 siswa tingkat Sekolah Dasar (SD) di DKI Jakarta mengikuti
Ujian Nasional (UN) yang digelar sejak kemarin hingga Jumat besok. Dari
jumlah itu, 130.143 siswa merupakan siswa SD, 11.724 siswa Madrasah
Ibtidaiyah (MI), dan 146 siswa SD Luar Biasa.

Menanggapi pelaksaan UN, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Inggard Joshua
menekankan, ke depannya, pelaksanaan UN harus ada standarisasi penilaian.
Hal tersebut dia nilai perlu sebagai evaluasi tingkat akhir.

“Saya tentu setuju dengan ada nya UN. Pasalnya, hal tersebut dilakukan untuk
mengukur sejauh mana penilaian yang objektif terhadap kualitas pendidikan di
Jakarta. Jangan sampai dilakukan dengan subjektif,” kata Inggard kepada
wartawan di Gedung DPRD DKI Jakarta di Kebon Sirih, kemarin.

Dia mengungkapkan, jika memang ada kegagalan atau ada yang tidak lulus dalam
UN SD ini, harus menjadi evaluasi bagi pihak sekolah. Apakah

kegagalan ini bersumber dari muridnya, orangtua siswa atau kualitas

pendidikan di sekolah yang kurang baik. Karena itu, perlu standarisasi di
setiap sekolah, disesuaikan dengan kondisi wilayahnya masing-masing.

Politisi Partai Golkar ini me lanjutkan, hal ini harus menjadi tugas bersama
bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, khusus nya Dinas Pendidikan DKI untuk
menganalisa dan mengkaji hasil UN yang akan diumumkan nanti.

“Pihak sekolah juga jangan cepat merasa puas dengan hasil yang sudah
didapat. Harus ada sikap kritis dalam memajukan kualitas pendidikan di
sekolah nya masing-masing,” sarannya.

Dia mengingatkan, dalam pelaksanaan dan setelah UN SD ini, jangan sampai ada
pungutan-pungutan yang membebani orang tua siswa.

“Ini tugas Dinas Pendi dikan untuk melakukan pengawasan. Jika terjadi

pelanggaran, ini tugas Inspektorat Jenderal menindaknya,” tegasnya.

Yang patut menjadi perhatian, sambung Inggard, perlu penyetaraan guru antara
yang honorer dan non honorer. Pasalnya, kualitas pendidikan di sekolah
sangat ditentukan oleh kondisi guru.

“Jika terjadi perbedaan mendasar terhadap guru honorer dan non honorer,
tentunya akan berdampak pada perkembangan siswa,” cetusnya.

Karena itu, Inggard memberi masukan, para guru honorer perlu diangkat men
jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tentunya di lakukan sesuai prosedur yang
ditetapkan, seperti dengan mengikuti seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil
(CPNS), agar didapatkan hasil yang sesuai dengan kualitas guru terbaik.

“Selain itu, guru-guru yang ada juga harus sadar terhadap kewajibannya di
sekolah. Soal nya, tunjangan yang didapatkan guru saat ini sudah lebih baik
dari sebelumnya, bahkan sudah lebih sejahtera,” pungkasnya.

Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudhi Mulyanto
mengatakan, sejumlah 3.474 guru telah disiapkan menjadi pengawas ujian
nasional.

Dari jumlah tersebut, 3.030 orang akan menjaga ujian di SD, 444 orang di MI
dan 24 orang di SD Luar Biasa. “Mereka semua tidak akan menjaga di sekolah
nya sendiri,” ucapnya. *(RMOL)*
Read More......

*Anggaran Perpustakaan : Rp 9,9 Triliun Ternyata Masih Kurang*

Pada rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, Menteri
Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, kebutuhan dana untuk membangun
ruang perpustakaan di SD dan SMP sekitar Rp 9,9 triliun. Namun, anggaran
dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp 10 triliun dari pemerintah pusat tahun
2011 juga dipakai untuk memperbaiki ruang kelas yang rusak dan peningkatan
mutu, seperti pembelian buku referensi dan pengayaan serta alat-alat peraga
dan laboratorium.

Lucya Damayanti, Kepala Bidang Perpustakaan Sekolah dan Perguruan Tinggi
Perpustakaan Nasional, memprihatinkan masih banyaknya sekolah, terutama SD,
tidak punya perpustakaan. Kondisi itu menunjukkan belum ada kesadaran
pentingnya mengembangkan perpustakaan.

"Perlu diprioritaskan adanya perpustakaan di tiap sekolah. Dinas pendidikan
setempat mesti berkoordinasi dengan Perpustakaan Nasional dan daerah supaya
program perpustakaan sekolah berkesinambungan dan jadi pusat belajar," kata
Lucya.

Seperti diberitakan sebelumnya, saat ini tak hanya masalah ratusan ribu
ruang kelas rusak di sekolah dasar dan tingkat menengah yang belum tuntas.
Puluhan ribu SD dan SMP di seluruh Indonesia juga belum memiliki
perpustakaan yang penting sebagai pusat belajar dan mengembangkan minat baca
siswa sejak dini.

Hingga 2011, Kementerian Pendidikan Nasional mencatat 55,39 persen SD belum
memiliki perpustakaan sekolah. Dari 143.437 SD, ada 79.445 sekolah belum
punya perpustakaan. Adapun di SMP, 39,37 persen sekolah (34.511 dari 13.588
sekolah) tidak punya perpustakaan.

Perpustakaan sekolah yang ada pun belum memadai, baik dari segi ruangan,
koleksi, hingga kegiatan. Hal itu tampak dari pantauan*Kompas *ke sejumlah
sekolah di Jakarta, Kamis (31/3/2011).

Di SDN Duri Pulo 06 Petang, Jakarta, ruang perpustakaan digabung dengan
ruang guru dan ruang penyimpanan barang sekolah. Perpustakaan hasil bantuan
bank pemerintah itu juga dipakai siswa SDN Duri Pulo 10.

"Kalau tidak ada bantuan dari luar, kami belum punya perpustakaan. Koleksi
buku pun disumbang," kata Sutisna, penanggung jawab perpustakaan itu. *(ELN)
*
Read More......

Cara Mendapat Solusi dengan Tehnik; Boleh Saya Curhat?

Shahabat saya yang budiman. Bagaimana keadaan Anda hari ini? Semoga senantiasa selalu dalam bimbingan, hidayah dan petunjuk dari Allah swt. Mudah-mudahan kata-kata saya menyapa Anda dengan penuh kehangatan, sehinga menambah keindahan persaudaraan kita ini.

Shahabat yang baik. Bulan lalu, saya menulis tentang cara keluar dari masalah hidup. Di sana saya menyampaikan tips mendapatkan solusi dari persoalan yang sedang menyapa saya. Tulisan ini hampir mirip-mirip konteksnya. Namun, yang berbeda adalah cara menemukan solusi, dari tantangan yang saya hadapi.
Cara Menemukan Solusi
Ide ini muncul saat saya sedang melakukan pengosongan perut di bilik inspirasi. (Water Close). Saya sebut bilik inspirasi, karena memang hampir beberapa ide briliant, datang tatkala proses pembuangan terjadi. Mungkin Anda juga mengalaminya kan?

Di dukung juga oleh pengalaman saya melakukan terapi kepada klien-klien saya. Baik di klinik, chating dan via email. Ada juga diantaranya melalui curhat colongan di komentar Facebook. Ternyata, tidak semua orang datang berniat untuk di terapi, dan menemukan solusi dari arahan atau bantuan Mind-Therapist. Akan tetapi, hanya mau ada yang mendengrakan masalahnya. Ada yang menempuh bercerita, mengemukakan, mengeluarkan uneg-uneg dan curhat, terkadang ini membuat mereka menemukan sendiri solusinya, dan mengakibatkan mereka merasa plong (selesai bebannya).

Oleh karena itu, tips terapi ini saya namakan ”Boleh saya curhat?”. Ngomong-ngomong tentang curhat. Fikiran saya jadi terbang kembali ke masa-masa saya SMP dan SMA. Saya teregresi ke masa itu. Karena, kata curhat pertama sekali saya dengar saat saya kelas 2 SMP. Dan proses keseringan curhat, saya lakukan tatkala masa SMA. So sweet lah. Benar kata Obie Mesakh ”Masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah. Kisah kasih paling indah, kisah kasih di sekolah..” (yang mau nostalgia, monggo dilanjut ya, saya mau balik ke topik).

Strategy Curhat
Seperti biasa. Saya mau menyampaikan maklumat, bahwa cara-cara yang akan saya sampaikan belumlah cocok, tepat dan pas dengan kondisi persoalan Anda hadapi sekarang. Namun, ada benarnya Anda melakukan terlebih dahulu untuk mengetahui hasilnya kan? Sehingga adapun strategynya seperti berikut ini.

Curhat kepada Konselor atau teman Dekat
Tips ini seolah-olah Anda sedang bercerita, menyampaikan, mencurahkan isi hati Anda kepada orang yang Anda percayai. Dan Anda yakin bisa membantu Anda mendapatkan solusi. Caranya tidak jauh beda seperti kebiasaan yang sudah Anda lakukan. Namun, Anda mesti lebih mencurahkan perhatian dengan cara yang satu ini. Oh ya, mumpung saya ingat nih. Cara ini akan sangat berdampak luar biasa efektif, apabila Anda mejalaninya dengan membakar kemenyan (he..he.. bercanda). Maksud saya, dengan menggunakan fikiran imajinatif Anda. Jadi, untuk sementara, fikiran logika dan analisis, disimpan dulu ya...

9 Langkah Terapi ”Boleh Saya Curhat”

1. Berdoa kepada Allah agar, usaha Anda menghasilkan solusi. Kemudian dimudahkan dan di Ridahi oleh Allah.

2. Siap kan tiga buah kursi, atau tandai tiga titik pada lantai tempat Anda berada. Boleh lurus atau berbentuk segitiga.

3. Beri nama atau kode untuk memudahkan proses therapy pada tiap kursi. Contoh : Kursi pertama Anda beri code/nama Sang Masalah, Kursi Kedua Juru bicara. Dan Ketiga Sang Konselor. (Anda boleh mengganti nama-nama di atas sesuai keinginan dan kehendak Anda. Ingat! gunakan imajinatif Anda, tidak perlu bertanya untuk apa. Lakukan dan ikuti saja intruksinya, oke kan?)
4. Sekarang, bisa Anda duduk di tiap-tiap kursi atau titik yang telah Anda namai tadi. Silahkan Anda berada disana, dengan 100% hadir sebagai nama yang Anda beri tadi. Contoh : Kursi Juru Bicara. Saat Anda duduk di atas kursi ini, jadilah seolah-olah Anda sebagai benar-benar seorang juru bicara. Sebagaimana kita tau, yang nama nya juru bicara, terkadang hanya menyampaikan apa yang mesti disampaikan oleh Sang Masalah. Jadi, Anda di kursi Juru Bicara, seolah-olah orang lain, yang akan menceritakan tentang kondisi Sang Masalah. Sehingga Anda tidak mengalami apa yang dia rasakan, Anda tidak larut, dan Anda benar-benar menjadi orang lain (ingat gunakan imajinatif Anda). Begitu pula dengan Sang Konselor. Saat Anda duduk di kursi ini, seolah Anda seorang Konselor. Bolehlah sedikit sok tau ya. He...he... sementara di Kursi Sang Masalah, tidak perlu saya jelaskan. Anda sudah sangat mahir karena sudah mengalami ^_^...

5. Mari kita mainkan. Pertama, duduklah di Kursi Sang Masalah....Rasakan, lihat dan dengarkan serta alami secara total masalahnya. Setelah itu sampaikan kepada sang Juru Bicara.

