MERAUP INVESTASI PENDIDIKAN ANAK DI SEKOLAH PLUS
Menjelang tahun ajaran baru lembaga-lembaga pendidikan yang mengklaim sebagai sekolah nasional plus yang mengedepan pengantar Bahasa Inggris mulai gencar berpromosi. Mereka berpromosi melalui berbagai cara, di antaranya "open house" sekolah, kerja sama antar sekolah melalui penyebaran brosur hingga menawarkan beasiswa bagi siswa berprestasi.
Fenomena tumbuhnya sekolah nasional plus tidak lepas dari adanya faktor "supply and demand", dari kebanyakan orang tua murid di kota-kota besar yang merasa lebih percaya diri bila menyekolahkan anaknya di sekolah dengan label plus dan label internasional.
Sekolah nasional plus atau sekolah internasional yang kebanyakan dirintis oleh yayasan swasta memang cukup jeli melihat peluang kegamangan orang tua murid menghadapi era globalisasi yang menuntut bekal kompetensi yang lebih tinggi baik dalam penguasaaan bahasa asing maupun kemampuan akademik.
Namun demikian, pengamat pendidikan yang juga Guru Besar dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), prof Dr Arief Rachman mengingatkan agar orang tua perlu waspada dalam membeli jasa pendidikan dengan label plus atau internasional. "Saya sangat setuju apablia mutu pendidikan di Tanah Air semakin baik dengan hadirnya sekolah nasional plus atau sekolah dengan embel-embel internasional. Namun demikian orang tua harus teliti dengan mencari tahu apakah memang betul-betul plus-nya tersebut dilaksanakan atau hanya sekadar menonjolkan penggunaan bahasa Iggris tetapi kurikulumnya belum plus," katanya.
Ia mengatakan kontribusi sekolah plus bila dilaksanakan sesuai dengan misi mereka akan memberikan hasil akhir yang bemanfaat pada anak-anak Indonesia karena umumnya materi yang diberikan menyeimbangkan antara pemanfaatan otak kiri dan otak kanan yang memberikan ruang pada kreativitas bakat dan ketrampilan anak. "Sekolah plus sangat baik dan positif agar anak-anak kita memiliki daya saing internasional sehingga mampu mencerna persoalan dalam bahasa Inggris, namun demikian jangan sampai menelantarkan pemakaian bahasa Indonesia yang menjadi salah satu identitas kepribadian bangsa," tambahnya.
Tentang fenomena sekolah mahal yang kini banyak bermunculan di kota-kota besar, Gina Ardiany Karsana pemilik sekolah nasional plus High Scope di sejumlah lokasi di Jakarta mengakui pendidikan kini memang telah memasuki ranah bisnis seiring dengan tuntutan sebagian masyarakat yang menjadikan pendidikan anak-anak sebagai investasi masa depan cerah. "Ini soal pilihan sebab sekolah reguler kini sudah menyesuaikan dengan tuntutan zaman, apalagi kini semakin banyak yayasan yang mendirikan sekolah nasional plus. Kondisi tersebut memberikan peluang untuk berkompetisi secara sehat untuk melahirkan lulusan terbaik," katanya.
Perempuan yang bercita-cita membagi ilmu tentang model pembelajaran active learning dan problem solving ke sekolah-sekolah di pelosok Tanah Air itu mengatakan, titik berat pembelajaran di sekolah national plus tidak berhenti pada penguasaan bahasa Inggris semata tetapi bagaimana memadukan antara penguasaan bahasa dengan kurikulum active learning yang diterapkan. "Kami tetap menggunakan kurikulum nasional namun dengan berbasis kreativitas pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dikembangkan. Bahasa yang digunakan untuk mengantar pelajaran yakni sebesar 60 persen menggunakan bahasa Inggris dan 40 persen lainnya dalam bahasa Indonesia," katanya.
Sebagai praktisi pendidikan, Gina mengaku prihatin melihat kecenderungan pendidikan di tanah Air kebanyakan hanya menjejali murid dengan teori-teori ketimbang praktek.
Tidak heran, bila banyak orang tua yang peduli pada masa depan anaknya kemudian berupaya mendapatkan sekolah yang mengedepankan praktek ketimbang teori. Ia mencontohkan untuk pelajaran ilmu pengetahuan alam, tidak melulu dilakukan di dalam kelas. Satu kelas yang terdiri dari 24 siswa dan dua orang guru akan mengikuti tahap-tahapan sebelum memulai praktek.
