Desain Besar Pendidikan
Pendidikan bukan obat mujarab bagi berbagai macam persoalan yang dihadapi
bangsa ini. Meski demikian, dengan mendesain kebijakan pendidikan secara
baik dan sinambung, hal itu mampu memberi sumbangan yang bermakna bagi
perubahan tatanan masyarakat.
Sayang, kebijakan pendidikan kita lebih banyak didasari perilaku reaktif
untuk memenuhi kebutuhan sesaat dan sering kontraproduktif bagi dunia
pendidikan sendiri. Mendesain kebijakan pendidikan secara integral merupakan
keharusan.
Mengawali tugasnya sebagai Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh
melempar dua wacana penting, masalah integrasi evaluasi pendidikan dan
pentingnya mendesain pendidikan yang mampu membentuk karakter budaya, bukan
sekadar membentuk siswa menjadi individu yang santun, tetapi juga memiliki
keingintahuan intelektual yang bermuara pada keunggulan akademis. Integrasi
pendidikan dan pembentukan karakter merupakan titik lemah kebijakan
pendidikan nasional kita selama ini.
Jika dua hal ini ingin menjadi sasaran Mendiknas, mau tidak mau harus berani
mengkritisi kembali aneka macam kebijakan pendidikan yang telah lalu. Ada
beberapa kebijakan pendidikan warisan Mendiknas sebelumnya yang harus
ditelaah kembali karena tidak didasari sikap pikir jangka panjang, tetapi
hanya untuk memenuhi kebutuhan reaksioner sesaat.
*Tiga keprihatinan*
Pertama, perubahan kebijakan proporsi pendidikan untuk menciptakan lebih
banyak sekolah menengah kejuruan (SMK) dibandingkan dengan sekolah menengah
atas (SMA) dengan rasio 70-30. Kebijakan ini amat reaksioner, tidak
memerhatikan kepentingan jangka panjang kebutuhan nasional bangsa akan
lahirnya generasi peneliti dan tenaga-tenaga terdidik secara akademis.
Di banyak tempat, perubahan rasio ini telah mematikan SMK-SMK swasta yang
sudah mengalami krisis siswa sejak beberapa tahun. Partisipasi masyarakat
dalam dunia pendidikan berkurang karena matinya sekolah-sekolah kejuruan
swasta akibat gelojoh pemerintah dalam mendirikan SMK hingga ke pelosok.
Perlu diingat, banyaknya pengangguran terdidik dari perguruan tinggi ataupun
lulusan SMA tak akan serta-merta diatasi dengan mendirikan SMK. Masalah
pengangguran bukan soal utama dunia pendidikan, tetapi persoalan politik
ekonomi yang kurang mampu memberikan keadilan bagi terciptanya lapangan
pekerjaan. Sekolah tidak memiliki tanggung jawab menciptakan lapangan
pekerjaan. Tugas mereka adalah mendidik dan membentuk mereka menjadi
individu yang cerdas sehingga mereka menjadi lebih bermartabat dan dapat
berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat.
Selain itu, perubahan proporsi ini akan memperkecil kesempatan siswa masuk
perguruan tinggi (PT). Pada masa depan, PT memiliki posisi strategis dalam
menjaga keberlangsungan hidup masyarakat melalui kinerja penelitian dan
keilmuan yang dimiliki. Kita akan kehilangan banyak dokter, peneliti,
ilmuwan, dan lainnya karena kebijakan pendidikan kita lebih mengarahkan
siswa pada akuisisi kemampuan dan keterampilan teknik, sedangkan refleksi
filosofis intelektual yang memiliki rigoritas akademis kian berkurang.
Kedua, perubahan proporsi kebijakan ini tidak didasari cara berpikir
integral, bukan hanya tentang keberlanjutan kompetensi akademis, tetapi juga
pemahaman akan fungsi evaluasi itu sendiri.
Dari segi keberlanjutan kompetensi akademis, menciptakan lebih banyak SMK,
sementara lupa mengintegrasikannya dengan membangun akademi atau politeknik
sesuai kompetensi yang dibutuhkan, hanya akan menciptakan tenaga kerja murah
dan hanya menguntungkan perusahaan swasta karena mereka tak perlu membiayai
ongkos pelatihan untuk perekrutan karyawan yang baru, sementara beban
seperti ini ditanggung negara.
Perubahan proporsi SMA-SMK dianggap merupakan bagian tugas Ditjen Pendidikan
Dasar dan Menengah, sedangkan pendirian pendidikan setingkat akademi
merupakan bagian kinerja Ditjen Pendidikan Tinggi. Dua direktorat jenderal
ini harus bekerja sama menciptakan program pendidikan yang sinambung
sehingga mereka yang masuk SMK memiliki kesempatan melanjutkan ke politeknik
atau akademi yang setingkat dengan PT. Melulu membangun SMK tanpa dibarengi
pengembangan politeknik dan akademi hanya akan melahirkan tenaga kerja
murah.
Dari segi evaluasi, ujian nasional (UN) SMK dan SMA bermasalah. Hasil UN
tidak akan bisa dipakai untuk melanjutkan ke PT karena tujuan evaluasi yang
dibutuhkan oleh SMK/SMA dan PT amat berbeda. Dengan demikian, UN hanya akan
menjadi pemborosan anggaran negara. Negara dan rakyat ditipu karena telah
mengalokasikan uang untuk membuat evaluasi yang salah sasaran. Keinginan
pemerintah untuk mengajukan peninjauan kembali atas putusan Mahkamah Agung
tentang kebijakan UN menunjukkan bahwa pengambil kebijakan ini tuli dengan
suara rakyatnya sendiri.
Ketiga, pembentukan karakter bangsa dalam konteks pendidikan harus bermuara
pada keunggulan akademis. Tugas utama sekolah adalah membentuk anak-anak
yang cerdas, pintar, kritis, yang mampu memahami tatanan sosial masyarakat
menjadi lebih baik sehingga mereka mampu terlibat secara aktif dalam
kehidupan masyarakat.
Mengajarkan kesantunan, tata krama, membentuk siswa menjadi anak yang saleh
dan rajin berdoa, tentu menjadi bagian integral kinerja pendidikan, tetapi
ini bukan tugas utama sekolah. Ini adalah tugas semua warga masyarakat
Indonesia. Memupuk keingintahuan intelektual, seperti diindikasikan
Mendiknas yang baru, merupakan tugas utama sekolah.
Kebijakan pendidikan yang dipikirkan secara matang dan berkesinambungan
seharusnya menjadi orientasi bagi pemerintah dalam mendesain pendidikan
nasional. Kebutuhan sesaat akan tetap berubah, tetapi menciptakan sebuah
generasi yang memiliki keunggulan akademis kiranya menjadi tugas abadi
setiap lembaga pendidikan.
Inilah yang seharusnya menjadi desain besar pendidikan nasional kita.
*Doni Koesoema AAlumnus Boston College Lynch School of Education, Boston, AS
0 komentar:
Posting Komentar