Lulus Sertifikasi Guru Tak Jamin Mutu Guru

Program sertifikasi guru dengan model portofolio yang dilaksanakan Pemerintah sejak tahun 2006 lalu pada kenyataan tidak menjamin peningkatkan kualitas guru. Meski hasil penilaian portofolio dinyatakan lulus, namun tidak serta merta mampu meningkatkan kompetensi guru tersebut.


Hasil kajian yang dilakukan Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas tahun 2008 menunjukkan, meski telah lulus sertifikasi, namun tetap tidak mampu mendongkrak kompetensi guru. Bahkan, tak sedikit guru yang nilai kompetensinya terus menurun.
"Kenyataan itu menunjukkan bahwa program sertifikasi guru yang telah dimulai sejak tahun 2006 itu tidaklah cukup sebagai upaya mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru. Bahkan sekalipun guru telah menerima tunjangan profesi bukan berarti mereka telah memilkiki kompetensi yang dipersyaratkan undang-undang, " kata Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas, Baedhowi.
Kondisi tersebut terjadi karena banyak faktor, utamanya guru mengikuti program sertifikasi berkaitan dengan masalah finansial. Saat guru yang masuk dalam kuota mengikuti program sertifikasi dinyatakan lulus, maka tunjangan profesi sebesar satu kali gaji akan diperoleh guru tersebut.
Fenomena tersebut terlihat sejak pemerintah pada tahun 2006 mulai menerapkan kebijakan sertifikasi guru, maka bersamaan dengan berlakunya kebijakan itu semakin banyak guru khususnya guru tingkat sekolah dasar (SD) yang beramai-ramai melanjutkan pendidikan demi meraih ijazah sarjana (S1) yang menjadi salah satu persyaratan untuk mengikuti program sertifikasi.
Efeknya banyak guru yang panik dan kemudian secara "sembarangan" mencari perguruan tinggi yang ada di daerahnya masing-masing agar bisa melanjutkan pendidikannya dan secara cepat bisa meraih gelar sarjana tanpa memperdulikan kualitas pendidikan sarjana yang diperolehnya.
Kalangan guru mengakui cara tersebut semata-mata agar bisa lolos tahapan untuk memenuhi pesyaratan seleksi sertifikasi guru dengan model portofolio.
"Kebanyakan dorongan utama untuk melanjutkan kuliah hanya untuk mengejar sertifikasi guru, bukan peningkatan kualitas guru. Dengan memegang ijasah S1, berarti guru sudah memenuhi syarat untuk ikut sertifikasi guru kalau lolos, maka akan ada penambahan gaji pokok 100 persen," kata Ida Kastiargo, Kepala Sekolah SD Negeri 05 Cipinang Jakarta Timur.
Terkait dengan peningkatan kualitas guru setelah menyandang gelar sarjana, ujar Ida hal itu masih perlu dipertanyakan sebab perguruan tinggi yang dipilih pun tidak jelas statusnya.
Dalam kondisi normal tanpa ada iming-iming penambahan tunjangan profesi melalui program sertifikasi, kualitas mengajar kebanyakan guru masih perlu dipertanyakan. Dari sekitar 2,6 juta guru hanya sebagian kecil saja yang sudah menyandang gelar S1 bidang yang relevan dengan latar belakang profesinya, bahkan sebanyak 1,2 juta di antaranya adalah guru sekolah dasar (SD) yang sebagian besar belum memiliki pendidikan sarjana (SI).
Guru Besar dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof Nanang Fatah menyatakan hampir separuh dari sekitar 2,7 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar karena kualifikasi dan kompetensinya tidak sesuai. Hal tersebut dapat menjadi salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di negeri.
Kondisi rendahnya kualitas para guru pun tidak lepas dari kondisi sosial, ekonomi dan geografis yang heterogen kemudian memunculkan kisah ironis terkait program sertifikasi, seperti ruang kuliah yang setiap akhir pekan dipenuhi oleh para "orang tua" alias guru-guru senior, rata-rata guru tersebut bertugas di desa sehingga terpaksa harus mencari tumpangan sana sini serta banyak guru yang mengalami masalah konsentrasi saat kuliah berlangsung akibat terlalu banyak pikiran.
Tantangan
Hasil kajian Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas tahun 2008 menunjukkan, meski lolos sertifikasi, nilai kompetensi guru rata-rata di angka kisaran 52-64 persen. Bahkan, tak sedikit guru yang nilai kompetensinya terus menurun.
