"Brain Gain" Ilmuwan China dan Nasib Eijkman
Rabu, 13 Januari 2010 | 03:43 WIB
Ketika menonton DVD film Cuba produksi tahun 1979 yang dibintangi aktor Sean Connery, masih terngiang ucapan "kita membutuhkan otak" yang diucapkan Fidel Castro saat diktator Presiden Fulgencio Batista menyingkir meninggalkan Bandara Havana pada awal tahun 1959. Itu diucapkan Castro untuk mencegah pembantaian tentara pendukung Batista.
Tak urung ribuan ilmuwan, dokter, dan warga terdidik Kuba lari ke Amerika Serikat. Kuba pun mengalami brain drain. Namun, riset dasar biologi molekuler dan terapannya di Kuba kini berkembang pesat dan bermuara pada temuan aneka produk bioteknologi farmasi.
China dan India pun sudah berdekade-dekade mengalami brain drain seperti Kuba pasca-Revolusi Castro. Namun, situasi mulai berbalik di kedua negara itu menyusul peningkatan luar biasa ekonomi mereka. Fenomena kebalikan brain drain ini dapat disebut sebagai brain gain.
Khusus untuk China, simak saja laporan International Herald Tribune (7/1/2010) di halaman 1 yang berjudul "China's Prodigal Scientists Return". Salah satu ilmuwan asal China yang memperoleh posisi amat terhormat di AS, tetapi rela balik ke negeri asalnya adalah Shi Yigong (42).
Ia adalah ahli biologi molekuler Universitas Princeton. Riset Shi tentang bagaimana sel-sel yang rusak atau tak berguna mati secara alami telah membuka suatu jalur baru riset di bidang pengobatan kanker. Karena itu, ketika tahun 2008 ia diumumkan memperoleh dana hibah riset sebesar 10 juta dollar AS dari Howard Hughes Medical Institute di Maryland yang amat prestisius, para ilmuwan AS tak ada yang kaget. Orang baru amat kaget saat mengetahui bahwa Shi menolak dana riset itu dan mengundurkan diri sebagai dosen Princeton untuk menjadi Dekan Fakultas Sains Universitas Tsinghua di Beijing.
Padahal, Shi sudah menjadi warga negara AS dan tinggal di negara itu selama 18 tahun. Apalagi, sebagai mahasiswa Universitas Tshinghua, Shi pada tahun 1989 ikut dalam demo prodemokrasi di Lapangan Tiananmen. Karena itu, tak heran jika kecurigaan dan kecemburuan terhadap Shi tetap ada. Untunglah, Mei 2008, Shi diundang bicara tentang masa depan sains dan teknologi China di depan Wakil Presiden Xi Jinping dan para petinggi pemerintah di Zhongnanhai, kantor pusat pemerintah dan Partai Komunis RRC.
Selain Shi Yigong, masih ada lagi Rao Yi (47) ahli biologi yang pada tahun 2007 meninggalkan Universitas Northwestern untuk memimpin departemen sains di Universitas Beijing. Ada pula Wang Xiaodong, seorang peneliti Southwestern Medical Center Universitas Texas di Dallas, yang hijrah ke Lembaga Ilmu-ilmu Biologi Nasional di Beijing.
Kebetulan Pemerintah China juga menggenjot dana riset di dalam negeri. Tak heran jika dalam satu dekade terakhir jumlah publikasi ilmiah ilmuwan China berlipat empat kali, hingga tahun 2007 jumlahnya menduduki peringkat kedua setelah AS. Sekitar 5.000 ilmuwan China terlibat dalam riset nanoteknologi, ini menurut buku baru China's Emerging Technological Edge yang ditulis Cong Cao dan Denis Fred Simon, dua peneliti tentang China yang berbasis di AS.
Perlunya "critical mass"
Tentang baliknya ilmuwan seperti Shi Yigong dan Rao Yi ke China, Cong Cao berkomentar, "Perjuangan mereka pasti amat berat, seperti pertempuran mendaki bukit. Mereka adalah ilmuwan-ilmuwan hebat. Namun, mereka harus menciptakan suatu critical mass untuk mereformasi sistem. Jika mereka tidak melakukan reformasi, mereka akan hengkang lagi."
Menciptakan critical mass; itulah yang dilakukan Shi di Tsinghua. Kurang dari dua tahun ia sudah menarik 18 orang pascadoktor, hampir semuanya dari AS. Dalam satu dekade ia berharap kekuatan staf Fakultas Sains Tsinghua akan berkembang empat kali lipat.
Tentang reformasi birokrasi di bidang sains di China, itulah pula yang diteriakkan Rao Yi. Ia bahkan mengusulkan, kalau perlu, Kementerian Ristek China dibubarkan.
Menurut Prof Dr Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Pemerintah China dengan kemampuan finansialnya yang amat kuat memang secara terencana memanggil balik warga terdidik kelahiran China yang menetap di luar negeri. "Jika para ilmuwan AS asal China banyak yang balik ke China, ini akan menjadi malapetaka bagi dunia ilmu AS," katanya.
Bagaimana dengan nasib Lembaga Eijkman sendiri? Seperti halnya Shi Yigong, Sangkot yang sudah mapan di Universitas Monash, Australia, pada tahun 1993 rela balik ke Jakarta untuk menghidupkan Lembaga Eijkman setelah bertemu dengan Menristek BJ Habibie tahun 1990. "Tahun 1995, ketika Eijkman diresmikan oleh Presiden Soeharto, dijanjikan akan dijadikan Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND), tetapi sampai sekarang belum juga terwujud. Mudah-mudahan Eijkman akan menjadi LPND karena sudah didukung oleh Menristek dan Menkes yang baru," tuturnya.
Lembaga Eijkman ketika mulai beroperasi tahun 1995 mempunyai 75 peneliti dan diproyeksikan tahun 2000 akan menjadi 150 peneliti. Namun, krisis ekonomi tahun 1998 membuat Eijkman sempat mengalami brain drain dan tahun 2004 nyaris ditutup karena minimnya anggaran. Syukurlah bom di depan Kedubes Australia, Jakarta, tahun 2004 menyelamatkan Eijkman karena terbukti para ilmuwannya mampu dalam tempo 13 hari mengidentifikasi Heri Golun sebagai pelaku.
Kini jumlah peneliti di Lembaga Eijkman kembali mencapai di atas 100 orang. Riset yang digeluti Eijkman berpusat di bidang malaria, demam berdarah, flu burung, hepatitis, forensik, penyakit genetik talasemia, dan pemetaan genetika populasi untuk kepentingan metabolisme obat dan merunut asal-usul penduduk Nusantara.
Akan ideal jika seandainya lembaga riset dasar seperti Eijkman menyatukan upaya bersama industri, seperti Biofarma atau Kimia Farma, untuk memproduksi vaksin flu burung, vaksin hepatitis B, dan lain-lain.
Kalau Kuba saja bisa, mengapa kita tidak? Jika China menguasai hardware dan India software, kita tentu tak ingin hanya bisanya nowhere....
0 komentar:
Posting Komentar