Siswa akan diberi kesempatan menggali tema dari buku-buku yang ada di perpustakaan. Selanjutnya, ketika sudah diperoleh tema tentang air kemudian dibentuk kelompok yang akan menggali ide dengan memanfaatkan fasilitas laboratorium yang disediakan sekolah.
Selanjutnya ide tentang air tersebut diekspresikan murid-murid dalam bentuk drama musikal.
"Pada intinya misi yang ingin disampaikan untuk belajar tentang sesuatu bisa dilakukan dengan banyak cara yang tentu saja dilakukan dengan cara menyenangkan sehingga mampu diserap dengan baik oleh siswa," katanya. Saat ini kebijakan dari Kementerian Pendidikan Nasional agar masing-masing sekolah membuat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sendiri justru memberikan keleluasaan sekolah untuk mengembangkan ide-ide yang tidak hanya bertumpu pada teori tetapi lebih banyak implementasi.
"Seperti pelajaran agama. kami menyediakan lima guru agama sesuai dengan agama yang dianut oleh masing-masing siswa. Kami tidak hanya memberikan teori bagaimana menghargai perbedaan tetapi melakukan praktek langsung, yakni anak yang berbeda agama diminta untuk membuka wawasan tentang apa yang diajarkan agama lainnya," katanya. Tujuannya agar tidak ada rasa saling curiga dan justru dengan keterbukaan yang diberikan sejak kecil, anak-anak justru bisa menghargai perbedaan, tambahnya.
Belajar seumur hidup Kebanyakan sekolah nasional plus yang umumnya berafiliasi program dengan sekolah atau lembaga pendidikan di luar negeri membawa misi bahwa belajar adalah untuk seumur hidup. "Misi memberikan bekal ilmu untuk seumur hidup kepada anak sejak dini tidak bisa disejajarkan dengan biaya yang harus dibayarkan orang tua bagi anak-anak yang bersekolah di nasional plus," kata Gina.
Murah atau mahal itu relatif tetapi biaya masuk senilai Rp30 juta dengan uang sekolah sebesar Rp2,7 juta sebulan menjadi murah karena bekal ilmu yang diperoleh anak tidak hanya semata teori tanpa praktek yang dipahami anak," katanya.
Bagi Prof Arief, siapapun yang bergerak dalam bidang pendidikan harus memiliki konsep tersebut, yakni sekolah harus berupaya untuk mensukseskan tercapainya tujuan pendidikan nasional, yaitu anak yang berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, cerdas bertanggungjawab dan demokratis namun tetap berdaya saing. Untuk mendapatkan kemampuan berdaya saing, maka sejumlah sekolah memposisikan diri sebagai sekolah dengan kurikulum plus yang mengedepankan "long live learning and problem solving", yang menjadi misi Unesco.
"Long live learning sebenarnya ingin mengingatkan, bahwa belajar suatu proses yang harus dilakukan sepanjang hayat dari mulai anak usia dini sampai kita masuk liang lahat. Untuk itu, semua mata pelajaran di sekolah yang diberikan harus mempunyai kekuatan untuk menghadapi masa depan," kata Arief yang juga menjabat sebagai Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk Unesco.
Tidak cukup sekadar lulus dari suatu ujian, atau berhenti dengan meraih gelar tetapi ilmu yang didapat bisa digunakan seumur hidup dan ada kesinambungan satu sama lain dari satu jenjang pendidikan ke jenjang pendidikan lainnya. Pembelajaran, menurut Prof Arief tidak hanya melalui jalur formal, tetapi juga nonformal seperti kursus-kursus, dan juga informal yang diperoleh dari rumah, gereja, masjid, dan sebagainya.
Pembelajaran seumur hidup harus dimaknai, bahwa proses pendidikan itu harus dipersiapkan agar manusia memerhatikan pembelajaran pada anak usia dini sebab setiap tahapan adalah pondasi untuk masuk ke tahapan lebih tinggi.
Sekolah juga wajib memberikan pembelajaran yang disebut kurikulum berbasis penyelesaian masalah (problem solving approach), yakni penyampaian mata pelajaran diberikan dengan contoh fenomena masalah yang ada dan bagaimana cara menyelesaikan sehingga ketika masuk ke masyarakat luas, anak sudah terbiasa menyelesaikan dengan baik.
Prof Arief menilai pendidikan nasional saat ini belum mampu mencapai rambu-rambu yang diinginkan dalam konsep pendidikan seumur hidup dan pemecahan masalah.
"Pendidikan di negeri kita masih menelantarkan rambu-rambu untuk mencapai kemampuan belajar seumur hidup, sebab mengembangkan keunggulan otak daripada watak," katanya.
Oleh Zita Meirina
0 komentar:
Posting Komentar