6. Setelah Anda merasa sudah benar-benar full 100% merasakannya, sekarang pindahlah ke kursi Sang Juru Bicara. Mulailah bercerita kepada ke Kursi Sang Konselor kondisi teman/klien Anda yang bermasalah itu. Sebagai sang Juru Bicara, boleh ambil intervensi (memberikan sudut pandang) juga pendapat Anda (Sebagai Juru Bicara), berdasarkan pengamatan Anda terhadap cara Sang Masalah duduk, ekspresi wajahnya, cara bernafas, cara bercerita dll, yang dilakukan oleh sang Masalah.

7. Sekarang Anda pindah ke kursi Sang Konselor. So selamat menikmati sebagai orang pemberi solusi. Lihat ekspresi si Juru Bicara yang tak punya masalah dan juga Kursi Sang Masalah. Berdasarkan analisa Anda, dari cerita Sang Juru Bicara. Apa hal Terbijak dan terbaik mesti di fikirkan, dilakukan serta di ambil keputusan sekarang, oleh Sang Masalah. Berikan juga nasehat serta wejangan kepada nya.

8. Silahkan Anda duduk kembali ke kursi Sang Masalah. Setelah mendengar Curhat Sang Juru bicara ke Sang Konselor, kemudian Anda menyimak nasehat serta pandangan dari Sang Konselor. Apa yang Anda alami dan terjadi pada diri Anda? Dan, apakah sudut pandang sang Konselor memberi pemahaman dan Anda menemukan solusinya sekarang? (Bila Anda belum menemukan solusi, boleh Anda ulangi sekali lagi).

9. Apabila Anda merasa sudah mendapatkan hal yang Anda inginkan (Solusi), boleh akhiri dengan rasa syukur dan hamdalah kepada Allah. Juga kepada diri Anda sendiri, karena sudah mau berdamai dan bersedia untuk memecahkan masalah (get solution) secara bersama-sama.

Sekedar sharing, saya terkadang melakukan cara di atas dengan memanfaatkan fikiran kreatifitas saya. Yaitu menghadirkan tokoh imajiner, Coach yang selama ini membimbing dan mengarahkan saya. Jadi, seolah-olah beliau Ada disana, dan memberikan solusi kepada diri saya. Namun, terkadang saya sendiri yang seolah-olah menjadi seorang ahli dalam memberi sololusi saat berada di Kursi Sang Konselor.

Selamat melakukan dan mempraktekkan. Semoga tips ini menjadi cara untuk menghasilkan solusi terhadap tantangan hidup yang sedang bertamu kepada Anda. (Yang namanya tamu pasti pulangkan?).

Note : Bila Anda belum faham dengan penjelasan di atas, boleh Anda hubungi 081511448147 (Bebas biaya, kecuali pulsa Anda habis he...he..). Saya akan membantu Anda, bagaimana cara bermain-main dengan tips terapi di atas.

Cingajur, 12 Maret 2011
www.kursusnlp.com


Read More......

Bahasa dan Mentalitas oleh Bagus Takwin

Oleh BagusTakwin*

TEMPO 20 Maret 2011

BAHASA mencerminkan pikiran. Banyak ahli menegaskan ini. Tapi bahasa juga
mencerminkan mentalitas: kecenderungan pribadi, kekayaan pengalaman, dan
kepekaan sosial. Pilihan dan susunan kata, juga waktu dan tempat
penyampaian, bisa jadi indikator dari pengalaman seseorang berinteraksi
dengan banyak kalangan, juga seberapa jauh ia terlibat dengan banyak ihwal.

Kita bisa menakar, misalnya, pengalaman dan kepekaan sosial seorang pejabat
publik yang berkata, "Pulau kesapu dengan tsunami, ombak besar, konsekuensi
kita tinggal di pulaulah.... Kalau tahu berisiko pindah sajalah...," ketika
Mentawai baru saja mengalami bencana tsunami. Juga pejabat yang bilang,
"TKI-PRT telah membuat citra Indonesia buruk," ketika ada banyak TKI yang
telantar di luar negeri.

Bahasa mensyaratkan intensionalitas, keterarahan untuk mencapai kesesuaian
antara keadaan mental dan dunia. Intensionalitas mengarahkan orang melalui
bahasa untuk memaknai, dalam arti menjadikan dunia, juga diri sendiri, bisa
dimaknai. Intensionalitas adalah struktur dari kesadaran manusia yang
memberi makna kepada pengalaman dan meleluasakannya membuat keputusan.

Cara dan isi pengarahan dipengaruhi latar belakang mental yang berisi
serangkaian pengalaman, pengetahuan, kemampuan, dan kecenderungan-
kecenderungan pribadi lainnya, seperti nilai, sifat, dan motif. Dengan itu,
ketika seorang guru berkata "catat kata-kata saya", kita tahu perlu
menggunakan alat tulis untuk mencatat, atau ketika seseorang berkata
"telepon sekretaris saya", kita tahu perlu menggunakan telepon meski
permintaan itu tidak mengandung penjelasan rinci. Latar belakang mental
membangun jejaring unsur mental yang niscaya dibutuhkan untuk menentukan
kebermaknaan obyek-obyek yang kita temui.

Latar belakang dan jejaring mental dibentuk melalui pengalaman. Keduanya
menentukan kekayaan pemaknaan. Semakin sering seseorang bertemu dengan
hal-hal yang ada di dunia, semakin banyak kemungkinan pemaknaan yang bisa
dirumuskannya. Semakin beragam unsure mental seseorang, semakin kaya luas
dan terbuka pikirannya.

Intensionalitas mengarahkan orang untuk menampilkan tindakan berbahasa
sebagai perpanjangan dari kecenderungan-kecenderungan dalam diri, khususnya
kecenderungan memaknai apa yang ada di dunia. Isi pemaknaan dipengaruhi oleh
latar belakang dan jaringan unsur- unsur mental. Ketika bencana alam di
sebuah pulau dimaknai sebagai hal wajar dengan latar belakang mental yang
miskin tentang bencana, bahasa mengungkapkan itu sebagai "konsekuensi kita
tinggal di pulaulah...".

Usaha pengarahan agar keadaan mental sesuai dengan dunia
diungkapkan dengan "...pindah saja- Iah". Ujaran semacam itu menunjukkan
sempit dan sederhananya jaringan unsur mental terkait bencana.

Di Indonesia, cukup sering kita temui pernyataan yang mencerminkan
ketakpekaan dan kecenderungan pengujarnya menggampangkan persoalan karena
miskinnya pemaknaan. Contohnya, selain pernyataan tentang tsunami dan TKI
tadi, komentar seorang pejabat publik tentang letusan Gunung Merapi sebagai
azab karena mendustakan ayat-ayat Tuhan, juga "...agar mudah diingat
singkatannya adalah AIDS=Akibat Itunya Dipakai Sembarangan". Lepas dari apa
maksud sadar penyampaiannya, pernyataan-pernyataan itu menyakiti hati banyak
orang.

Berdasarkan intensionalitas bahasa dan kaitannya dengan latar belakang dan
jaringan mental, kita dapat menganalisis ucapan-ucapan pejabat yang saya
petik tadi. Pernyataan terkait tsunami memberi petunjuk kepada kita tentang
beberapa kemungkinan kecenderungan pribadi orang yang mengemukakannya, di
antaranya (1) kecenderungan menganggap enteng bencana, termasuk tsunami; (2)
kecenderungan menghindari tanggung jawab untuk menangani secara
sungguh-sungguh kejadian buruk, seperti bencana tsunami; dan (3)
kecenderungan melakukan pembenaran terhadap kelalaian menangani dampak
bencana. Sedangkan pernyataan tentang letusan Gunung Merapi dan AIDS
mengindikasikan kurangnya empati dari orang yang mengucapkannya. Jika
pernyataan sejenis itu sering diulang, bisa dicurigai adanya kecenderungan
sistem pikiran yang tertutup dan sempitnya ruang lingkup interaksi sosial si
pengujar. Kita bisa menduga para pengujarnya jarang punya pengalaman
bertukar peran yang menuntutnya menggunakan beragam sudut pandang dalam
memahami persoalan. Latar belakang dan jejaring mentalnya miskin.

Bisa jadi para pejabat yang melontarkan pernyataan-pernyataan tak peka itu
mengaku tak sengaja atau tak berniat menyakiti orang lain. Tapi,
ketidaksengajaan pun bisa mengindikasikan kemiskinan, baik dalam kemampuan
berbahasa maupun kepekaan sosial. Kemampuan berbahasa, termasuk ketepatan
menyampaikan pernyataan dalam situasi tertentu, mencerminkan kompetensi
seseorang. Di Indonesia, ada banyak pejabat yang tindakan berbahasanya
mengindikasikan rendahnya kompetensi dan kepekaan sosial mereka.

*)Dosen Fakultas Psikologi. UI dan

Redaktur srimulyani. net
Read More......

Guru Tak Harus Masuk PGRI

JAWA POS, 24 Februari 2011

GRESIK - Lebih dari 2.000 guru di Gresik resah. Mereka yang selama ini tidak bergabung dalam PGRI khawatir proses kenaikan golongan dari IIIB ke IVB terhambat.


Untuk kenaikan golongan tersebut, guru harus membuat karya tulis. Karya tulis itu pun harus mendapat persetujuan organisasi profesi. Yang dikhawatirkan ribuan guru tersebut, berkembang pemahaman bahwa organisasi profesi guru yang diakui hanyalah PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia).

Dengan tidak bergabung dalam PGRI, mereka tentu tidak bisa mendapatkan persetujuan tersebut dan dikhawatirkan berpengaruh pada pengurusan kenaikan golongan. Pemahanan tersebut muncul setelah beredarnya surat dari PGRI Gresik terkait dengan pendataan ulang anggotanya.

Surat edaran itu memang tidak secara eksplisit menyebutkan keterkaitan kenaikan golongan dengan keanggotaan di PGRI. Namun dalam sosialisasi edaran itu, hal itu dikait-kaitkan. "Itulah yang memberatkan kami. Terkesan ada keharusan guru bergabung dalam PGRI," ungkap seorang guru.

Sementara itu, di Gresik --juga di daerah-daerah lain--, muncul organisasi profesi guru non-PGRI. Lewat surat edaran itu, PGRI juga menegaskan larangan untuk merangkap keanggotaan di lebih dari satu organisasi profesi. "Yang membuat kami resah, pimpinan PGRI Gresik menyatakan bahwa organisasi selain PGRI dianggap tidak sah," kata guru yang takut menyebut jati dirinya itu.

Keberatan lain yang disampaikan para guru adalah tarikan Rp 100 ribu per tahun yang dipotong dari jatah TPP (tunjangan profesi pendidik) selama lima tahun. Tarikan tersebut rencananya digunakan untuk membeli tanah guna pembangunan gedung baru sekretariat PGRI Gresik.

Saat ini, guru yang tidak tergabung dalam PGRI mencapai ribuan. Sebagian besar tergabung dalam IGI (Ikatan Guru Indonesia).

Ketua PGRI Gresik Muljono membantah hal tersebut. "Itu semua tidak benar. Tidak ada aturan bahwa seluruh guru harus masuk PGRI," tegasnya kemarin (23/2).

Dia menjelaskan, dalam perekrutan anggota PGRI, ada dua cara yang digunakan. Yakni, pendaftaran pasif (otomatis terdaftar) serta pendaftaran aktif (para guru yang belum terdaftar diminta mendaftar ulang). "Kami tidak pernah memaksa kok," ujarnya.

Sekretaris PGRI Gresik Arief Susanto juga membantah bahwa PGRI menganggap ilegal organisasi diluar mereka. "Kami tidak pernah punya sikap seperti itu. Kalau PGRI sebagai organisasi tertua, memang iya," tegasnya.

Dia juga mengelak tudingan bahwa kenaikan pangkat seorang guru harus mendapat persetujuan dari PGRI sebagai salah satu syarat. "Tidak pernah ada itu," ujarnya.
Read More......

