UU PVT dan SBT Tidak Melindungi Hak-Hak Petani

Ani Purwati - 13 Feb 2009

Hak-hak petani di Indoensia tidak tercantum dalam UU No. 29/2000 tentang
Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) dan UU No. 12/1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman (SBT).

Kedua peraturan perundangan itu hanya melindungi hak-hak pemulia varietas tanaman atau pembenih yang biasanya merupakan perusahaan benih.
Demikian menurut Agus Sardjono sebagai Ahli Hukum dari Universitas Indonesia (UI), saat dialog petani tentang Perlindungan Varietas Tanaman yang diselenggarakan Aliansi Petani Indonesia (API), Third World Network
(TWN) dan UNDP di Jakarta (10/2).

UU PVT tidak ada urusannya dengan petani tetapi dengan pembenih, karena
tidak melindungi petani tetapi pembenih. “Masalah yang dihadapi petani terkait UU PVT hanya sebagai konsumen benih dan sering diancam oleh
yang mengaku-ngaku atas varietas tertentu,” kata Sardjono.

Menurutnya, UU PVT merupakan salah satu dari sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan berasal dari luar negeri. Sehingga di dalam konsep HKI ada doktrin atau latar belakang yang berbeda dengan di Indonesia.

Terkait UU PVT, benih di Indonesia dibedakan atas benih yang dilindungi PVT dan tidak dilindungi PVT. Di Indonesia, kurang dari 10 varietas tanaman yang mendapat sertifikasi PVT, sehingga masih ada kesempatan terbuka sangat luas atas varietas.

Pengertian dalam pasal 1 point 1, PVT adalah perlindungan khusus varietas yang diberikan oleh negara. Kalau negara mau melindungi varietas tanaman
oleh pemulia, maka tidak terkait petani. Yang sering terkait adalah
perusahaan benih.

PVT diberikan kepada individu yang sudah melakukan pemuliaan. Bila
perusahaan telah melakukan riset dan memproduksi benih dengan membayar
pegawai dan laboratorium, maka dapat meminta perlindungan dan monopoli
juga.

Menurut Sardjono, pembuatan UU PVT tersebut dapat dikatakan tidak sempurna. Terlebih lagi dalam pembuatannya, pemerintah maupun DPR tidak pernah melibatkan petani dengan alasan akan memakan waktu lama.

Pemberian perlindungan melalui UU PVT tidak secara otomatis. Negara akan memberi perlindungan kalau pemulia mendaftarkan. ”Jadi yang belum mendaftar tidak mendapat perlindungan. Sehingga bisa dikatakan sistem ini butuh keaktifan kita sebagai pemulia. Nah itu yang masih belum ada,” kata
Guru Besar Fakultas Hukum UI ini.

Selain itu menurutnya, negara juga akan melakukan perlindungan kalau sudah
memenuhi syarat. Sampai sekarang varietas yang mendapat perlindungan
hanya kurang dari 10, karena jasa konsultanya mahal.

Syarat mendapatkan perlindungan varietas tanaman yaitu varietas baru (bukan yang tidak ada menjadi ada, tetapi hasil panen dari benih yang belum pernah diperdagangkan) , varietas bersifat unik (dapat dibedakan dari varietas lain), stabil meski ditanam berulang (tidak seperti hibrida
yang tidak dapat ditanam ulang sehingga harus membeli benih terus).

Lalu seragam (meski ditanam di tempat berbeda), diberi nama (ada jeruk Bali, jeruk Pontianak, durian Montong dsb), ada jangka waktu perlindungan
(untuk tanaman musiman 20 tahun, tanaman tahunan 25 tahun. Setelah habis jangka waktu itu varietas tanaman bebas ditanam siapa saja.

UU PVT dapat dikatakan memberi hak eksklusif tetapi monopoli. Tujuannya
sebetulnya mulia yaitu aslinya HKI adalah melindungi orang-orang yang
kreatif. Masalahnya yang sering terjadi, mereka tidak mempunyai uang,
lalu bekerja ke pihak lain dan mendapat gaji, tetapi kretifitasnya
menjadi milik orang lain (perusahaan atau instansi lain) yang membayar.
Maka mereka yang membayar yang memanfaatkan ide itu.


Dimana posisi petani?

Dalam hal ini kalau petani mau menjadi pemulia, maka harus memahami UU PVT
dan SBT, kalau tidak, maka hanya berpikir sebagai pembeli atau konsumen
benih saja.

Tetapi ternyata setelah mendapat benih baru, sebelum mengedarkan hasil
pemuliaan tersebut, pemulia harus memenuhi UU SBT atau lebih dulu melewati pelepasan. Sebelum melewati pelepasan, varietas hasil pemuliaan dilarang diedarkan.