Adapun kompetensi yang dinilai pada kajian itu, antara lain, kompetensi pedagogik yang terkait dengan kemampuan mengajar, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Rata-rata nilai untuk kompetensi pedagogik para guru yang lolos sertifikasi sebesar 54,33 persen, nilai kompetensi kepribadian 52,37 persen, kompetensi profesional 64,36 persen dan kompetensi sosial sebesar 53,92 persen.
Kajian tersebut menyatakan guru yang dinyatakan lulus sertifikasi melalui penilaian portofolio menunjukkan tidak meningkat kinerjanya. Bahkan, sebagian guru menunjukkan adanya penurunan kinerja.
Dirjen Peningkatan Mutu dan Tenaga kependidikan( PMPTK) Depdiknas, Baedhowi mengakui kondisi tersebut sebagai tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah, yakni bagaimana meningkatkan nilai kompetensi guru-guru yang telah lolos sertifikasi.
Menurut Baedhowi sebenarnya hasil kajian tersebut merupakan kenyataan yang ada di lapangan. Dimana hampir 98 persen guru yang mengikuti sertifikasi dikarenakan alasan finansial.
Kenyataan ini menunjukkan proses sertifikasi saja tidaklah cukup sebagai upaya meningkatkan kompetensi guru. Bahkan meski mereka telah menerima tunjangan profesi, bukan berarti mereka telah memiliki kompetensi yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, katanya.
Kondisi itu terlihat sangat wajar jika melihat latar belakang pendidikan guru. Baedhowi menyebutkan dari sekitar 2,6 juta guru pegawai negeri sipil (PNS), baru sekitar 40 persen yang memiliki kualifikasi pendidikan diploma 4 atau sarjana (S-1). Sedangkan sisanya sebanyak 60 persen memiliki kualifikasi di bawah D-4 atau S-1.
Sebanyak 60 persen dari 2.607.311 tenaga pendidik di Indonesia baik guru taman kanak-kanak (TK), pendidikan dasar dan menengah negeri maupun swasta belum memenuhi standar kualifikasi akademik.
"Dari 2.607.311 guru itu baru sekitar 1.043.000 (40 persen) yang telah menyelesaikan pendidikan diploma empat atau sarjana (S 1). Sedangkan sisanya yang berjumlah sekitar 1.564.311 orang (60 persen) belum memiliki latar belakang pendidikan diploma empat atau sarjana," ujarnya.
Pemerintah mengalokasikan dana yang cukup besar untuk program beasiswa bagi para guru yang ingin meningkatkan kualifikasi pendidikannya hingga S-1. Namun, karena jumlah yang perlu dibantu sangat banyak, prosesnya dilakukan secara bertahap karena keterbatasan dana pemerintah, tuturnya.
Guru yang sekarang ini belum memiliki latar belakang pendidikan diploma empat (D4) atau sarjana (S1) agar melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang terakreditasi.
"Bagi guru yang melanjutkan studi harus di perguruan tinggi yang telah terakreditasi, sebab kalau mereka itu asal melanjutkan, ijazahnya tidak akan diakui," katanya.
Untuk pelaksanaan peningkatan standar kualifikasi akademik guru ini telah dilakukan kerja sama dengan 81 perguruan tinggi negeri maupun swasta yang tersebar di seluruh tanah air.
"Silakan bagi para guru yang belum memiliki latar belakang pendidikan D4 atau S1 untuk ikut masuk program pendidikan tersebut di perguruan tinggi yang telah ditunjuk, agar tidak keliru di kemudian hari," katanya.
Namun demikian, menurut Baedhowi terpenting yang harus dilakukan adalah mengubah mindset guru bahwa sertifikasi harus dilihat sebagai upaya untuk mengukur dan meningkatkan kompetensi mereka, tak semata-mata disikapi sebagai upaya memperoleh peningkatan kesejahteraan.
Oleh sebab itu, pihaknya akan terus mendorong para guru untuk meningkatkan kompetensi pasca sertifikasi. Kedua paradigma berpikir guru itu sebenarnya harus ditanamkan pada guru jauh sebelum proses sertifikasi agar tidak terjadi rekayasa yang tidak dibenarkan.
Realita kompetensi guru pascasertifikasi yang belum menunjukkan adanya peningkatan seperti yang diharapkan, seharusnya tidak dianggap sebagai masalah melainkan tantangan terutama bagi guru.
Untuk mewujudkan guru yang benar-benar profesional dan kompeten pasca sertifikasi, ujarnya dilaksanakan melalui Program Peningkatan Profesionalisme Berkesinambungan (Continuous Professional Development/ CPD).
Program tersebut telah diterapkan banyak negara maju dan berkembang, dan diyakini cukup efektif dalam memelihara dan meningkatkan profesionalisme dan kompetensi guru.

Sumber Antara

0 komentar:

Posting Komentar