INILAH ALASAN KENAPA ILMUWAN BANYAK DARI EROPA

Pada edisi 26 Maret 2010, salah satu jurnal sains paling bergengsi di dunia, Science, memuat sebuah artikel singkat berjudul "Asian Test-Score Culture Thwarts Creativity", yang ditulis oleh William K. Lim dari Universiti Malaysia Sarawak. Dituturkannya bahwa meskipun sejak bertahun-tahun lalu Asia didaulat akan menjadi penghela dunia sains berkat sangat besarnya investasi di bidang sains dan teknologi, kenyataannya Asia masih tetap saja tertinggal di banding negeri-negeri barat (Eropa Barat dan Amerika Utara). Menurutnya, akar permasalahannya adalah budaya pendidikan Asia yang berorientasi pada skor-tes, yang alhasil tidak mampu mengasah keterampilan berpikir dan kreativitas pelajar. Padahal kedua kemampuan itulah yang menjadi dasar untuk bisa menjadi ilmuwan yang berhasil.
>
>Di Asia, para pelajar dan sekolah berorientasi mengejar skor-tes setinggi-tingginya. Para pelajar yang memiliki skor-tes lebih tinggi akan lebih baik karir masa depannya karena persyaratan masuk ke berbagai institusi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik ditentukan oleh skor-tes. Semakin tinggi skornya tentu semakin baik pula peluangnya. Beragam pekerjaan bergengsi juga hanya bisa dimasuki oleh mereka-mereka yang memiliki skor tinggi. Sekolah yang para siswanya meraih skor-tes tinggi akan naik reputasinya, dan dengan demikian menjamin pendanaan lebih banyak. Guru pun ditekan untuk mengajar dengan orientasi agar siswa bisa memperoleh skor-tes yang tinggi. Tidak heran jika kemudian latihan-latihan tes mengambil porsi besar dalam pendidikan di sekolah-sekolah di Asia karena keberhasilan sebuah sekolah semata-mata dinilai dari catatan skor-tes yang diperoleh sekolah itu.
>
>Akibat iklim pendidikan berorientasi skor-tes, para orangtua di Asia lazim memasukkan anak-anaknya ke suatu les pelajaran tambahan di luar sekolah sejak usia dini. Di Singapura, pada tahun 2008, sejumlah 97 dari 100 pelajar mengikuti les tambahan pelajaran di berbagai institusi persiapan tes (baca: Lembaga Bimbingan Belajar). Pada tahun 2009, industri persiapan tes di Korea Selatan bernilai 16,3 Miliar US$ atau setara dengan 146,7 triliun rupiah. Jumlah itu kira-kira senilai 36% dari anggaran pemerintah untuk dunia pendidikan di negeri ginseng.
>
>Akibat waktu sekolah yang panjang dan beban PR yang berat, para pelajar Asia hanya terasah kemampuan intelektualnya dalam hal mengingat fakta-fakta untuk kemudian ditumpahkan kembali saat ujian. Hasil dari budaya pendidikan semacam itu adalah kurangnya keterampilan menelaah, menginvestigasi dan bernalar, yang sangat dibutuhkan dalam penemuan-penemuan ilmiah. Dalam artikelnya, William K. Lim menyatakan bahwa para mahasiswa yang ditemuinya lemah dalam melihat hubungan-hubungan dalam berbagai literatur, membuat kemungkinan-kemungkinan ide-ide, dan menyusun berbagai hipotesis. Padahal, mereka adalah para peraih skor-tes tertinggi. Hal itu membuktikan kalau sistem pendidikan Asia tidak melahirkan talenta saintifik.
>
>Benar bahwa dalam berbagai ujian, para pelajar Asia "selalu" memiliki skor-tes lebih baik dari para pelajar Eropa Barat dan Amerika Utara berkat pendidikannya yang berorientasi skor-tes. Akan tetapi ketika bicara soal kreativitas dan kualitas hasil penelitian, para pelajar Asia jauh tertinggal. Sebagai akibatnya, sangat sedikit ilmuwan berkelas yang dihasilkan Asia. Mayoritas ilmuwan kelas dunia dari negara-negara Asia pun biasanya dididik dalam pendidikan Eropa/Amerika, bukan dalam iklim pendidikan Asia.
>
>Tidak bisa dipungkiri bahwa para pemenang olimpiade sains dunia (fisika, sains, biologi, dan lainnya) mayoritas berasal dari Asia. Indonesia sendiri telah berkali-kali memiliki para juara. Akan tetapi mereka merupakan hasil penggodokan khusus oleh tim khusus olimpiade sains. Mereka bukan hasil alami iklim pendidikan seperti biasa. Jadi, fenomena itu sama sekali tak mengindikasikan keberhasilan sistem pendidikan di Asia. Faktanya, meskipun mendominasi kejuaraan, Asia tak kunjung melahirkan ilmuwan-ilmuwan kelas dunia. Jumlah ilmuwan yang terlahir dari Eropa/Amerika sangat timpang jauhnya dibandingkan dari Asia.
>
>Bukti kegagalan sistem pendidikan Asia dalam menelurkan talenta saintifik berlimpah ruah. Benar bahwa Asia, terutama Asia Timur, digambarkan kuat dalam menyerap pengetahuan yang ada dan dalam mengadaptasi teknologi yang sudah ada (maklum, mereka canggih dalam mengingat). Akan tetapi Asia gagal membuat kontribusi orisinil terhadap ilmu-ilmu dasar. Hingga kini tidak ada temuan-temuan ilmiah berarti dari Asia. Kemajuan besar dalam sains dan teknologi yang digapai negeri-negeri Asia tidak ada yang merupakan karya orisinil Asia: nyaris semuanya merupakan adaptasi teknologi dari negeri-negeri barat. Padahal, negeri-negeri barat sempat cemas dengan besarnya investasi negara-negara Asia terhadap dunia pendidikan yang jumlahnya jauh melebihi investasi mereka. Dikuatirkan mereka bakal terkejar dan lantas tertinggal dari Asia dalam satu atau dua dekade saja. Akan tetapi, ternyata mereka tak perlu risau lagi. Investasi pendidikan besar-besaran negara-negara Asia
telah gagal karena kesalahan Negara-negara itu dalam membangun budaya pendidikannya. Kini, Asia tetap tertinggal di belakang.
>
>Indonesia agaknya tidak belajar dari kegagalan investasi pendidikan di negara-negara Asia lain. Pendidikan Indonesia saat ini ikut-ikutan berorientasi pada skor-tes. Konkretnya, skor-tes saat ujian nasional menjadi syarat mutlak kelulusan. Lantas, di mana-mana di berbagai sekolah di seluruh penjuru negeri, orientasi pengajarannya hanya agar para peserta didiknya berhasil melewati ujian nasional. Bulan-bulan menjelang ujian, berbagai mata pelajaran yang tidak diujiankan akan dihapus dari jadwal. Latihan tes ditekankan. Berbagai les diselenggarakan. Maklum, sekolah akan dianggap gagal jika tidak berhasil meluluskan siswa-siswanya dalam ujian nasional. Para politisi pun beramai-ramai memanasi suasana dengan `memaksa' para sekolah di daerahnya untuk bisa meluluskan siswa-siswanya, apapun caranya. Sebab, skor-tes ujian nasional di suatu daerah juga menjadi citra daerah itu. Lantas tak mengherankan jika muncul berbagai macam kecurangan untuk mengatrol nilai
para siswa agar bisa lulus ujian.
>
>Pendidikan yang berorientasi skor-tes menjadi berkah tersendiri bagi industri persiapan tes. Industri itu akan menjadi industri pendidikan yang paling menjanjikan. Potensinya luar biasa besar. Dengan jumlah pelajar yang hanya kurang dari 20% dari jumlah pelajar di Indonesia, industri persiapan tes di Korea Selatan telah menuai kapitalisasi senilai 146,7 triliun rupiah. Bayangkan besarnya potensi pasar industri persiapan tes di Indonesia, potensinya bisa diduga ratusan triliun rupiah. Anda tertarik?
>
>Buah yang akan dituai dari budaya pendidikan berorientasi skor-tes sangat jelas, seperti ditunjukkan negara-negara Asia lain yang telah gagal: ketidakmampuan menghasilkan ilmuwan. Maka, selamanya, selama budaya pendidikan itu tak diubah, Indonesia tak akan pernah mampu menjadi pelopor di bidang sains dan teknologi. Indonesia hanya akan menjadi pengekor karya ilmiah negeri-negeri lain, seperti selama ini. Masih mending negara-negara Asia lain, seperti Korea, Taiwan, China, Singapura dan Jepang yang mampu membuat adaptasi teknologi sehingga memakmurkan negerinya. Sedangkan kita, mengadaptasi saja tak mampu, apalagi mencipta.
>
>Agaknya pemerintah Indonesia tetap `kekeuh' mempertahankan kebijakan pendidikan skor-tes itu dengan berbagai alasannya. Tapi, pertimbangkanlah ini: jika negeri-negeri semaju seperti Korea, Jepang, Taiwan, Singapura saja telah dianggap gagal menelurkan para ilmuwan (dan dengan demikian gagal menjadi tuan di bidang sains dan teknologi) gara-gara budaya pendidikannya yang berorientasi skor-tes, masa sih kita harus meniru mereka?
>
>Mengutip William K. Lim: "A radical trasformation of the educational culture must happen before homegrown Asian science can challenge Western technological dominance."
>
>Benar kata Tuan Lim, kita memerlukan transformasi radikal dalam pendidikan kita, atau kita akan terus menjadi negeri tak dianggap siapa-siapa.
>
Read More......

JK: Tak Perlu Eksperimen Lewat RSBI!

JAKARTA, KOMPAS.com — Di tengah tuntutan masyarakat untuk menghentikan program rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan upaya pemerintah mengevaluasinya, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla ikut memberikan pendapatnya seperti yang disampaikan dalam pidato ilmiah penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa untuknya di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Kamis (17/3/2011). Menurut Kalla, pemerintah tak perlu melakukan eksperimen pada sistem pendidikan melalui RSBI.

”Pendidikan merupakan tempat dan lokus yang sangat strategis untuk menyemai dan menanamkan berbagai nilai sejak waktu paling dini dan berkelanjutan sesuai jenjang pendidikan yang ada,” ucap JK.

Pada Kamis (17/3/2011), Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) itu dianugerahi gelar kehormatan Doktor Honoris Causa bidang pendidikan dan kewirausahaan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Kamis (17/3/2011). Penghargaan diserahkan langsung oleh Rektor UPI Bandung Prof Sunaryo.

”Dalam konteks ini, pendidikan dasar semestinya lebih berorientasi ke dalam, tidak berorientasi ke luar melalui eksperimen semacam sekolah bertaraf internasional yang menggunakan bahasa asing,” ujarnya.

Kalla mengatakan, banyak hal yang harus dilakukan untuk memajukan ekonomi Indonesia dan belum saatnya puas terhadap berbagai kemajuan ekonomi yang telah dicapai. Oleh karena itu, perlu perjuangan sungguh-sungguh dan terus- menerus untuk lebih memajukan ekonomi dalam rangka mewujudkan martabat bangsa.

”Saya yakin dengan kemajuan ekonomi yang mendorong berbagai bidang kehidupan lainnya, bangsa kita bisa memiliki kebanggaan diri dan martabat baik ke dalam maupun ke tengah pergaulan antarbangsa. Karena itulah, kita perlu mengoreksi dan meluruskan arah pembangunan ekonomi ke arah self-esteem dan dignity, rasa harga diri bangsa,” ujarnya.

Seperti diberitakan, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengaku dirinya memahami kritik dan protes masyarakat mengenai RSBI, terutama kesan RSBI eksklusif hanya untuk ”anak orang kaya” yang dikuatkan dengan biaya tinggi. Padahal, RSBI tetap sekolah publik yang harus mengalokasikan 20 persen untuk siswa dari keluarga kurang mampu.

