Pendidikan Karakter Mendesak ," Penjiplakan, Dampak dari Politisasi Pendidikan ".

Maraknya kasus penjiplakan karya ilmiah dan sejumlah kecurangan lainnya menunjukkan, pendidikan karakter, budaya, dan moral semakin mendesak diterapkan di dunia pendidikan. Meski demikian, pendidikan karakter tidak harus menjadi mata pelajaran tersendiri.

Demikian dikemukakan Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh dalam jumpa pers, Jumat (19/2), di Jakarta, menanggapi terungkapnya kasus penjiplakan oleh guru besar di Bandung dan maraknya jasa pembuatan karya ilmiah di berbagai kota.

Menurut menteri, dibandingkan dengan memasukkan pendidikan karakter, budaya, dan moral dalam mata pelajaran atau mata kuliah tersendiri, lebih efektif membangun tradisi akademik di perguruan tinggi.

"Jika perguruan tinggi memiliki university culture sangat kuat, maka akan tercermin pada nilai akademik yang sangat tinggi, termasuk kejujuran, kecermatan, dan kehati-hatian dalam membuat karya ilmiah," ujarnya.

Menurut Nuh, akar penyebab terjadinya penjiplakan ada tiga faktor, yakni rendahnya integritas pribadi, ambisi mendapatkan tunjangan finansial, serta kurang ketatnya sistem di perguruan tinggi. "Cara mengatasinya juga harus komprehensif, tidak bisa sepotong-sepotong, " ujarnya.

Puncak tragedi pendidikan

Secara terpisah, Frietz R Tambunan, dosen Etika dan Metoda Penelitian Universitas Katolik St Thomas, Medan, saat dihubungi Kompas, Jumat (19/2), mengatakan, banyaknya kecurangan, termasuk penjiplakan, di perguruan tinggi merupakan puncak tragedi pendidikan.

"Hilangnya kejujuran dalam pendidikan sama dengan hilangnya roh pendidikan itu sendiri. Lalu, nilai-nilai apa yang akan ditawarkan pendidikan kita?" komentar Frietz R Tambunan.

Dikemukakan Frietz, aneka ketidakjujuran sudah berlangsung lama. Konversi nilai ujian akhir nasional tahun 2004, misalnya, merupakan bukti kejahatan intelektual institusional yang dilakukan secara transparan oleh Kementerian Pendidikan Nasional saat itu. Kini, kita menuai hasilnya.

"Menurut saya, tragedi sudah terjadi pada level konseptor. Jika mengamati aneka keputusan pendidikan, terlihat betapa para pejabat pendidikan tidak mengetahui akan berbuat apa. Banyak konsep dilahirkan, tetapi tidak menukik inti pendidikan, yaitu memanusiakan manusia. Murid dianggap obyek, menjadi bagian proyek, bukan lagi subyek yang harus dihargai. Pendidikan pun dilihat secara politis," ungkap dia.

Frietz berharap aneka kasus yang memalukan dunia pendidikan ini menyadarkan kita untuk mengubah alur pendidikan dan membekali peserta didik dengan karakter, budi pekerti, dan humaniora, agar tujuan memanusiakan manusia tercapai. Kelak, kita berharap akan lahir manusia Indonesia yang tak lagi menggunakan segala cara untuk mengejar jabatan dan materi.

Pabrik skripsi

Di Bandung, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menyesalkan masih maraknya penjiplakan skripsi dan tesis di dunia pendidikan Indonesia. Ia curiga kegiatan itu tidak hanya dilakukan mahasiswa atau dosen, tetapi juga pejabat publik, seperti bupati, wali kota, atau kepala unit pemerintahan lainnya.

"Saya sering bertanya-tanya kepada diri sendiri ketika bupati atau calon bupati tiba-tiba mencantumkan tiga gelar sekaligus. Kapan mereka belajar dan membuat karya ilmiah untuk mendapatkan gelar itu? Sekarang pertanyaan itu sepertinya terjawab ketika media mengatakan tentang maraknya praktik pabrik skripsi di Indonesia," kata Kalla ketika memberikan kuliah umum bertema "Edupreneurship" di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Jumat.

Kalla mengharapkan agar hal itu bisa dihentikan dan tidak terulang pada kemudian hari. Praktik seperti itu akan menyebabkan dunia pendidikan Indonesia semakin terpuruk. Penjiplakan yang dilakukan pejabat pemerintahan bahkan berpotensi menurunkan kesejahteraan masyarakatnya.

UII Yogyakarta

Menyusul dugaan penjiplakan karya ilmiah oleh dua calon guru besar di perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia (UII) mengaku sedang melakukan klarifikasi indikasi penjiplakan kepada dua dosennya. Jika terbukti menjiplak, UII segera menjatuhkan sanksi. "Salah satunya sudah hampir selesai dan indikasinya tidak mengarah pada penjiplakan, yang lain masih diproses," papar Rektor UII Edy Suandi Hamid.

Menurut Edy, indikasi penjiplakan ada pada berkas pengajuan kenaikan jabatan akademis kedua dosen; diketahui sebelum berkas diajukan ke Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) V DI Yogyakarta. UII segera merespons dengan menunda pengajuan kenaikan jabatan akademis. Selain proses klarifikasi, kedua dosen juga akan diajukan ke sidang kode etik.

Edy menambahkan, penjiplakan di kalangan dosen dan guru besar bisa terjadi tanpa sengaja. Penyebabnya, ketidaktahuan yang bersangkutan terkait batas pengutipan yang diperkenankan dalam penyusunan karya ilmiah.

Terkait hal ini, Koordinator Kopertis Wilayah V DI Yogyakarta Budi Santosa Wignyosukarto belum bisa memastikan apakah dua dosen itu adalah dua calon guru besar yang tersandung plagiat. "Saya akan konfirmasi dulu. Kopertis masih menunggu klarifikasi dari perguruan tinggi swasta bersangkutan, " ujarnya.

Koordinator Kopertis Wilayah IV Jabar Banten Abdul Halim Hakim di Bandung merekomendasikan pemecatan bagi mahasiswa dan dosen yang terbukti menjiplak.

Rektor Universitas Widyatama Bandung Mame Sutoko berjanji akan memecat dan tidak memberi keringanan apa pun bila terjadi penjiplakan di Widyatama.

Rektor Institut Teknologi Bandung Akhmaloka mengatakan, tiap tahun, mahasiswa dan dosen mendapat pembekalan tentang penelitian dan larangan menjiplak. Hal ini juga selalu diutarakan dalam berbagai kesempatan.( CHE/LUK/IRE/ TON)


Sumber
http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2010/02/20/ 04191432/ .pendidikan. karakter. mendesak

Sabtu, 20 Februari 2010 | 04:19 WIB
Jakarta, Kompas -

0 komentar:

Posting Komentar