SEPANJANG sejarah, manusia secara alamiah selalu mencari bentuk
standar ertinggi dan terbaik untuk setiap asek kehidupannya. Dalam
berbelanja sesuatu seperti motor, mobil, sepeda, hingga barang
kebutuhan dapur seperti sayur, bumbu, dan buah-buahan kita cenderung
mencari barang yang berkualitas. Pergi ke restoran, tempat wisata,
hingga tempat untuk anakanak kita bersekolah pun kita selalu mencari
tempat yang berkualitas. Untuk hal yang terakhir ini, banyak orang tua
dengan kemampuan finansial yang cukup akan dengan mudah
mendapatkannya. Tetapi masyarakat dengan kemampuan ekonomi lemah, rata-
rata mencari sekolah tanpa mempertimbangkan kualitas karena mereka tak
memiliki cukup opsi. Kualitas, dengan demikian, merupakan kebutuhan
asasi manusia yang selalu dicari dan diusahakan untuk kesempatan
menikmati hidup menjadi lebih baik.
Jika ditanya dari mana semua nilai kualitas hidup itu berasal? Maka
sekolah atau kualitas pendidikan adalah jawaban pastinya. Hampir semua
sektor kehidupan, mulai dari kualitas demokrasi atau kehidupan
politik, sosial, budaya, ekonomi, hukum hingga agama bermula dari
bagaimana sekolah atau pendidikan dikelola. Karena itu dapat kita
bayangkan, betapa tertekannya posisi sekolah karena mereka harus
mempertanggungjawab kan kualitas yang diharapkan oleh semua sektor
kehidupan manusia. Tak banyak orang tersadar bahwa kondisi sektor
pendidikan yang sudah tertekan tersebut rentan terhadap segala bentuk
manipulasi. Karena, prosesnya tidak jarang dikotori oleh kepentingan-
kepentingan yang justru tidak bertanggung jawab. Dalam konteks ini,
agenda kebijakan tentang ujian nasional bisa jadi merupakan salah satu
contoh rentannya posisi sekolah sebagai produsen kualitas berbagai
aspek kehidupan manusia.
Kondisi pendidikan atau situasi persekolahan saat ini mengalami banyak
sekali tekanan, baik secara internal maupun eksternal. Secara
internal, sekolah belum memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi
aspek-aspek yang menjadi kelemahan mendasar seperti kualit as guru,
infrastruktur yang memadai, efektivitas manajemen, dan relasi sekolah-
masyarakat. Adapun secara eksternal, meskipun telah memiliki undang
undang tentang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003, dalam
praktiknya masih terdapat kesalahan mendasar dalam menafsir masalah
otonomi pendidikan, sistem pengu jian, hingga kebijakan pengembangan
kuriku lum yang selalu membuat pelaksana pendidi kan bertambah
bingung. Padahal, menurut penelitian Elmore dan Fuhrman (2001), sebuah
proses pendidikan akan baik dan berkualitas jika masalah yang
berkaitan dengan tanggung jawab internal sekolah mendapatkan prioritas
terlebih dahulu untuk diselesaikan.
Posisi sekolah Keluarnya keputusan Mahkamah Agung terkait pelaksanaan
ujian nasional sudah pasti akan menimbulkan pro dan kontra. Pe
merintah, seperti biasa, pasti akan bertahan habis-habisan untuk
membela kebijakan soal UN yang secara program sudah baku dan dana
untuk itu telah tersedia. Meskipun pihak kementerian pendidikan akan
melakukan peninjauan kembali terhadap keputusan MA tersebut, dapat
dipastikan sekolah akan tetap memiliki posisi yang sangat dilematis.
Alasan nya sangat sederhana, yaitu jika sekolah i. menolak UN, artinya
secara internal mereka harus mempersiapkan mekanisme evaluasi yang
memadai sehingga anak-anak tetap akan memperoleh ijazah akhir
kelulusan. Tetapi jika menerima UN, mereka juga harus bersiap dengan
tekanan soal target kelulusan yang biasanya dipatok pihak dinas
pendidikan masing-masing. Posisi sekolah, dalam bahasa Berube (2004)
dan Solomon (2002), terjebak antara belum terpenuhinya unsur
kesetaraan finansial dan kemandirian kapasitas yang dibalut oleh
kesewenang-wenangan aturan yang dibuat oleh pemerintah.