Untuk itu, Pemerintah akan merombak konsep dasar dan penyelenggaraan RSBI yang dinilai tak sesuai lagi dengan harapan dan ide awal. Institusi pendidikan salah menerjemahkan kualitas dengan label ”internasional” dan menggunakan pendekatan kelas serta menafsirkan metodologi pengajaran dengan bahasa asing sebagai bahasa pengantar.

”Tidak penting namanya apa, internasional atau nasional. Masyarakat inginnya institusi pendidikan berkualitas. Jangan pakai nama internasional kalau jiwanya belum internasional,” kata Nuh seusai pembukaan Rembuk Nasional Pendidikan Tahun 2011 di Bojongsari, Depok, Jawa Barat, Rabu (16/3/2011) kemarin.
Read More......

Dengan Komputer Rakitan, Pria Jepang Pecahkan Rekor Matematika 'pi'

JAKARTA, REPUBLIKA.co.id - Seorang pengusaha Jepang dengan menggunakan komputer rakitan rumah telah berhasil menghitung konsep matematika "pi" ke dalam triliunan digit dan memperoleh rekor dunia atas hasil kerjanya itu.

Shigeru Kondo, seorang insinyur sistem berusia 50 tahunan pada sebuah perusahaan makanan diprefektur Nagano, Jepang tengah, pada Agustus menghitung pi --rasio keliling lingkaran atas diameternya-- dalam lima triliun digit, hampir dua kali lipat akurasi dari rekor dunia sebelumnya.

Pekan lalu, penghitungan ini diakui oleh Catatan Rekor Dunia dengan memberikan sertifikat ke Kondo, yang mengaku mulai menghitung pi hanya sebagai hobi. "Saya benar-benar ingin memuji komputer saya, yang melakukan penghitungan terus-menerus selama tiga bulan tanpa keluhan, "kata Kondo kepada Chunichi Shimbun.

Ia berbagi kehormatan dengan seorang mahasiswa ilmu komputer AS, Alexander Yee, yang membuat program piranti lunak dan berhubungan dengan Kondo melalui surat elektronik.

Menggunakan bagian dari gudang lokal dan toko daring, Kondo menyatukan komputer meja yang menampilkan dua prosesor tingkat tinggi Intel dan 20 cakram keras tambahan.

Setelah 90 hari pengolahan terus enerus, Kondo memperoleh deret lima triliun angka yang mendefinisikan pi. Dia memverifikasi hasil itu dengan metode yang berbeda, yang memakan waktu 64 jam. Rekor sebelumnya, ditetapkan oleh konsultan perangkat lunak Perancis pada bulan Januari 2010, adalah sekitar 2,7 triliun digit.

Upaya menghitung pi secara lebih akurat, yang diyakini akan terus berlangsung selamanya, telah menjadi tantangan bagi para sarjana selama ribuan tahun, sejak parameter tersebut digunakan di Mesir kuno. Kondo sekarang mencoba untuk menghitung pi sampai 10 triliun digit. "Jika semuanya berjalan dengan baik, saya akan mencapai hasil itu pada Juli. Aku benar-benar menantikan itu, " katanya. (Red: taufik rachman/Sumber: antara)
Read More......

Menyentuh Kepekaan Guru pada Lingkungan

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahasiswa STKIP Kebangkitan Nasional atau Sampoerna School of Education (SSE) bekerjasama dengan The Green Teacher mengadakan Indonesian Youth Mini Conference (IYMC) 2011. Konferensi anak muda yang baru pertama digelar ini diharapkan dapat menjadi wadah bagi para aktivis muda dari berbagai daerah untuk berdiskusi, berbagi, dan saling menginspirasi mengenai lingkungan hidup.

Dilaksanakan di Gedung SSE, Jakarta, Sabtu (22/1/2011), IYMC ini mengusung tema "Youth Action for a Sustainable Future". Tiga topik utama yang diangkat adalah penemuan atau inovasi teknologi ramah lingkungan, kegiatan 3R (reuse, reduce dan recycle), serta aktivitas hijau. Pada ketiga tema ini digambarkan tentang pentingnya peran anak-anak muda untuk menciptakan masa depan cerah yang berkelanjutan.

"Kegiatan ini sepenuhnya diselenggarakan oleh mahasiswa, mereka hanya dibimbing oleh satu dosen pembimbing. Tujuannya untuk melatih kepekaan mahasiswa calon guru terhadap isu-isu lingkungan dalam dunia pendidikan dan cara pendidik berperan dalam menciptakan pembangunan yang berkelanjutan," tutur Prof Paulina Pannen, Dekan SSE kepada Kompas.com.

Kegiatan yang dimotori Yosea Kurniawan, mahasiswa SEE angkatan 2009, ini tidak hanya berupa seminar, melainkan juga Hands on Experience. Hal itu bertujuan untuk mendorong peserta berkampanye tentang lingkungan hidup melalui karya-karya kreatifnya seperti komik, drama, serta musik. Selain itu, IYMC juga menggelar sesi diskusi kelompok sebagai ajang saling mengenal dan memperluas jaringan komunitas mereka.

"IYMC mengundang anak muda Indonesia yang memiliki passion dalam penyelamatan lingkungan. Kegiatan ini memiliki dua fungsi, yaitu berbagi inspirasi dan menumbuhkan sosok inspiratif," jelas Yosea. (Penulis : Monica Dian Adelina | Editor : Latief )

Ilustrasi: Shuterstock

Ilustrasi: Inovasi teknologi ramah lingkungan, 3R (reuse, reduce dan recycle), serta aktivitas hijau dibuat sebagai tema untuk menggambarkan pentingnya peran anak muda untuk menciptakan masa depan cerah yang berkelanjutan.
Read More......

Mendiknas Minta Pejabat Tak Berorientasi Birokrasi

Jakarta --- Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh melantik pejabat eselon II lingkup Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) di Gedung Kemdiknas, Jakarta, Selasa (28/12). Pelantikan pejabat ini merupakan penataan struktur organisasi sebagai bagian dari reformasi birokrasi di lingkup kementrian ini.

Para pejabat yang dilantik antara lain adalah Abdul Apip sebagai Sekretaris Inspektorat Jenderal Kemdiknas, Nugaan Yulia Wardhani Siregar sebagai Direktur Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal Kemdiknas, Bambang Indriyanto sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemdiknas, Mustaghfirin Amin sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Kemdiknas.

Selanjutnya, Giri Suryatmana dilantik sebagai Sekretaris Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kemdiknas, Hari Setiadi sebagai Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdiknas, Murtoyo sebagai Kepala Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bisnis dan Pariwisata, dan Dedy Hermanto Karwan sebagai Kepala Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bidang Mesin dan Teknik Industri.

Dalam sambutannya Mendiknas menyampaikan, Kemdiknas bertekad untuk melakukan reformasi birokrasi. Menteri Nuh mengingatkan, Presiden dalam berbagai kesempatan menyampaikan, kesuksesan pembangunan nasional sangat ditentukan oleh kualitas sistem birokrasi. "Reformasi birokrasi bisa dilakukan dengan sukses kalau sistem birokrasi kita sudah baik," ujarnya.

Kepada para pejabat yang dilantik, Mendiknas meminta agar meningkatkan kualitas layanan kepada publik. Layanan yang diberikan tidak lagi berorientasi kepada birokrasi, tetapi berorientasi kepada publik. "Baik dan tidaknya bukan diukur dari kepuasan kita dalam memberikan layanan kepada publik tidak, tetapi lebih ditentukan oleh kepuasan publik terhadap layanan yang kita berikan," katanya.

Reformasi yang dilakukan di Kemdiknas meliputi penataan struktur organisasi dan pengisian jabatan, penguatan kualitas sumber daya manusia, pembenahan tata laksana sistem birokrasi, dan pemanfaatan teknologi untuk efektivitas dan efisiensi. "Tidak kalah penting dan memerlukan perubahan luar biasa yaitu kultur atau budaya kerja," kata Menteri Nuh.



Mendiknas juga berpesan kepada para pejabat yang dilantik. Pertama, menata niat. "Kalau niat sudah pas, maka langkah berikutnya semakin terbuka." Kedua perkuat pembentukan kepribadian. Ketiga, perkuat kerja sama dan sinergitas antarunit. Keempat dedikasikan sepenuh hati kemampuan, kecerdasan kerja keras untuk memberikan layanan yang terbaik. "Cintailah tugas dan pekerjaan ," ucapnya. (agung/ali)
Read More......

Tiga tipe kemiskinan : kemiskinan ekonomikal, kemiskinan intelektual dan kemiskinan persona

*Tiga tipe kemiskinan : kemiskinan ekonomikal, kemiskinan intelektual dan
kemiskinan personal*.

*Kemiskinan ekonomikal: angka-angka yang dikomunikasi oleh Biro Pusat
Statistik (BPS)mengenai sekitar 27 Juta penduduk Indonesia yang hidup di
bawah garis kemiskinan, masih adanya sejumlah desa tertinggal,dsb,
menunjukkan masih adanya kemiskinan ekonomikal yang melanda masyarakat kita.
*
*
*
*Bagaimana dengan kemiskinan intelektual? Ternyata hal ini pun masih melanda
sebagian masyarakat kita, ter-utama pada masyarakat pedesaan (dan terpencil)
yang jauh dari kesertaan terhadap kemajuan alam dan jaman.Tentunya hal ini
bukan berarti bahwa masyarakat kota bebas dari kemiskinan intelektual ini.*
*Apabila kita mau berbicara dengan jujur sebagian kaum terpelajar dan
masyarakat akademik pun "dijangkiti" kemiskinan tipe ini. Ambil
misal,mahasiswa baru PTN yang masih harus dimatrikulasi untuk bisa menempuh
program S1 termasuk dalam kelompok mahasiswa yang miskin intelektual. Para
calon mahasiswa program S2 atau pasca sarjana yang gagal melewati paket
"prapasca" pun sebenarnya juga termasuk dalam kelompok miskin intelektual
ini.*
*
*
*Kemiskinan personal : ditandai dengan makin banyaknya kasus-kasus kejahatan
yang terungkap, perkosaan, pembunuhan,dsb, menandakan bahwa sebagian
masyarakat kita masih "terjangkiti" kemiskinan personal.*
*Kemiskinan personal tersebut di samping dialami oleh masyarakat umum
ternyata juga dialami oleh masyara-kat terdidik, termasuk generasi muda
terpelajar yang se-cara sistematis disiapkan untuk menjadi pemimpin bangsa
di masa depan.*
*Anak-anak sekolah yang dengan bangganya melibatkan diri di dalam berbagai
kasus kenakalan remaja (jouvenile delinquency) ataupun pelanggaran seks
(sexual crime) dapat dikategorisasi sebagai kelompok siswa yang mengalami
kemiskinan personal.*
*
*
Peran guru ?
*Meski peran guru terhadap upaya mengentas kemiskinan ekonomikal boleh
dikatakan tidak signifikan tetapi tidak perlu berkecil hati karena di dalam
upaya mengetas kemiskinan intelektual dan personal justru bersifat lang sung
dan berarti.*
*Berkaitan dengan tugas guru untuk me-ngembangkan kemampuan beranalisis dan
menanamkan nilai-nilai kepribadian pada anak didik maka peran guru dalam
upaya mengentas kemiskinan intelektual serta kemiskinan personal bersifat
langsung melalui hubungan yang bertipe kan "asymmetrical relationship".*
*
*
*Siswa yang selesai dididik oleh guru secara langsung intelektualitasnya
dapat berkembang dan personalitasnya dapat pula menjadi makin mantap. Ini
berarti bahwa peran guru di dalam upaya mengentas kemiskinan intelektual dan
kemiskinan personal bersifat langsung*.

sumber
Read More......