”Jadi bapak-bapak petani bila melakukan pemuliaan tidak mengggunakan PVT,
tidak masalah. Tetapi masalahnya, walaupun benih diedarkan harus hati-hati, karena bisa diancam UU SBT. Siapa yang tau UU SBT? Tidak ada
yang tau. Saya juga baru tau setelah kasus Kediri,” jelas Sardjono.

Dijelaskannya bahwa varietas tanaman yang bisa dilepas harus melewati sertifikasi. Tanpa proses sertifikasi, pengedaran benih tidak boleh. Padahal proses sertifikasi yang benar, syaratnya berat, harus ada sekian contoh di atas sekian hektar.

Kalau memenuhi syarat akan keluar label benih aman. Di sini nampak tujuan
mulianya yaitu agar kita tidak menanam benih yang salah, misal yang
predator (makan) varietas yang sejenis, seperti transgenik (rekayasa
genetik). Tetapi pelakunya yang tidak mulia, yang menuduh petani telah
melakukan sertifikasi. Petani yang tidak melakukan sertifikasi diputus
salah.

Benih yang sudah dilabel baru bisa diedarkan. Untuk sampai pada tahap ini,
syaratnya banyak yang belum tau termasuk konsultan hukum.


Tidak Menguntungkan Petani

Nurul Barizah sebagai Ahli Hukum dari Universitas Airlangga juga berpendapat bahwa kedua UU tersebut (UU PVT, SBT) bersama UU Paten sama sekali tidak menguntungkan petani. Karena memang tidak dirancang untuk menguntungkan dan melindungi petani. UU itu hanya dirancang untuk melindungi peneliti, industri pertanian dan bioteknologi. Sebagai bagian dari perjanjian ekonomi global, WTO.

Menurutnya, UU PVT dan SBT tidak memberi perlindungan hak-hak petani. Di dalam perundang-undangan tersebut tidak ada hak menanam kembali, berbagi (sharing). Petani hanya boleh menyimpan benih untuk ditanam di musim berikutnya sepanjang untuk kepentingannya sendiri, bukan diberikan kepada orang lain.

UU tersebut hanya mengatur bibit unggul dan introduksi dari luar negeri,
tidak menyinggung bibit dari petani. ”Sebaliknya kalau setiap pasal diamati, negara mengontrol semua proses budidaya, termasuk membuka lahan agar tidak serampangan, tapi harus bisa teratur, menanam dan memanen agar keseimbangan lingkungan tidak terganggu,” ungkap Barizah.

Terkait kebijakan mengawasi benih, UU PVT dan SBT awalnya bisa diartikan sangat baik. Tetapi bila pengawasannya berlebihan akan menimbulkan implikasi yang tidak diinginkan. Dalam hal ini, petani bisa saja diharuskan minta ijin ke pemerintah untuk menggunakan benih yang sudah dekat (familier) dengan mereka. Sehingga seperti menjauhkan petani dari varietas yang sudah terbiasa digunakannya sehari-hari.

Namun menurut Barizah, meski negara berhak mengawasi benih dibenarkan menurut konsep kedaulatan negara, ternyata kalau dilihat dari Perjanjian
Internasional tentang Sumberdaya Genetik Tanaman Pangan dan Pertanian,
dimana Indonesia telah meratifikasinya melalui UU No. 4 2004 tentang
Pengesahan Perjanjian mengenai Sumberdaya Genetik Tanaman untuk Pangan
dan Pertanian, pengawasan (kontrol) pada varietas lokal seharusnya diberikan pada petani dan komunitasnya.

Tidak jauh berbeda dengan kedua UU di atas, UU No. 14 2001 tentang Paten juga tidak mengatur hak-hak petani, karena tidak memberi perlindungan pada
benih, hanya proses varietas baru, atau caranya yang dilindungi.

Dialog petani tentang Perlindungan Varietas Tanaman yang diselenggarakan
Aliansi Petani Indonesia (API), Third World Network (TWN) dan UNDP di
Jakarta berlangsung pada 10-11 Februari 2009 bersamaan dengan Munas API
Ketiga yang berlangsung pada 10-13 Februari 2009 di Griya Alam Ciganjur, Jakarta.


Warsiah: Lepas dari Ketergantungan Benih dengan Jadi Pemulia

Ani Purwati - 13 Feb 2009
Bagi petani, benih dan lahan merupakan hal terpenting dalam menjalani
kehidupannya sehari-hari. Tanpa keduanya, kemampuan petani dalam
memproduksi pangan akan terhambat.

Maka tak heran jika petani berupaya untuk mendapatkan benih kembali dan lepas dari ketergantungan benih yang sekian lama sering dikuasai oleh perusahaan benih atau lainnya. Salah satu satu contoh adalah upaya pengembangan varietas tanaman atau benih oleh kelompok tani di Indramayu, Jawa Barat bersama salah satu lembaga non pemerintah, Field Indonesia.

