Tinjau Ulang Ujian Nasional

Mahkamah Agung kembali memenangkan gugatan masyarakat lewat citizen
law suit terkait penyelenggaraan ujian nasional.


Kasasi yang diajukan pemerintah yang menolak putusan pengadilan tinggi
soal kemenangan masyarakat atas gugatan ujian nasional dinyatakan
ditolak MA (Kompas, 25/11/2009). Keputusan MA ini menunjukkan
pemahaman yang lebih baik tentang esensi pendidikan daripada yang
ditunjukkan Depdiknas yang bersikukuh melaksanakan ujian nasional.

Berbagai argumentasi sudah dikemukakan para pakar, pemerhati, praktisi
pendidikan, orangtua, dan siswa sendiri untuk menggugat kebijakan
ujian nasional. Sementara pemerintah masih akan kembali melakukan
upaya hukum terakhir, yakni pengajuan peninjauan kembali. Sebaiknya
semua pihak yang terlibat proses hukum ini bersikap arif dan
mempertimbangkan realitas penyelenggaraan ujian nasional dan prinsip-
prinsip evaluasi pendidikan.

Indikator mutu

Hasil ujian nasional bukan indikator mutu pendidikan. Model assessment
seperti dalam ujian nasional (mengambil bentuk pilihan ganda untuk
kemudahan administrasi) menguji kemampuan menghafal fakta dan
kemampuan berpikir konvergen. Sementara berbagai persoalan dalam
kehidupan membutuhkan kemampuan berpikir divergen, kreativitas,
keterampilan memecahkan masalah, daya analisis, dan kemampuan
mendesain.

Penetapan standar nasional pendidikan dan evaluasi berdasar ujian
nasional dilandasi mitos, ketakutan, dan kelatahan. Dalam berbagai
forum pendidikan, perbandingan antarnegara berupa hasil tes anak
sekolah sering ditampilkan dan dijadikan alasan pembenaran
penyelenggaraan ujian nasional yang diharapkan memacu prestasi dan
daya saing global.

Tampaknya, ketakutan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga
di AS. Dalam buku barunya, Catching Up or Leading the Way, Prof Yong
Zhao asal China yang mengajar di Michigan State University
menyayangkan kebijakan No Child Left Behind (NCLB) oleh pemerintahan
George W Bush yang mengharuskan ujian matematika, bahasa, dan sains
secara nasional. Kebijakan ini dianggap sebagai kediktatoran di bidang
pendidikan. Penghargaan terhadap sekolah yang siswanya berhasil dalam
ujian nasional dan sebaliknya sanksi terhadap sekolah yang tidak
berhasil telah menimbulkan ketersesatan dalam praktik pendidikan.

Buku ini merupakan hasil penelitian Yong Zhao terhadap pendidikan di
China. Ironis, China, yang dulu amat menekankan perolehan pengetahuan
dengan penghafalan fakta, menyadari kekeliruan. Pada dekade terakhir
ini China mulai beralih pada proses pendidikan yang mendorong
kreativitas. China mengakui dan mengagumi sistem pendidikan AS yang
berhasil mengantar pemikir, ilmuwan, dan pejuang HAM melalui
penghargaan terhadap kreativitas. Justru pada pemerintahan Bush, mutu
pendidikan direduksi menjadi hasil ujian standar.

Apakah kebijakan ujian nasional di Indonesia terinspirasi dan didorong
oleh ketakutan serupa seperti terjadi di AS? Apa pun latar
belakangnya, kebijakan ujian nasional sebagai penentu kelulusan dan
indikator keberhasilan institusi pendidikan atau suatu kabupaten/kota
harus ditinjau ulang karena telah menimbulkan lebih banyak kerusakan
daripada manfaat dalam praktik pendidikan.

Kerusakan dalam sistem

Yang diuntungkan oleh kebijakan ujian nasional adalah pengelola
bimbingan belajar dan penerbit buku-buku soal. Yang menyedihkan adalah
ketergelinciran sebagian stakeholders pendidikan dalam menyikapi
kebijakan ujian nasional. Proses di kelas 6, 9, dan 12 berubah menjadi
kegiatan bimbingan belajar. Bahkan banyak sekolah sudah mengundang
masuk dan meng-outsource- kan pendidikan siswa kepada bimbingan
belajar. Yang paling tragis, pendidik terjerumus dalam tindakan
tercela, mulai dari pencurian soal, mengganti jawaban siswa, memberi
contekan kepada siswa, hingga membiarkan siswa mencontek.