60 Ribu Situs Porno Ditutup di China

BEIJING--MICOM: China menutup lebih dari 60 ribu situs internet porno tahun
ini dengan 5.000 di antaranya sedang dalam proses hukum.

Kepala Kantor Badan Penerangan Pemerintah Wang Chen, berjanji untuk tidak
akan menghentikan operasi melawan muatan yang dianggap cabul itu.

Beijing melancarkan tindakan perlawanan atas apa yang disebut sebagai
banyaknya muatan internet dan telepon seluler yang tidak senonoh dan kotor
di negara itu dan mengancam kesehatan emosional anak-anak.

Kritik yang menuduh pemerintah China melakukan tindakan keras dan
memperketat keseluruhan sensor yang dilancarkan pada Desember tahun lalu
itu, menyebutkan bahwa operasi tersebut menjaring banyak situs berisi muatan
politik yang sensitif atau bahkan situs yang sederhana dan umum.

Wang Chen yang juga juru bicara kabinet tersebut mengatakan bahwa operasi
itu merupakan hal yang penting.

"Operasi kami mendapat keberhasilan besar dan hal ini tidak dicapai dengan
mudah," katanya dalam konferensi pers, Kamis (30/12). Pemerintah ini
berupaya menjadikan lingkungan internet lebih bersih, yang tadinya banyak
menyediakan situs porno.

"Kami telah mengubah situasi dan hal ini telah cukup diterima banyak pihak
di masyarakat. Tapi operasi kami tidak akan berhenti, ini akan menjadi
perjuangan panjang," kata Wang.

Selama masih ada orang yang mempunyai motivasi buruk yang ingin menyebarkan
kekerasan atau informasi pornografi, pemerintah akan melanjutkan operasi
untuk menindak tegas penyebaran informasi semacam itu.

Dari 4.965 tersangka, 1.332 orang mendapatkan hukuman kriminal dengan 58
dipenjara lebih dari lima tahun. Pemerintah memeriksa 1,79 juta situs
internet dan menghapus 350 juta artikel, foto, dan cuplikan video porno dan
cabul.

China memiliki lebih banyak populasi dalam jaringan (online) dibanding
negara lain dengan perkiraan 450 juta pengguna internet hingga akhir
November.

Pemerintah kemudian khawatir kalau internet dapat menjadi kanal yang
berbahaya yang mengancam citra dan pemikiran di China.

China memblokir beberapa situs dan layanan internet populer seperti Google,
YouTuber, Twitter, Flickr dan Facebook dan juga situs China lainnya.

Pemerintah menuduh mereka mengandung muatan berbahaya untuk keamanan China
dan melanggar Undang-undang China termasuk gambar yang memperlihatkan protes
di wilayah sensitif seperti Tibet.

Wang mengatakan ia sudah membaca berita media mengenai direktur Facebook
Mark Zuckerberg yang mengunjungi China baru-baru ini namun menyebut bahwa
Zuckerberg tidak berkunjung ke departemennya yang berwenang untuk mengawasi
internet di China.

"Kami membaca berita bahwa ia bertemu dengan tokoh-tokoh terkenal di
industri internet China. Kami juga masih mencoba untuk mempelajari lebih
jauh mengenai kunjungannya ke China," tambahnya.

Google Inc, mesin pencari internet terbesar di dunia menutup layanan
pencariannya di China pada Maret, dua bulan setelah pihak Google mengatakan
akan menghentikan sensor pencarian terhadap apa yang disebut sebagai
serangan dunia maya yang rumit yang terlacak ke China dan ditambah
meningkatnya pembatasan kebebasan berekspresi di sana.

Perselisihan yang diselesaikan pada Juli setelah Google mengubah
mekanismenya dengan memandu pengguna ke mesin pencari tanpa filter. Kasus
tersebut memicu ketegangan diplomatik antara China dan Amerika Serikat
mengenai kebebasan situs internet. (Ant/Reuters/OL-11)
Read More......

BANGSA YANG TIDAK MEMBACA (4)

Di akhir tulisan sebelumnya aku menyinggung masalah "pleasure reading" -- membaca karena kita cinta atau suka, lepas dari adanya pertimbangan "untung-rugi." Pleasure reading ini hanya bisa ditumbuhkan sejak anak masih kecil, menggunakan "bakat" mereka yang innate (dari sononya) plus lingkungan yang kondusif untuk membaca (encouragement & availability of books).

Lingkungan yang "kondusif" itu bisa dimulai dari keluarga (sejak usia dini), atau diwajibkan di sekolah (tugas membaca) atau digalakkan masyarakat umum (public reading, lending library dan acara yang berkaitan dengan membaca). Ketiganya sangat penting dalam terbentuknya masyarakat yang membaca, yang otomatis merupakan masyarakat yang lebih cerdas, relatip terhadap masayarakat yang kurang atau tidak membaca.

A.A. Navis, sastrawan Minang yang tekenal dengan cerpennya yang menghebohkan "Robohnya Surau Kami" (dimuat dalam majalah Kisah, 1955), merisaukan anak sekolah dari SD sampai perguruan tinggi hanya boleh menerima, tetapi tidak diajari mengemukakan pikiran, bahkan membacapun seolah dihambat. [Buat yang belum pernah baca cerpen ini, aku punya pdf yang siap dikirim].

Navis berpendapat bahwa ini karena pembodohan yang sengaja dibuat supaya orang/rakyat tidak kritis, tidak banyak bertanya-tanya, apapun yang dilakukan oleh pemerintahnya. Dalam sebuah wawancara dia mengatakan:

"... Pelajaran sastra adalah pelajaran orang berpikir kritis. Orang berpikir kritis dan orang memahami konsep-konsep hidup. Kita baca, karya mana saja yang baik, itu berarti menyuruh orang berpikir berbuat betul. Lalu karya-karya itu konsepnya yang jahat lawan yang buruk. Dalam karya sastra bisa terjadi yang jahat itu yang dimenangkan, tapi bukan artinya sastra memuja yang jahat. Banyak karya-karya sastra di Indonesia menceritakan hal-hal orang-orang munafik. Diajarkan itu ke anak-anak tentang orang munafik di tengah masyarakat kita yang banyak munafik. Anak-anak kan jadi tajam. Oleh karena itu pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik ..."

Pertanyaanku "Apakah anda pernah membaca Siti Nurbaya" kepada orang dibawah 50 tahun itu berdasarkan ingatan bahwa sejak awal 70-an --bahkan mungkin lebih awal lagi, pertengahan 60-an-- buku sastra Indonesia TIDAK lagi menjadi bahan bacaan, rujukan, maupun secara fisik ada di sekolah. Waktu jaman SMA-ku dulu (akhir 60-an) buku-buku sastra tersebut (koleksi Balai Pustaka: Pujangga Lama, Pujangga Baru, Angkatan 45, dst) sudah tidak ada di sekolah lagi. Aku beruntung menemukan tumpukan buku-buku yang tidak pernah terbaca ini di sebuah gudang berdebu, dan terkunci. Waktu itu aku diberi tugas membersihkan gudang ini (dari pada idle karena tidak ikut pelajaran agama) -- dan sejak saat itu kalau kapas saja ada waktu kosong aku selalu pinjam kunci ke tata-usaha untuk "membersihkan" gudang ini.

Kebanyakan yang kutanya dalam survey "datuk meringgih" diatas ganti bertanya, "Kalau mau baca [Siti Nurbaya] carinya dimana, Pak?" Tentu saja aku tidak bisa menunjukkan gudang berdebu di SMA lebih dari 40 yang lalu, tetapi aku sendiri juga bertanya, dimana buku-buku sastra kita ini bisa didapat atau dipinjam, seandainya ada yang ingin membacanya? Di perpustakaan umum (public library)? Hmmmm ... waktu menginjakkan kaki kembali di Bandung tahun lalu itu pertanyaan pertama yang kuajukan, "apa sudah ada public library disini?" ... jawabannya sama seperti 40 tahun sebelumnya: mboten wonten, juragan!

Jadi, apakah sebetulnya perlu heran kalau tingkat kompetensi anak sekolah kita dalam "reading" mennurut PISA/OECD tahun 2009 adalah nomor 57 dari 65 negara. Untuk Mathematics dan Science, nomor 61 dan 60 (dari 65 negara), karena kompetensi dalam ilmu apapun tidak pernah lepas dari kompetensi membaca (ilmu itu dari buku!). Dalam 4 tahun sebelumnya posisi tersebut tidak banyak berbeda, reading competency nomor 51 dari 57 negara.

***

Salah satu syarat yang perlu (tetapi belum cukup) untuk mengangkat tingkat kompetensi bangsa ini adalah membuat buku-buku aksesibel ke anak usia sekolah dan masyarakat. Buku-buku lama (klasik) maupun buku baru. Buku baru bisa dibeli dan ditaruh di library (dapat diakses banyak orang sehingga relatip murah), buku lama bisa dicetak kembali (reprint) atau dikonversi kedalam bentuk digital -- digital library (tentu saja urusan hak-cipta harus diselesaikan dulu).

Sebetulnya konsep "digital library" dengan segala kelebihan dan kekurangannya sudah bukan barang baru lagi. Dari Project Gutenberg yang digarap oleh para volunteers, menyediakan text gratis sejak tahun 1971, dimulai oleh pendirinya, Michael Hart, dengan mengetik "Declaration of Independece" di terminal Teletype (tty), sampai dengan upaya besar-besaran (mass book digitization) yang disponsori oleh Google sejak 2004 (Google Books and Open Content Alliance) dengan menggunakan scanner modern dan proses dan software yang jauh lebih canggih.

Aku sendiri, dengan melakukan scanning dari buku-buku milik pribadi dan juga memanfaatkan hasil scanning pihak lain (google, microsoft, universities, libraries, dan private organisations or individuals) selama beberapa tahun belakangan sudah mulai membangun semacam "digital library" pribadi -- as a part of "The Lingua Project" -- khusus akan dipakai untuk mengajar bahasa Inggris dan menumbuhkan dan memelihara budaya membaca di kalangan usia dini sampai remaja (sampai akhir tahun ini, koleksinya alhamdulilah sudah mencapai angka seribu judul).

Untuk buku-buku berbahasa Indonesia (misalnya buku-buku sastra yang kubicarakan diatas), aku tidak punya resource (waktu, peralatan dan dana) dan akses kepada materialnya, tetapi kalau ada pihak yang berminat pada digitisasi "indonesian lit" ini aku bersedia bagi-bagi tips dari pengalaman melakukan hal serupa beberapa tahun belakangan ini. [Kalau mau merasakan sendiri bagaimana "involve"nya pekerjaan ini, ambil sebuah buku, scan, clean-up, edit, format ... sampai ke produk yang cukup presentable.]

Happy scanning!

\KM/
Read More......

Menghidupkan Ebtanas

Oleh Ki Supriyoko

KESEPAKATAN penting pemerintah –dalam hal ini menteri pendidikan nasional– dengan Komisi X DPR sangat menarik untuk disimak. Khususnya oleh para insan pendidikan yang tersebar di negeri ini.

Inti kesepakatan adalah hasil ujian nasional (unas) tidak menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa. Kelulusan siswa di samping ditentukan hasil unas juga dari proses pembelajaran yang dilakukan selama menempuh studi di sekolah. Proses pembelajaran tersebut dapat dicerminkan dari nilai rapor, nilai ujian sekolah, dan sebagainya.

Di luar kesepakatan tersebut, DPR berharap agar supaya proses pembelajaran pada mata-mata pelajaran di luar yang diunaskan pun ikut diperhitungkan dalam penentuan kelulusan siswa. Sementara, pemerintah berkeinginan agar hasil unas tetap diberi bobot yang tinggi dalam penentuan kelulusan siswa.

