Lagi Tentang UN, Jangan Paksa Kami !
Oleh Leonardus Dapa Loka
Entah tulisan ini mau digolongkan jenis tulisan apa, saya tidak peduli. Saya juga tidak ambil pusing kalau karena tulisan ini saya dan kawan-kawan dicap merengek-rengek,
manja atau apa pun. Yang saya mau dengan tulisan ini hanyalah agar "yang
empunya kuasa" di pusat kekuasaan, mau membuka mata dan hati untuk peduli pada
kondisi real yang kami alami di pelosok Indonesia ini. Saya adalah seorang guru pada sebuah Sekolah Menengah Kejuruan di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD, NTT).
Cita-cita untuk menjadi guru yang kemudian menjadi kenyataan tampaknya sudah merupakan "warisan" dari ayah saya Aloysius Bulu Malo (alm) yang sampai akhir hayatnya tetap mencintai profesinya sebagai guru. Tidak hanya itu, almarhum berhasil "menjerumuskan" kami enam orang anaknya untuk menjadi guru. Dengan demikian, yakinlah, profesi guru telah menjadi panggilan kami.
Jadi jelaslah, bahwa kepedulian yang saya maksud di atas bukanlah rengekan agar saya dan teman-teman guru dimanjakan dengan berbagai fasilitas atau gaji yang
berlipat-lipat sehingga kami pun bisa patantang-patenteng dengan aneka barang mewah. Atau bukan agar kami bisa jalan-jalan alias pelesir ke kota-kota besar untuk mencari hiburan seperti yang kerap kali dipertontonkan oleh para wakil rakyat. Tidak! Bukan itu!
Saya ingin kita realistis dengan situasi bangsa ini yang masih merayap-merangkak, dalam hal ini di bidang pendidikan. Bahwa ada daerah atau sekolah tertentu yang sudah
mengalami kemajuan luar biasa dalam pendidikan, tak bisa disangkal. Namun tidak
bisa dipungkiri juga bahwa masih sangat banyak daerah atau sekolah yang situasinya sangat memprihatinkan dalam berbagai segi.
Tahun lalu saya diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan ditempatkan sebagai guru mata pelajaran Bahasa Inggris di sebuah SMK di Kecamatan Kodi, SBD, NTT.
Semoga saya saja yang apes! Saya kebagian mengajar murid-murid yang pengetahuan Bahasa Inggrisnya sangat menyedihkan. Jangankan berbicara soal tenses atau grammar meski yang paling sederhana. Kemampuan mereka dalam menguasai bilangan 1 sampai 20 atau huruf A sampai T saja sangat menyedihkan.
Saya lalu merasa berada di persimpangan: mau ikut kurikulum atau ikut anak. Ikut tuntutan kurikulum berarti menutup mata dengan kondisi anak. Ikut kondisi anak, berarti
menelantarkan kurikulum. Contoh ini baru menyangkut Bahasa Inggris. Nasib yang
sama dialami oleh para guru mata pelajaran lain.
Guru Masak di Bawah Pohon
Karena sekolah ini baru dua tahun berdiri, para guru di sini masih tergolong muda atau fresh graduate. Mereka adalah sarjana dari beberapa universitas baik di Jawa maupun dari universitas di NTT sendiri. Semangat guru-guru muda ini masih besar dan bahkan menggebu-gebu.
Karena itu, meskipun sangat tidak kondusif, saya dan teman-teman menuruti anjuran Kepala Sekolah agar kami tinggal di kompleks sekolah. Sang kepala sekolah khawatir,
jika kami ngelaju dari rumah masing-masing, akan banyak tugas yang terganggu sebab kami menempuh jarak yang cukup jauh.
Tentu saja, pemenuhan terhadap ajakan Kepala Sekolah bukan tanpa risiko. Jangan membayangkan kami tidur nyaman di atas spring bed. Jangan juga pikir kami akan menyediakan atau mengolah makanan dengan peralatan dapur modern berikut air kran yang bisa mengalir setiap saat. Percaya atau tidak, kami sangat jauh dari itu semua.
Mungkin para
pejabat di Jakarta tidak percaya bahwa kami para guru harus tidur di ruang
kelas beralaskan kursi atau bangku siswa. Mungkin, sulit juga dipercaya bahwa
karena tidak ada dapur, kami harus masak dengan kayu bakar di bawah pohon.
Beberapa kali terjadi, saat priuk nasi sedang duduk santai di atas batu tungku
dan baru mendidih, tiba-tiba hujan. Kami harus buru-buru mengangkat priuk untuk
dilarikan ke teras sekolah padahal nasi dalam priuk belum matang. Sambil
menahan perut lapar, kami hanya bisa mengurut dada sebab beras pasti gagal
menjadi nasi.
Saya khususnya, memang
terbiasa hidup dengan fasilitas yang terbatas. Tapi keadaan tersebut sangat "extraordinary" . Kami hidup tanpa
listrik, air jauh, dan kerap kali sangat terganggu oleh pencuri.
Yang paling
banyak berpesta dengan keprihatinan kami adalah nyamuk. Dan siapa pun tahu,
Sumba adalah sarang nyaman bagi nyamuk malaria. Hampir pasti, setiap hari ada orang yang meninggal akibat sakit malaria.
Nah, bagaimana
mau mengharapkan hasil Ujian Nasioanl (UN) yang kompetitif dari situasi ini?
Kami bukan tidak mau berjuang. Bahwa bersedia tidur di sini dan hidup "terlantar",
ini sudah perjuangan meski belum seberapa. Namun perjuangan yang belum seberapa
ini sudah cukup memberi gambaran bahwa kondisi real kami sama sekali tidak bisa disamakan dengan kondisi real yang ada di tempat lain, Jakarta
misalnya.
Penentuan
standar kelulusan yang sama secara nasional berikut soal atau bobot soal yang
sama untuk semua siswa dan sekolah dalam kondisi apa pun di seluruh Indonesia,
merupakan bentuk konkret paling jelas dari penyamarataan secara membabibuta. Belum
lagi soal pembebasan sekolah dari hak menentukan kelulusan. Di mata saya, penyamarataan
ini jelas merupakan sebuah penghinaan di satu sisi dan penyiksaan di sisi lain.
Ya, penghinaan
bagi siswa yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah terbaik di Jakarta
karena kemampuan atau kecerdasan mereka disamakan dengan siswa di pelosok. Lalu
menjadi siksaan tak berperikemanusiaan bagi siswa di pelosok-pelosok karena mereka
dipaksa memiliki kemampuan yang sama dengan teman-teman mereka yang beruntung
di Jakarta.
Jadi, dari hati
yang paling dalam, mohon kiranya para pengambil keputusan sekali-sekali turun
langsung melihat sendiri kondisi yang ada. Saya khawatir, prinsip menunggu
laporan masih sangat menguasai para pejabat di bidang ini. Akibatnya, keputusan
diambil berdasarkan laporan yang tidak akurat.
Kalau sudah melihat
sendiri dari dekat, pasti merasakan denyut yang ada. Dari sini akan muncul
keputusan yang lebih bijak.
Kalau pun nanti
UN tetap diberlakukan, ia bukan penentu kelulusan. UN bisa dipakai sebagai alat
ukur untuk mengetahui sejauh mana kemajuan yang terjadi pada sebuah daerah.
Dari situ dilakukan perbaikan yang sifatnya kontekstual.
*Penulis
adalah seorang guru di Sumba Barat Daya, NTT, alumni Pendidikan Bahasa Inggris
Universitas Sarjanawiyata, Tamansiswa, Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar