Bahasa dan Mentalitas oleh Bagus Takwin
Oleh BagusTakwin*
TEMPO 20 Maret 2011
BAHASA mencerminkan pikiran. Banyak ahli menegaskan ini. Tapi bahasa juga
mencerminkan mentalitas: kecenderungan pribadi, kekayaan pengalaman, dan
kepekaan sosial. Pilihan dan susunan kata, juga waktu dan tempat
penyampaian, bisa jadi indikator dari pengalaman seseorang berinteraksi
dengan banyak kalangan, juga seberapa jauh ia terlibat dengan banyak ihwal.
Kita bisa menakar, misalnya, pengalaman dan kepekaan sosial seorang pejabat
publik yang berkata, "Pulau kesapu dengan tsunami, ombak besar, konsekuensi
kita tinggal di pulaulah.... Kalau tahu berisiko pindah sajalah...," ketika
Mentawai baru saja mengalami bencana tsunami. Juga pejabat yang bilang,
"TKI-PRT telah membuat citra Indonesia buruk," ketika ada banyak TKI yang
telantar di luar negeri.
Bahasa mensyaratkan intensionalitas, keterarahan untuk mencapai kesesuaian
antara keadaan mental dan dunia. Intensionalitas mengarahkan orang melalui
bahasa untuk memaknai, dalam arti menjadikan dunia, juga diri sendiri, bisa
dimaknai. Intensionalitas adalah struktur dari kesadaran manusia yang
memberi makna kepada pengalaman dan meleluasakannya membuat keputusan.
Cara dan isi pengarahan dipengaruhi latar belakang mental yang berisi
serangkaian pengalaman, pengetahuan, kemampuan, dan kecenderungan-
kecenderungan pribadi lainnya, seperti nilai, sifat, dan motif. Dengan itu,
ketika seorang guru berkata "catat kata-kata saya", kita tahu perlu
menggunakan alat tulis untuk mencatat, atau ketika seseorang berkata
"telepon sekretaris saya", kita tahu perlu menggunakan telepon meski
permintaan itu tidak mengandung penjelasan rinci. Latar belakang mental
membangun jejaring unsur mental yang niscaya dibutuhkan untuk menentukan
kebermaknaan obyek-obyek yang kita temui.
Latar belakang dan jejaring mental dibentuk melalui pengalaman. Keduanya
menentukan kekayaan pemaknaan. Semakin sering seseorang bertemu dengan
hal-hal yang ada di dunia, semakin banyak kemungkinan pemaknaan yang bisa
dirumuskannya. Semakin beragam unsure mental seseorang, semakin kaya luas
dan terbuka pikirannya.
Intensionalitas mengarahkan orang untuk menampilkan tindakan berbahasa
sebagai perpanjangan dari kecenderungan-kecenderungan dalam diri, khususnya
kecenderungan memaknai apa yang ada di dunia. Isi pemaknaan dipengaruhi oleh
latar belakang dan jaringan unsur- unsur mental. Ketika bencana alam di
sebuah pulau dimaknai sebagai hal wajar dengan latar belakang mental yang
miskin tentang bencana, bahasa mengungkapkan itu sebagai "konsekuensi kita
tinggal di pulaulah...".
Usaha pengarahan agar keadaan mental sesuai dengan dunia
diungkapkan dengan "...pindah saja- Iah". Ujaran semacam itu menunjukkan
sempit dan sederhananya jaringan unsur mental terkait bencana.
Di Indonesia, cukup sering kita temui pernyataan yang mencerminkan
ketakpekaan dan kecenderungan pengujarnya menggampangkan persoalan karena
miskinnya pemaknaan. Contohnya, selain pernyataan tentang tsunami dan TKI
tadi, komentar seorang pejabat publik tentang letusan Gunung Merapi sebagai
azab karena mendustakan ayat-ayat Tuhan, juga "...agar mudah diingat
singkatannya adalah AIDS=Akibat Itunya Dipakai Sembarangan". Lepas dari apa
maksud sadar penyampaiannya, pernyataan-pernyataan itu menyakiti hati banyak
orang.
Berdasarkan intensionalitas bahasa dan kaitannya dengan latar belakang dan
jaringan mental, kita dapat menganalisis ucapan-ucapan pejabat yang saya
petik tadi. Pernyataan terkait tsunami memberi petunjuk kepada kita tentang
beberapa kemungkinan kecenderungan pribadi orang yang mengemukakannya, di
antaranya (1) kecenderungan menganggap enteng bencana, termasuk tsunami; (2)
kecenderungan menghindari tanggung jawab untuk menangani secara
sungguh-sungguh kejadian buruk, seperti bencana tsunami; dan (3)
kecenderungan melakukan pembenaran terhadap kelalaian menangani dampak
bencana. Sedangkan pernyataan tentang letusan Gunung Merapi dan AIDS
mengindikasikan kurangnya empati dari orang yang mengucapkannya. Jika
pernyataan sejenis itu sering diulang, bisa dicurigai adanya kecenderungan
sistem pikiran yang tertutup dan sempitnya ruang lingkup interaksi sosial si
pengujar. Kita bisa menduga para pengujarnya jarang punya pengalaman
bertukar peran yang menuntutnya menggunakan beragam sudut pandang dalam
memahami persoalan. Latar belakang dan jejaring mentalnya miskin.
Bisa jadi para pejabat yang melontarkan pernyataan-pernyataan tak peka itu
mengaku tak sengaja atau tak berniat menyakiti orang lain. Tapi,
ketidaksengajaan pun bisa mengindikasikan kemiskinan, baik dalam kemampuan
berbahasa maupun kepekaan sosial. Kemampuan berbahasa, termasuk ketepatan
menyampaikan pernyataan dalam situasi tertentu, mencerminkan kompetensi
seseorang. Di Indonesia, ada banyak pejabat yang tindakan berbahasanya
mengindikasikan rendahnya kompetensi dan kepekaan sosial mereka.
*)Dosen Fakultas Psikologi. UI dan
Redaktur srimulyani. net
0 komentar:
Posting Komentar