Kesepakatan pemerintah dengan DPR tersebut akan dimulai pada tahun ajaran 2010/2011 ini dan berlaku bagi satuan pendidikan yang menjalankan unas. Artinya, penentuan kelulusan siswa SMP, SMA, dan SMK yang rencana unasnya dilaksanakan pada Mei 2011 sudah harus menggunakan formula baru. Formula baru nanti memperhatikan nilai rapor dan nilai ujian sekolah sebagaimana yang diharapkan oleh DPR.



Kembali ke Ebtanas

Penentuan kelulusan siswa dengan memperhatikan proses sudah tentu bagus, bahkan menjadi kewajiban kita. Logikanya sederhana, seorang siswa layak diluluskan kalau mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Meluluskan siswa yang proses belajarnya jelek justru akan menjadi preseden buruk.

Menentukan kelulusan dengan memperhatikan nilai rapor, nilai ujian sekolah, dan hasil ujian nasional sebenarnya pernah dilakukan selama bertahun-tahun. Dahulu cara itu kita sebut dengan evaluasi belajar tahap akhir tingkat nasional atau yang dikenal dengan sebutan ebtanas.

Pada waktu itu, pemerintah menciptakan formula (asli) kelulusan siswa, yaitu N = P + Q + 3 R. N adalah nilai kelulusan, P nilai rapor semester 5, Q adalah nilai rata-rata ulangan semester 6, dan R adalah nilai ebtanas murni (NEM).

Dari formula ini dapat disimpulkan bahwa penentuan nilai kelulusan siswa dalam ebtanas sudah memperhatikan proses pembelajaran. Itu diwujudkan dalam P dan Q, di samping juga ada hasil ujian nasional, yakni R.

Penentuan kelulusan dalam unas pun sebenarnya juga (seharusnya) memperhatikan proses pembelajaran. Artinya, meskipun hasil unas seorang siswa baik, misalnya nilai ujian nasional (NUN) adalah 7,00, pihak sekolah tetap diberi hak untuk tidak meluluskan kalau siswa yang bersangkutan tidak mengikuti proses pembelajaran secara baik. Misalnya, sering tidak masuk sekolah, menjadi troublemaker di sekolah, atau tidak menghargai dan menghormati guru.

Itu teori. Praktiknya, hampir semua sekolah di Indonesia dalam menentukan kelulusan siswa cenderung mutlak pada hasil unas. Kalau hasilnya memenuhi syarat kelulusan, diluluskanlah siswa yang bersangkutan, tanpa memperhatikan lagi proses yang dijalani siswa selama mengikuti pembelajaran.

Bedanya, kalau dalam ebtanas persentase proses pembelajaran ketika penentuan kelulusan siswa diformulasikan secara jelas (nilai P sebesar 20 persen dan nilai Q sebesar 20 persen), dalam unas tidak pernah ada formulasi yang jelas. Ketidakjelasan itulah yang sering tidak diperhatikan para praktisi pendidikan di lapangan.

Bedanya lagi, kalau dalam ebtanas tidak pernah dibatasi pencapaian nilai ebtanas murni (NEM)-nya, dalam unas pencapaian minimal nilai ujian nasional (NUN)-nya sangat dibatasi. Dalam ebtanas, berapa pun rendahnya pencapaian NEM, siswa dapat diluluskan sepanjang hasil N (nilai kelulusan) memadai. Sebaliknya, dalam unas, karena pencapaian NUN dibatasi –terakhir NUN harus 5,50– siswa tidak mungkin lulus kalau NUN-nya kurang dari 5,50.



Hilangkan Kecurangan

Meskipun terdapat aneka perbedaan, ebtanas dan unas sebenarnya sama baik dan sama buruknya. Sama baiknya karena masing-masing memiliki kelebihan dan sama buruknya karena masing-masing memiliki kekurangan.

Sistem unas banyak ditentang oleh masyarakat meskipun banyak pula yang menerimanya. Ditentang karena terdapat berbagai kecurangan dalam pelaksanaannya. Misalnya, siswa yang saat ujian membawa contekan, membawa HP, menerima jawaban dari tim sukses sekolah, dan diizinkan ke kamar mandi (hanya untuk membuka catatan). Banyak pengawas yang sebenarnya tahu itu, tetapi sengaja membiarkannya karena semua pihak berkepentingan agar sekolah mencapai kelulusan yang setinggi-tingginya.

Apakah dalam ebtanas tidak ada kecurangan? Sama saja! Cara berbuat curang yang dilakukan oleh pihak sekolah pada umumnya adalah mengatrol nilai sekolah, dalam hal ini nilai P dan Q. Pengatrolan nilai P dan Q digunakan mengantisipasi kemungkinnan nilai R rendah.

Terkadang kita temui hal yang tidak masuk akal. Siswa yang bodoh justru diberi nilai P dan Q yang lebih tinggi daripada siswa yang pintar karena pencapaian nilai R siswa yang bodoh diantisipasi lebih rendah daripada siswa yang pintar. Aneh bin ajaib!

Jadi, kalau mulai tahun ini kita akan kembali ke ebtanas atau apa pun namanya, itu sah-sah saja. Tetapi, itu semua tidak akan berarti apa-apa kalau kecurangan dalam pelaksanaannya tidak dapat dihilangkan! (*)
Read More......

Mendiknas Simulasikan Nilai UN

JAKARTA – Pemerintah akhirnya menyepakati formula nilai akhir penentu kelulusan siswa sekolah ditetapkan dengan menggabungkan nilai mata pelajaran Ujian Nasional (UN) dengan nilai sekolah.

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menegaskan, nilai akhir pembobotan adalah 60 persen nilai UN ditambah 40 persen nilai sekolah. Formula ini akan digunakan pada UN tahun pelajaran 2010/2011 mendatang. Menurut Nuh, formula UN merupakan hasil kesepakatan bersama dengan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) selaku penyelenggara UN dan atas rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Dulu, UN sendiri dinilai hasilnya berapa. Kalau seorang siswa memenuhi 5,5 ke atas, lulus. Pada 2011 dikombinasikan antara ujian yang dilakukan secara nasional dengan prestasi atau capaian waktu dia sekolah kelas 1, 2, dan 3,” katanya pada jumpa pers akhir tahun di Kemendiknas, Jakarta, kemarin.

Hadir pada acara tersebut Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, Sekretaris Jenderal Kemdiknas Dodi Nandika, WKS Inspektur Jenderal Kemdiknas Wukir Ragil, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdiknas Djoko Santoso, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kemdiknas Baedhowi, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdiknas Suyanto, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdiknas Mansyur Ramly, dan Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Hamid Muhammad.

Mendiknas mengatakan, syarat kelulusan lainnya adalah nilai tiap mata pelajaran minimal 4,00 dan tidak ada ujian ulangan. “Bagi yang tidak lulus dapat mengikuti Ujian Paket C untuk SMA,” ujarnya.

Lebih lanjut, mantan Menteri Komunikasi dan Inforamatika itu mengungkapkan, seorang siswa sedikitnya harus meraih nilai 4 pada UN agar dapat lulus dengan syarat nilai ujian sekolahnya 8. Dengan menggabungkan kedua nilai tersebut, nilai akhir diperoleh 5,6 di atas nilai minimal 5,5. “Kalau nilai ujian sekolah 7 belum lulus. Nilai aman UN adalah 6,” katanya saat melakukan simulasi nilai UN.

Menurut dia, berdasarkan hasil monitoring berita selama tahun 2010, UN menempati urutan pertama dari 10 isu pemberitaan pendidikan 2010. Dia menyebutkan, jumlah pemberitaan terkait UN sebanyak 1.899 berita (20,1 persen), disusul guru 974 berita (10,3 persen), dan penerimaan peserta didik baru 537 berita (5,7 persen) berita. “Yang paling banyak urusan UN. Itu menunjukkan bahwa UN menjadi perhatian publik,” katanya.

Mantan Rektor ITS itu memaparkan capaian kinerja 2010 dan program Kemendiknas 2011. Secara umum, kata Mendiknas, serapan anggaran Kemendiknas mencapai 89,29 persen per 27 Desember 2010. Adapun anggaran Kemendiknas pada 2011 Rp55,6 triliun. “Tidak ada pengurangan dari sisi anggaran. Alokasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dikirim ke daerah,” ujarnya.

Dia menambahkan, sebanyak 20 persen anggaran APBN digunakan untuk fungsi pendidikan yang ada di 17 kementerian/lembaga. Menurut dia, anggaran fungsi pendidikan pada 2011 Rp243 triliun. Namun, anggaran tersebut tidak boleh digunakan untuk sekolah kedinasan seperti Akademi Kepolisian dan Akademi Militer. “Sekolah kedinasan tidak boleh memanfaatkan dana fungsi pendidikan,” katanya.

Anggota Komisi X DPR Raihan Iskandar menyoroti masih tingginya angka putus sekolah di tingkat SD yang mencapai 5,7 juta siswa. Sementara pada tingkat SMP ada 241 ribu siswa, serta tingkat SMA mencapai 3,8 juta siswa. “Jika dikaitkan dengan program Wajib Belajar (Wajar) Sembilan Tahun, maka ada 10.268 juta siswa. Ini akan mengancam program Wajar Sembilan Tahun,”ungkapnya.

Anggota Fraksi PKS itu menambahkan, Kemendiknas juga dinilai belum mengatasi praktik penyelewengan dana BOS dengan dugaan korupsi mencapai Rp1,2 miliar.

Temuan ini memperkuat sinyalemen yang berkembang di masyarakat tentang penggunaan dana BOS yang tidak transparan dan tidak diinformasikan ke publik. Dia juga mempertanyakan evaluasi Kemendiknas tentang rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). RSBI, ujarnya, dituding sebagai kedok berbagai sekolah untuk mengeruk keuntungan besar dengan menetapkan tarif pendidikan setinggi-tingginya. “RSBI menutup akses bagi masyarakat miskin untuk menikmati layanan pendidikan yang bermutu,” tuturnya. (neneng zubaidah/hojin/sindo) (rfa)(//rhs)
Read More......

Belajar tekstual dan faktual

Melihat dan membaca riuhnya diskusi mengenai hal-hal "sensitif" di milis,
saya jadi berpikir dan bertanya-tanya ; terlihat sekali ungkapan pendapat
seseorang (pasti) dipengaruhi oleh persepsi (dan mungkin asumsi) seseorang
pada hal tsb. Saya membayangkan otaknya bekerja keras berusaha mendapatkan
semua dasar-dasar pengetahuan, fakta-fakta, dan logika berpikirnya meramu
hal-hal tsb menjadi sebuah kesimpulan yang menurutnya mantab.

Dalam pengetahuan ada ruang yang disebut perkembangan, di mana suatu saat
"ilmu" mengalami *stressing test* di dunia nyata kemudian secara kolektif
orang akan berpikir ke arah yang kurang lebih sama untuk menemukan sebuah
"pemahaman" baru berdasarkan kaidah-kaidah dasar dan harapan. (benarkah
asumsi saya ini ??)

Saya sedang penasaran apa yang seandainya terjadi jika ruang-ruang kelas
berisi diskusi faktual mengenai masalah-masalah yang muncul pada suatu ranah
keilmuan tertentu. Ibu Aulia sudah menjawab hal ini pada postingan di subjek
lain, dan mengatakan bahwa hal tsb mungkin dilakukan. Ya, benar, sangat
mungkin dilakukan. Faktornya "pemicu"-nya hanya gurunya mau atau tidak.
Salah satu keuntungan dari diskusi adalah semua orang (termasuk guru) mau
tidak mau akan berhadapan dengan kemungkinan *extra-ordinary*, yang akan
memaksa otak untuk bersenam-ria dalam menganalisa hal-hal yang sama sekali
baru, *out of imagination*.

Ilmu-ilmu sosial jauh lebih menarik untuk didiskusikan karena sifatnya
lentur dan normatif. Bagaimana dengan ilmu-ilmu agama ? Benarkah diskusi
akan membawa pencerahan ?