Dimana hingga awal 2009 ini telah berhasil mengoleksi 3000 varietas (jenis) lokal yang menjadi bahan baku pemuliaan sejak jaman dulu. Sedangkan hasil pemuliaan yang telah diseleksi ada 2000 varietas pilihan. Demikian ungkap Warsiah, salah satu petani pemulia varietas tanaman di Indramayu tersebut, saat berbagi pengalaman bersama petani dalam dialog petani tentang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) yang diselenggarakan
Aliansi Petani Indonesia (API), Third World Network (TWN) dan UNDP, di
Jakarta (10/2)."Setidaknya ada 50 persen lebih kan lumayan," ungkap Warsiah.


Menurutnya, kegiatan pemuliaan varietas tanaman itu berawal dari kegiatan diskusi antara petani dengan Yayasan Field Indonesia pada 2002.

“Lalu saya ingat waktu kecil, sebelum tahun 1970an yang namanya varietas
lokal sangat beragam. Tapi setelah adanya revolusi hijau hanya tinggal
beberapa macam varietas lokal saja dan diganti dengan vaietas baru dari
proyek pertanian itu,” kata Warsiah.

Dia menjelaskan, dulu ketika petani membutuhkan benih tidak harus ke kios
untuk membeli, tetapi tinggal mengambil di lapangan untuk kebutuhan
budidaya. Sekarang setelah varietas milik masyarakat diotak-atik atau
dimuliakan oleh para ahli lalu didaftarkan atau dipatenkan, pemerintah
mengakui bahwa varietas tersebut hasil kerja pemulia, walaupun varietas
tersebut berasal dari masyarakat. Akhirnya petani dibuat ketergantungan
akan kebutuhan benih.

Apalagi dengan perhitungan yang dilakukannya, ternyata uang petani Kabupaten Indramayu yang masuk ke perusahaan, diperkirakan mencapai Rp
14.750.000.000, - per musim dengan luas lahan 118.000 ha, kebutuhan
benih 25 kg/ha dan harga benih Rp 5.000,- per kg. Maka semakin kuat
keinginannya untuk bisa memuliakan varietas tanaman atau benih sendiri.

Langkah-langkah yang dilakukan Warsiah bersama kelompok petani di Indramayu untuk bisa menjadi pemulia varietas tanaman tersebut yaitu:

1. Pada tahun 2002 mengikuti TOT pemuliaan tanaman padi secara partisipatoris selama 10 hari yang di fasilitasi oleh Yayasan FIELD Indonesia. Yang di pandu oleh: Dr. Buang Abdulah dari Balitpa, Dr. Rene dari Philipina, Mr. Tin dari Kamboja.

Kegiatan TOT ini diikuti untuk memahami tentang tehnik-tehnik pemuliaan tanaman khusunya padi.

2. Melaksanakan Sekolah Lapangan (SL)
Pemuliaan tanaman secara partisipatoris bersama petani selama satu musim setiap SL. Sampai akhir 2008 mencapai 22 kelompok tersebar di 20 kecamatan di Kabupaten Indramayu.


Langkah lainnya adalah :

Pada bulan Mei 2007 memperdalam pengetahuan tentang pemuliaan, mengikuti
pelatihan di IPB baik tentang tehnik pemuliaan maupun aturan-aturan
yang harus dipahami sebagai petani pemulia tanaman.

Selalu melakukan koordinasi dengan: pemulia Balitpa, pemulia IPB dan
Departemen Pertanian, dalam hal ini dengan kantor pusat PVT baik tentang tehnik pemuliaan maupun perundang-undangan yang berlaku.

Melakukan sosialisasi melalui lokakarya dan seminar-seminar tingkat kecamatan, kabupaten dan nasional.

Secara pribadi, Warsiah juga mengikuti kegiatan selama 2008-2009 adalah melestarikan varietas lokal (ada 31 jenis sebagai bahan baku tetua untuk pemuliaan), melakukan seleksi hasil persilangan sebanyak 102 jenis pilihan dengan tingkat turunan bervariasi dari F5 s/d F12 dengan harapan bisa mendapat varietas idaman.

Demikian langkah-langkah yang dijalani Warsiah untuk menjadi pemulia varietas tanaman lokal. Baginya, varietas lokal itu milik petani atau masyarakat walaupun negara yang menguasainya dan tidak boleh di patenkan oleh siapapun. Lalu hak petani dalam varietas baru hasil pemuliaan harus memperhatikan UU 29 Tahun 2000 Pasal 10 ayat (1).

Dengan menjadi pemulia varietas tanaman tersebut dia berharap dapat mengurangi sifat ketergantungan petani yang dengan merubah budaya tani yang praktis menjadi petani kreatif dan mandiri, memperbanyak keragaman varietas tanaman, memanfaatkan varietas lokal yang masih ada, menguasai ilmu dan teknologi serta bisa swasembada benih khusunya Indramayu.


0 komentar:

Posting Komentar