Keterjerumusan ini juga terjadi di AS. Steven Levitt dan Stephen
Dubner (Freakonomics) mencermati perilaku para guru di sekolah-sekolah
negeri di Chicago yang menampung 400.000 siswa setiap tahun. Data
30.000 siswa per tahun dalam bentuk 100 juta jawaban pada ujian
pilihan ganda matematika dan membaca, dianalisis dengan menggunakan
algoritma. Ditemukan beberapa kejanggalan pola jawaban yang mengarah
pada kecurangan yang dilakukan guru (mengganti jawaban siswa).
Penelitian ini berujung pada pembuktian 5 persen guru di Chicago
terlibat kecurangan. Dalam penelitian lain terhadap para guru di
Negara Bagian North Carolina, 35 persen guru menyatakan mereka
menyaksikan rekannya bertindak curang untuk ”meluluskan” siswanya.

Bagaimana dengan di Indonesia? Sebenarnya kasus-kasus serupa sudah
diungkap di berbagai tempat. Pejabat pendidikan di tingkat nasional
dan daerah menganggap enteng masalah ini dan menganggapnya sebagai
kasus kecil dan tidak berarti. Mungkinkah kasus-kasus kecurangan dan
manipulasi ujian nasional di Indonesia diungkap secara gamblang dan
transparan? Bisa saja penguasa pendidikan melindungi dan menjaga ketat
data ini sehingga kita tidak pernah tahu secara akurat, seberapa jauh
kerusakan telah terjadi dalam sistem.

Namun, beberapa kasus, di mana guru tertangkap basah bertindak curang
dan telah diungkap di media, sudah cukup untuk menyatakan kebijakan
ujian nasional harus ditinjau ulang. Guru, sosok yang patut digugu lan
ditiru, justru memberi contoh ketidakjujuran karena adanya tekanan
sistemik berdasar ujian nasional. Ini merupakan tragedi nasional dan
penjungkirbalikan esensi pendidikan.

Anita Lie Guru Besar Unika Widya Mandala, Surabaya; Anggota Komunitas
untuk Demokrasi

3 komentar:

  1. Unknown mengatakan...

    Setuju dengan tulisan anda, Saya hanya ingin menambahkan bahwa dengan adanya UN orang tua murid lebih mempercayai BIMBEL daripada guru anaknya,sehingga berapapun biaya BIMBEL langsung tebak saja.Selain itu UN telah memarginalkan mata pelajaran lainnya,karena siswa hanya berpatokan pada mata pelajaran yang diUNkan saja,seolah-olah pelajaran tersebut lebih penting dan bisa membawanya sukses dikemudian hari bila lulus sekolah atau kuliah.Padahal setelah lulus ada yang menjadi seniman, mubaligh,karyawan,wiraswasta,PNS,POLISI,TNI yang semata-mata tidak tergantung pada mata pelajaran yang diUNkan.

  2. Unknown mengatakan...

    Setuju dengan tulisan anda, Saya hanya ingin menambahkan bahwa dengan adanya UN orang tua murid lebih mempercayai BIMBEL daripada guru anaknya,sehingga berapapun biaya BIMBEL langsung tebak saja.Selain itu UN telah memarginalkan mata pelajaran lainnya,karena siswa hanya berpatokan pada mata pelajaran yang diUNkan saja,seolah-olah pelajaran tersebut lebih penting dan bisa membawanya sukses dikemudian hari bila lulus sekolah atau kuliah.Padahal setelah lulus ada yang menjadi seniman, mubaligh,karyawan,wiraswasta,PNS,POLISI,TNI yang semata-mata tidak tergantung pada mata pelajaran yang diUNkan.

  3. Diktat Kuliah Manajemen mengatakan...

    aku setuju.. UN hanya bagus secara data.. kenyataan di lapangan??? mungkin kita juga perlu memikirkan konsen pendidikan melalui distance learning business and management agar bangsa kita tambah maju

Posting Komentar