Jika berkenan, saya mengajak Bapak Ibu untuk mendiskusikan tentang diskusi
faktual ilmu-ilmu sosial, agama, dan penerapannya di ruang kelas. Kita akan
coba kupas, apa saja yang akan "muncul" dari diskusi ini. Bayangkan juga,
apakah guru diizinkan mem-veto pendapat ?

Silakan ....

Salam hormat
PakPur
Read More......

*MEREKA YANG MELAYANI “NAFSU” ORANG DEWASA*

*Oleh Zulkarnaini Diran
(praktisi dan pemerhati pendidikan)*

Ia
tinggal di pinggir kota. Letak rumahnya lebih kurang dua puluh kilometer
dari pusat kota tempat ia bersekolah. Setiap hari, ia meninggalkan rumah
sebelum pukul enam pagi. Pulangnya menjelang magrib jika tidak terjebak
macet. Jika kenderaan yang ditumpanginya terjebak macet, ia baru sampai di
rumah hampir menjelang isya. Pada tahun terakhir ini, hari Minggu pun
dipakai untuk kegiatan sekolah. Pukul 07.15 sampai pukul 13.00 mengikuti
pelajaran kurikuler di sekolahnya. Sore belajar untuk program jam tambahan.
Selanjutnya tiga kali seminggu mengikuti les matematika. Dua kali seminggu
mengikuti les bahasa Inggris. Akhirnya hari-harinya benar-benar habis untuk
kegiatan yang bernama belajar.

Hampir semua anak sekolah di daerah ini bernasib seperti ilustrasi di atas.
Hari-harinya, tenaganya, dan pikirannya terkuras habis untuk mengikuti
program-program yang dirancang oleh orang dewasa. Nyaris tidak ada lagi
waktu untuk bermain, untuk bercengkerama dengan teman sebaya. Tidak ada lagi
ruang dan waktu untuk berbagi kasih dengan orang tua dan suadara-saudara di
rumah. Jika ada sedikit waktu yang tersisa di rumah masih harus mereka
gunakan untuk mengerjakan pekerjaan sekolah. Beban yang mereka pikul
melebihi kapasitas kemampuannya.

Secara formal, pemerintah sebenarnya telah menetapkan waktu belajar bagi
anak sekolah. Seusia SMP dan SMA disediakan waktu belajar 42 jam pelajaran
(satu jam pelajaran 45 menit) satu minggu. Rata-rata jam pelajaran satu hari
adalah tujuh jam. Kemudian anak sekolah dapat diberi pekerjaan rumah berupa
tugas-tugas. Tugas-tugas itu dapat diselesaikan setengah dari waktu
belajarnya di sekolah. Misalnya jam pelajaran bahasa Indonesia di SMP enam
jam pelajaran. Tugas yang boleh diberikan oleh guru bahasa Indonesia paling
banyak adalah tiga jam pelajaran. Jadi di rumah, mereka belajar separoh dari
jam yang disediakan sekolah. Akan tetapi, dengan berbagai alasan, orang
dewasa menyediakan program-program yang “luar biasa” untuk mereka.

Waktu belajar sekitar tujuh jam pelajaran di sekolah dan tiga setengah jam
pelajaran di rumah, dianggap normal dan wajar untuk usia remaja. Dengan
pengalokasian waktu belajar itu, masih ada sisa waktu dalam keseharian. Sisa
itu dapat digunakan anak sekolah untuk bermain, mengembangkan minat di
berbagai bidang. Dengan waktu yang tersisa itu mereka dapat berkesenian,
berolah raga, dan hobi lainnya. Hal itu diasumsikan akan melahirkan
keseimbangan dalam pertumbuhan pisik dan psikologis remaja. Keseimbangan
pertumbuhan itu penting untuk menghadapi masa dewasanya.

Jika waktu yang tersedia untuk belajar di sekolah dan di rumah itu digunakan
secara efektif dan efisien, diperkirakan hasilnya akan optimal. Efektifitas
pemanfaatan waktu maksudnya adalah keberdayagunaan dan ketepatgunaan.
Pembelajaran yang dilakukan guru selama satu jam pelajaran (45 menint)
benar-benar bedayaguna dan tepat guna. Waktu yang ada itu benar-benar
digunakan untuk membelajarkan anak sekolah. Tidak ada detik dan menit yang
terbuang. Tidak ada waktu yang dibiarkan berlalu tanpa bermanfaat. Tidak ada
keterlambatan memulai pelajaran, tidak ada pembelajaran yang usai sebelum
waktunya.

Sekolah yang satu shif (belajar pagi saja), rata-rata menggunakan waktu 45
menit untuk satu jam pelajaran. Sekolah yang dua shif kurang dari itu, ada
yang 40 menit dan ada yang 35 menit. Hal itu tergantung kepada kebijakan
sekolah setempat. Pada dasarnya, jika guru menggunakan kurikulum sebagai
pedoman pembelajaran, waktu yang tersedia itu cukup memadai untuk
pembelajaran. Artinya, materi pelajaran, bahan ajar, dan kompetensi yang
hendak dicapai akan selesai dengan waktu yang tersedia itu. Tentu saja hal
penting yang diperlukan adalah perencanaan pembelajaran yang aplikatif,
penyajian pelajaran yang pragmatis, dan penilaian yang valid.

Pembelajaran yang terlaksana di kelas sering tidak efektif. Efektif dalam
konteks ini adalah mangkus, berdayaguna, dan berhasil guna. Pembelajaran
yang efektif ditandai dengan anak sekolah belajar, bukan guru mengajar.
Artinya, anak sekolah melakukan aktivitas dalam bentuk berinteraksi dengan
sumber belajar dan objek belajar. Interaksi itu bernaung di bawah bimbingan,
arahan, motivasi, dan pengawasan guru. Aktivitas tersebut berorientasi
kepada tujuan yang jelas dan tegas, berlandaskan kepada indikator yang dapat
diuji. Hal itu akan melahirkan kebermaknaan bagi anak sekolah. Pembelajaran
yang bermakna itulah yang pada dasarnya yang dirindukan oleh anak sekolah.

Kebermaknaan pembelajaran ditandai dengan keterlibatan mental, emosional,
dan pisik pebelajar. Jika guru mengajar, anak sekolah jadi pendengar.
Keterlibatannya sangat tipis. Jika ceramahnya tidak menarik, mereka hanya
akan menerima dengan telinga kiri dan mengeluarkannya melalui telinga kanan.
Jika menarik, mereka akan sedikit berkonsentrasi dan sambil mencatat.
Kemudian catatan dihafal untuk menghadapi ujian. Akan lain halnya jika
mereka melakukan. “Saya lakukan saya akan mengerti, saya akan paham”, itu
antara lain ungkapan yang sering didengar.

Pembelajaran di kelas sering tidak efisien. Efisien dikaitkan dengan waktu
dan tenaga yang dikeluarkan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Hal itu
terlihat dari ketepatan waktu mulai belajar dan ketepatan waktu mengakhiri
pelajaran. Jika disiasati secara teliti, waktu yang tersedia untuk tatap
muka dengan anak sekolah di kelas, akan selalu tidak pas, selalu kurang.
Misalkan di dalam daftar pelajaran tertera dua jam pelajaran (2×45 menit).
Pertukaran jam, keterlambatan guru sampai di kelas, keterlambatan anak
sekolah mempersiapkan diri, membuat waktu yang dua jam itu telah berkurang
sekian menit. Itu kalau situasi normal. Pada situasi tidak normal kondisinya
akan lain, dan sangat lain.

Seyogiyanya bukan penyikasaan terhadap anak sekolah yang dilakukan.
Perbaikan proses pembelajaranlah yang harus dilakukan. Bukan menambah jam
pelajaran dan memforsir tenaga anak sekolah yang diperbuat, melainkan
membuat pembelajaran menjadi efektiflah yang dilakukan. Bukan dana untuk jam
tambahan yang perlu disediakan, tetapi dana untuk melengkapi srana
pembelajaran dan peningkatan komepotensi gurulah yang diperlukan. Akan
tetapi kita telah terlanjur latah, telanjur “anacak-ancak”. Orang
Minangkabau mengatakan, “*malabihi ancak-ancak, mangurangi sio-sio”.* Kita
orang dewasa telah melakukan “ancak-ancak”, kelatahan, bahkan kegilaan.
Mengapa?

Ada semacam tekanan psikologis terhadap orang dewasa yang mengurus
pendidikan. Tekanan itu bisa bersasal dari masyarakat, politisi, dan
birokrat yang lebih tinggi. Tekanan itu terjadi karena sikap dan cara
pandang terhadpa pendidikan. Dalam banyak pertemuan, seminar, dan dalam
pidato para pejabat pendidikan sering terdengar. Mutu pendidikan
diindikasikan dengan angka-angka persentase kelulusan ujian nasional.
Semakin banyak anak sekolah peserta ujian nasional yang lulus, semakin
tinggilah mutu pendikan di sekolah itu, di kecamatan itu, di kabupaten/kota
itu. Dengan semakin tingginya angka kelulusan, dianggap kepala sekolahnya
berprestasi, kepala dinasnya berprestasi dan berprestise, walikota/bupatinya
semakin berkualitas. Asumsi itulah yang membuat terjadinya tekanan
psikologis.

Bahwa anak sekolah harus lulus ujian nasional adalah merupakan kemutlakan.
Harus. Jika tidak lulus berarti gagal, tidak berhasil. Akan tetapi tujuan
pembelajaran terhadap anak sekolah bukanlah sekedar untuk lulus, melainkan
lebih luas dari itu. Kalau hanya sekedar untuk lulus ujian, mengapa harus
repot-repot. Ambil saja jalan yang praktis. Begitu anak sekolah diterima di
suatu sekolah, langsung *didril* atau dilatih tiap hari menjawab soal-soal
ujian nasional untuk dua atau tiga tahun terkahir. Kalau tiga tahun berlatih
menyelesaikan soal yang sudah diujikan, dapat diberi jamainan angka lulus
akan sangat tinggi. Bahkan untuk menyatakan lulus sertus persen sudah dapat
dijamin. Akan tetapi, apakah memang anak sekolah belajar hanya untuk
mendapat sertifikat lulus ujian nasional? Inilah masalahnya.

Tujuan pendidikan nasioanl tertuang di dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuan
pendidikan di tingkat satuan pendidikan (sekolah) dicantumkan di dalam
peraturan pemerintah tentang pendidikan itu (dasar, menengah, atau tinggi).
Tujuan pembelajaran untuk setiap mata pelajaran biasanya dicantumkan di
dalam keputusan menteri atau pertauran menteri. Keputusan atau peraturan itu
biasanya mengatur tentang kurikulum yang berlaku. Penjelasan lebih rinci
tentang tujuan pembelajaran tiap mata pelajaran dapat dilihat pada kuriklum
setiap mata pelajaran. Selain itu, standar kelulusan dicantumkan di dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Jika perangkat-perangkat hukum itu dipedomani, tentu tidak akan
terjadi salah persepsi dan salah resepsi tentang tujuan pendidikan dan
tujuan pembelajaran.

Orang dewasa boleh saja bernafsu tinggi untuk meningkatkan angka kelulusan,
persnetase kelulusan untuk ujian nasional. Akan tetapi, mereka tidak boleh
mengorbankan hal-hal prinsip dalam pendidikan. Hal prinsip itu misalnya
aspek pedagogis. Anak sekolah bukan alat mekanik yang dapat distel secara
otomatis untuk menjawab pertnayaan-pertnayaan ujian nasional. Mereka
bukanlah benda mati yang dapat diperlakukan dan dibentuk menurut kemauan
“nafsu” orang dewasa. Mereka adalah anak manusia yang memiliki minat, bakat,
aspirasi, dan aspek psikologis lainnya. Hal itu harus tumbuh dan berkembang.
Harus tersalur secara wajar di dalam ruang dan waktu. Harus tumbuh secara
alami dalam kewajaran. Akan tetapi, akibat “nafsu” orang dewasa, hal itu
mulai tersendat, macet, bahkan terhenti.

