"Mitos-mitos" Ujian Nasional?

Gugatan 58 warga negara terkait kebijakan ujian nasional kembali
mendapat dukungan dengan ditolaknya kasasi pemerintah oleh Mahkamah
Agung.


Tidak berlebihan untuk memandang putusan itu sebagai tonggak penting
dalam mendorong evaluasi berbagai kebijakan pendidikan selama ini.
Sayang, pemerintah tampaknya berkeras menggunakan hasil ujian nasional
(UN) sebagai salah satu penentu kelulusan melalui rencana peninjauan
kembali. Beberapa argumen yang dilontarkan untuk mendukung UN
sebenarnya masih terbantahkan.

Penilaian guru tidak konsisten?

Bagaimana menentukan kelulusan siswa dari suatu jenjang pendidikan
bila tidak ada UN? Bukankah penilaian guru amat bervariasi dari satu
sekolah ke sekolah lain, bahkan dari satu kelas ke kelas lain?
Berbagai pertanyaan semacam itu muncul karena kekhawatiran yang
bersumber dari ketidakpercayaan terhadap penilaian yang diberikan
guru.

Sebenarnya, guru memiliki lebih banyak kesempatan untuk menilai, dan
pada saat yang sama, mengembangkan kemampuan siswa melalui beragam
model penilaian dan aktivitas, seperti pekerjaan rumah, ulangan,
proyek kelas, penulisan laporan, dan presentasi.

Berbeda dengan UN yang dilakukan pada akhir masa belajar, berbagai
penilaian yang dilakukan guru berdampak pada perbaikan proses belajar
siswa karena ada umpan balik yang bisa segera dilakukan.

Dengan meningkatkan kualitas pembelajaran maupun penilaian yang
dilakukan oleh guru, yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari serta
berbagai tantangan pada masa depan, diharapkan siswa akan terlibat
proses belajar yang menumbuhkan motivasi intrinsik dari dalam diri
siswa. Motivasi belajar yang bersifat intrinsik ini akan lebih kokoh
tertanam ketimbang belajar karena dipicu oleh kekhawatiran tidak lulus
UN, yang bersifat ekstrinsik. Jadi, argumentasi bahwa ketiadaan UN
membuat siswa malas belajar pun terbantahkan.

Berbagai penelitian seputar seleksi penerimaan mahasiswa baru yang
pernah dilakukan di AS menunjukkan, indeks prestasi kumulatif di SMA,
yang merupakan akumulasi dari aneka penilaian yang diberikan oleh
guru, memiliki kemampuan lebih besar dalam memprediksi prestasi
akademis di perguruan tinggi dibandingkan dengan hasil-hasil tes
standar yang didasarkan pada penguasaan materi di SMA, seperti
Standardized Achievement Test II dan American College Testing, maupun
yang didasarkan pada kemampuan umum dalam matematika dan bahasa,
seperti Standardized Aptitude Test.

Di Indonesia pun demikian. Meski masih membutuhkan studi lanjut,
beberapa perguruan tinggi melaporkan, prestasi akademis mahasiswa yang
dijaring melalui penilaian terhadap prestasi selama mengikuti
pembelajaran di sekolah menengah atas—sebagaimana tecermin pada nilai
rapor—ternyata lebih stabil ketimbang prestasi mahasiswa yang diterima
melalui jalur-jalur lain (Kompas, 18/11/2009).

UN dan kualitas pendidikan

Asumsi bahwa ujian kelulusan dapat meningkatkan kualitas pendidikan
perlu diuji karena kesimpulan hasil-hasil penelitian kerap bertolak
belakang. Phelps (2001), misalnya, menyimpulkan, ujian kelulusan dapat
meningkatkan prestasi akademis siswa untuk mata pelajaran yang
diujikan, tetapi Amrein dan Berliner (2003) menunjukkan tidak ada
kontribusi positif yang signifikan. Sementara itu, Dee dan Jacob
(2006) dan Zwick (2004) malah menunjukkan, ujian kelulusan hanya
meningkatkan prestasi akademis bagi siswa yang berasal dari keluarga
dengan status sosial ekonomi lebih tinggi.

Perlu diingat, siswa-siswi di Finlandia mampu mencatat prestasi
gemilang dalam The Programme for International Student Assessment
meski tak ada ujian kelulusan. Satu-satunya ujian berskala nasional
yang dilaksanakan adalah ujian matrikulasi sebagai syarat untuk
menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

Tes-tes standar yang berdampak besar terhadap masa depan siswa dan
berbagai indikator prestasi siswa lainnya, termasuk tes-tes untuk
tujuan pemetaan maupun indeks prestasi siswa di sekolah, terkait erat
dengan status sosial ekonomi siswa dan kondisi sekolah (Zwick, 2004).
Lani Guinier, profesor di Harvard University, bahkan menyatakan, SAT
lebih tepat dipandang sebagai tes untuk mengukur tingkat kesejahteraan
daripada prestasi siswa (Zwick, 2004).

Keterkaitan antara status sosial ekonomi orangtua dan kondisi sekolah
dan prestasi akademik siswa telah mendapatkan dukungan empiris yang
kokoh, bahkan melalui penelitian yang menggunakan data dari berbagai
negara (Willms, 2006; Fuchs, 2007). Keberpihakan sistem pendidikan
pada kaum kaya juga tecermin pada tingginya angka putus sekolah di
kalangan masyarakat tidak mampu, antara lain karena besarnya porsi
biaya pendidikan yang masih mereka tanggung (Kompas, 25/11/2009).

UN pascaputusan MA

UN masih dapat digunakan untuk pemetaan mutu pendidikan di Tanah Air,
tetapi bukan sebagai syarat kelulusan, sepanjang terdapat kejelasan
dan konsistensi bantuan atau intervensi bagi sekolah-sekolah yang
dianggap belum memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Pemetaan mutu
pendidikan tanpa kejelasan umpan balik seperti teramati saat ini hanya
merupakan pemborosan anggaran negara dan menjadi beban masyarakat.

Karena itu, ketimbang mengajukan peninjauan kembali atas putusan
Mahkamah Agung, akan lebih strategis bila pemerintah mengerahkan
segala daya untuk menyelesaikan akar masalah kualitas pendidikan.
Caranya, dengan membenahi standar-standar nasional pendidikan lainnya,
termasuk meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana, dan akses
informasi yang memadai, sebagaimana tercantum pada putusan pengadilan
yang telah mendapatkan pengukuhan Mahkamah Agung.

Elin DrianaMendalami Bidang Riset dan Evaluasi Pendidikan; Salah
Seorang Koordinator Education Forum

http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2009/11/30/ 02393416/ mitos-mitos. ujia...


0 komentar:

Posting Komentar