Pemaksaan demi pemaksaan dirasakan oleh anak sekolah. Khususnya anak sekolah
yang akan mengikuti unjian nasional. Penambahan jam pelajaran yang melebihi
kemampuan anak sekolah dilakukan. Guru-guru dipaksa (sekurang-kurangnya
merasa terpaksa) untuk mengajar di luar kemampuan tenaganya. Meskipun
disediakan pembayaran ala kadarnya, guru tetap saja merasa tersiksa
melakasnakan tugas. Orang tua anak sekolah harus membayar tambahan untuk jam
tamabahan, yang kadang-kadang pertanggungjawabannya tidak jelas. Hal ini
seolah-olah berjalan normal, padahal sudah di luar kepatutan dan kepantasan.
Anak sekolah tidak sempat menyampaikan keluhannya kepada guru dan orang tua.
Guru tidak berani menyampaikan deritanya kepada kepala sekolah dan kepala
dinas. Orang tua tidak sempat lagi mengeluh kepada walikota atau bupati.
Akhirnya, anak sekolah, guru, dan orang tua anak sekolah terpaksalah
melayani “nafsu orang dewasa”.

Apakah orang-orang bernfasu ini memiliki kesadaran tentang makna pendidikan
dan pembelajaran? Sepertinya tidak. Sebagian dari mereka dengan rasa bangga
mempublikasikan melalui surat kabar. “Untuk meningkatkan hasil UN
dilaksanakan jam tambahan”. Ada juga pejabat pendidikan yang mengeluarkan
surat perintah resmi untuk kepala sekolah agar membuat jam tamabahan.
Bahkan, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat, menganggarkan melalui APBD
untuk hal itu. Tentu saja hal yang seperti itu bukanlah kesalahan, bukan
kekeliruan. Akan tetapi, dengan tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan
dalam memforsir anak sekolah untuk pemuasan nafsu orang dewasa, inilah yang
agaknya sesuatu yang perlu dipetimbangkan lagi pada masa yang akan datang.
Sehingga kesan tentang kelatahan dan “ancak-ancak” dalam mengelola
pendidikan dapat dikurangi. Tentu saja hal itu akan berpulang kepada
orang-orang dewasa yang memiliki nafsu belebihan. (Zulkarnaini Diran,
pemerhati dan praktisi pendidikan, tinggal di Padang)
Read More......

2011, lalulintas masuk kurikulum

MEDAN - Untuk menerapkan kesadaran berlalulintas bagi para siswa di seluruh
sekolah di Sumatera Utara, Dinas Pendidikan (Disdik) Sumatera Utara akan
memasukkan pelajaran lalu lintas dalam kurikulum sekolah tahun depan.

“Kami akan meningkatkan pelajaran tertib lalu lintas di kalangan pelajar dan
itu akan dibuat dalam kurikulum lokal tahun depan,” ujar Kepala Dinas
Pendidikan Sumut Syaiful Syafri, tadi pagi.

Syaiful menyebutkan pelajaran tertib lalu lintas ini sangat penting dan
mendesak untuk dilakukan. Selama ini dari 1.000 korban kecelakaan lau
lintas,80% di antaranya merupakan pelajar.

Untuk itulah, maka Sumut sangat perlu mengimplementasikan kesepakatan tadi.
Setidaknya, pelajaran tertib lalu lintas harus menjadi pelajaran wajib bagi
siswa. Apalagi dari data kasus kecelakaan lalu lintas pada 2010,tercatat
sebanyak 3.133 kasus dengan korban meninggal dunia 1.455, luka berat
2.294,luka ringan 2.428,serta kerugian material Rp8,75 miliar. “Awal Januari
2011, buku muatan lokal untuk tingkat TK,SD,SMP dan SMA akan kita siapkan.

Yang menyiapkan tentu Direktorat Lalin untuk pegangan guru, kemudian
melakukan workshop,”jelasnya. Dengan masuknya tertib lalu lintas dalam
kurikulum sekolah maka diharapkan nantinya dapat memperbaiki perilaku dari
siswa supaya mengerti bagaimana berprilaku tertib lalu lintas. Syaiful juga
menyatakan, nantinya setelah buku sudah ada secara umum,kemudian para guru
akan diundang untuk mensosialisasikan buku pegangan tentang muatan lokal
tertib lalu lintas tersebut.

Akan kami workshop-kan, dan Januari kami laksanakan sosialisasi. Pada awal
tahun ajaran baru, pelajaran Lalin masuk kurikulum sekolah,”jelasnya.

Editor: SASTTROY BANGUN(dat01/wol)
Read More......

Agil H. Ali: Ibu Ialah Guru Besar meski Buta Huruf

Oleh Eko Prasetyo,

editor Jawa Pos



Ibu, kalau aku ditanya siapa pahlawanku

Namamu, Ibu, ’kan kusebut nomor satu

Karena aku tahu engkau adalah ibuku

Dan aku adalah anakmu.

– Penyair Zawawi Imron



Puisi di atas ditulis Zawawi Imron pada 1960-an dan entah sudah berapa ratus kali dibacanya. Setiap membacanya, ia melakukannya dengan takzim dan tak jarang menangis.

Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia yang berkaliber internasional, adalah contoh lain penyanjung sosok ibu. Karya-karyanya banyak diwarnai kisah-kisah yang melukiskan penghormatan yang tinggi kepada figur ibu. Termasuk, ibunya sendiri. Kekaguman tersebut dibungkusnya dalam cerita fiksi. ”Saya belajar kemandirian dan kejujuran dari ibu saya,” kata Pramoedya suatu ketika.

Bahkan, kata Pram, setelah ibunya meninggal ketika Pram masih sangat muda, dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar ia bertemu almarhum ibunya di bawah sebuah pohon mangga. Ketika Pram ingin mengambil buah mangga yang menggelantung di pohon, sang ibu menahannya.

”Jangan pernah mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya. Kalau kamu menginginkan sesuatu, kamu harus memperolehnya dengan keringatmu sendiri. Kamu harus bekerja,” kata Pram menirukan pesan ibunya sebelum bayangan sang ibu lenyap.

Tak sedikit pula pemimpin besar bangsa yang memuja ibu. Kaisar Prancis Napoleoon Bonaparte, misalnya. Ia sering mengungkapkan pujian-pujiannya kepada sang ibu. Demikian pula Soekarno, proklamator RI. Sang ibunda pula yang memberikan pangestu (restu) dan menjuluki Soekarno kecil sebagai putra fajar.

***

Agil H. Ali. Insan pers nasional pasti tidak asing dengan nama tersebut. Dia dikenal sebagai wartawan senior yang ulung, lihai dalam berorasi sekaligus tulisannya sangat bagus. Pengakuan tersebut dilontarkan oleh para tokoh seperti Prof Sam Abede Pareno, wartawan senior Zaenal Arifin Emka dan Djoko Pitono, serta sastrawan yang juga guru besar (gubes) IKIP Surabaya (kini Unesa) Prof Budi Darma.

Agil dikenal sebagai laki-laki yang pintar menulis sekaligus orator ulung. Sedemikian besarnya daya tarik Agil ketika berbicara dan memengaruhi media massa, dua jenderal terkemuka pada masanya, Jenderal Soemitro dan Jenderal Ali Moertopo, merasa perlu mengundang Agil untuk bertemu.

Para duta besar negara-negara kaya bergantian mengundang Agil untuk melakukan kunjungan jurnalistik ke negeri mereka. Agil pernah menjabat sebagai ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dalam dua kali periode, pengurus Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), dan anggota MPR.

”Ia memang pandai sekali berpidato. Pidato-pidatonya selalu menarik. Jarang saya menemui orang yang pintar bicara seperti Pak Agil,” kata Prof Budi Darma PhD.

Menurut gubes Unesa Prof Sadtono, orang-orang yang pintar berpidato dan menulis seperti Soekarno dan John F. Kennedy jelas adalah orang yang punya bakat besar dalam bahasa. ”Bakat itu adalah anugerah Tuhan kepada seseorang yang tak bisa dipelajari semua orang,” ujar Sadtono.

Agil adalah pendiri tabloid Mingguan Mahasiswa (1970-an) dan Mingguan Memorandum hingga menjadi koran harian (Memorandum, salah satu koran kriminalitas terbesar di Surabaya). Korannya telah menumbuhkan entah berapa ratus wartawan yang kini tersebar di berbagai media massa, termasuk radio dan televisi.

Kendati dikenal sebagai tokoh publik, Agil tak pernah lupa melontarkan kekagumannya kepada sang ibunda. Dalam berbagai kesempatan, ia selalu memuji peran ibunya.

Agil pernah mengatakab bahwa ibundanya, Raden Ayu Syarifa Nur, sebenarnya perempuan yang buta huruf. Meski demikian, Agil mengaku belajar bahasa dan sastra dari ibunya. Kok bisa? ”Mengapa tidak, justru inilah yang luar biasa,” tegas Agil.

Dia mengatakan, kendati buta huruf, ibunya sering ”membaca” berbagai buku. Caranya, meminta anak perempuannya, kakak kandung Agil, untuk membacakannya. Buku sastra terkenal seperti novel karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wick, dilahapnya.

Suatu ketika, Syarifa, ibunda Agil, bahkan ”menyelamatkan” Agil. Kisahnya, pada paro kedua 1960-an, Agil mendapatkan beasiswa ke Amerika Serikat. Dia mengutarakannya kepada orang tuanya. Agil mengatakan dengan tegas ingin kuliah di Negeri Paman Sam agar nanti bisa berkeliling dunia.

Tak disangka, sang ibu melarang. Dia cemas anaknya nanti terpengaruh budaya ”bebas” di sana. ”Tidak, kamu tidak perlu sekolah di Amerika. Sekolah di tanah air saja. Kalau sekadar berkeliling dunia, kamu nanti pasti bisa,” ucap Agil menirukan perkataan ibundanya.

Kata-kata ibunya kemudian terbukti di kemudian hari. Setelah menjadi wartawan dan memimpin surat kabar, Agil sering bepergian ke luar negeri. Sejak 1970-an, undangan jurnalistik sering diterimanya dari Amrika Serikat, Jerman, Jepang, dan lain-lain. Ia pun sering diundang untuk menghadiri pertemuan pers internasional.

”Hingga kini saya tidak paham benar kekuatan apa yang dimiliki ibu saya. Kata-katanya yang bernada ramalan itu ternyata terbukti. Mungkin karena ibu saya benar-benar dicintai Allah lantaran sering mengagungkan kebesarannya setiap saat,” tutur Agil.

Dia masih ingat saat pulang dari lawatan pertamanya ke Amerika pada awal 1976. Ketika itu dia mengikuti prgram student leader selama hampir dua bulan. Laporannya di Mingguan Mahasiswa, yang diakuinya sebagai salah satu ulisan terbaiknya, di antaranya berjudul Langit di Atas Arizona Juga Langitku.

”Bagaimanapun, tulisan-tulisan saya itu adalah hasil ajaran ibu. Ibu saya adalah guru besar saya meski buta huruf,” tegasnya.

Istri Agil, Dr Mangestuti, mengatakan bahwa kecintaan Agil terhadap sang ibu memang luar biasa. Agil dikatakannya selalu membanggakan jerih payah sang ibu dalam membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Ibu dikatakan sebagai wanita yang pandai, berani, pemurah, dan sangat menghargai tamu. ”Sifat ibu itu melekat erat dalam diri Agil. Ia selalu menjamu tamu yang datang ke rumahnya dengan sangat istimewa,” kata Mangestuti.



Surabaya, 2 Januari 2011
Read More......