Tafsir pemerintah kian terlihat sewenangwenang ketika mereka
menerbitkan Peraturan Mendiknas (Permendiknas) Nomor 45 Ttahun 2006
tentang Ujian Nasional. Dalam peraturan ini UN merupakan program
nasional yang harus jalan karena ia merupakan tugas nasional. Sekolah,
dengan demikian harus menerima tafsir ini sebagai satu-satunya cara
dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui ketetapan kelulusan dan
ketidaklu-lusan siswa. Dalam Permendiknas Pasal 3 disebutkan bahwa
`Ujian nasional bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara
nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran
ilmu pengetahuan dan teknologi.' Padahal pada Pasal 4 Permendiknas
yang sama disebutkan bahwa UN juga seharusnya dimaksudkan untuk
melakukan pemetaan mutu guru dan sekolah, selek-si masuk ke jenjang
pendidikan berikutnya, akreditasi dan dasar pembinaan maupun pemberian
bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu
pendidikan.
Perbedaan penafsiran antara pemerintah dan komunitas sekolah terhadap
UndangUndang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
terjadi pada Pasal 58 ayat 1 dan 2. Dalam Pasal 58 ayat 1 disebutkan
bahwa `Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik
untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta
didik secara berkesinambungan. ' Adapun pada ayat 2 disebutkan bahwa
`Evaluasi peserta didik, sat u a n pendidikan, dan program pendidikan
dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan,
dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.'
Akal sehat kita pasti akan menafsirkan bahwa ayat 1 di atas dengan
jelas menyebutkan bahwa penanggung jawab evaluasi hasil belajar siswa
adalah pendidik (guru) di sekolahnya masing-masing, bukan pemerintah.
Logika ini sangat jelas dan terang benderang, meskipun pemerintah
memiliki interpretasi berbeda dengan mengatakan bahwa yang membuat
soal UN adalah para guru, sehingga UN tidak melanggar undang-undang.
Meskipun interpretasi pemerintah terlihat masuk akal, jelas penafsiran
tersebut lepas dari konteks ayat dan permasalahan yang dimaksud dalam
Pasal 58 tersebut. Bisa dibayangkan, betapa tidak adilnya jika yang
membuat soal UN adalah guru di Jakarta, tetapi yang mengerjakan adalah
anak didik di Aceh dan Papua yang tidak dipantau dan diajar oleh guru
yang ada di Jakarta. Lagi pula, baik ayat (1) maupun ayat (2) dalam
Pasal 58 UndangUndang Nomor 20 tahun 2003 tidak menyebut secara
eksplisit kata `ujian nasional'. Kata `pencapaian standar nasional'
dalam Pasal 2 tentu saja tidak harus dicapai melalui UN, tetapi
melalui banyak cara, jalan, dan pendekatan, tergantung pada standar
minimum yang ingin kita penuhi. Ini artinya pemerintah harus
memosisikan sekolah sebagai partner yang harus dipercaya untuk
menyelenggarakan evaluasi secara mandiri (Darmaningtyas, Edukasi, Vol
5, Nomor 1, 2007).
Pemerintahan SBY-Boediono harus memerintahkan Mendiknas saat ini agar
patuh pada putusan Mahkamah Agung. Sebab jika tidak, dikhawatirkan hal
ini akan menjadi bola liar seperti kasus kriminalisasi KPK beberapa
waktu lalu. Jelas sekali bahwa pemerintah harus menanggalkan
egosentrisme mereka agar tak terjebak pada tafsir yang kaku terhadap
undang-undang tentang sistem pendidikan nasional secara formal. Mereka
harus belajar untuk membaca aspek psikologis para guru dan siswa di
sekolah serta orang tua yang tertekan karena UN dijadikan sebagai
landasan kelulusan satu-satunya. Pemerintah perlu merevisi keputusan-
keputusan Mendiknas tentang upaya peningkatan mutu pendidikan yang
melupakan banyak sekali sisi faktual kondisi pendidikan yang belum
sepenuhnya dibenahi.
Masih relevankah UN?
Dalam banyak literatur tentang pentingnya pengujian dan standardized
test seperti UN, visi yang paling mendasar adalah berkaitan dengan
equity; baik dalam terminologi kesempatan (opportunity) maupun hasil
(outcomes) (Thompson, 2001). Problemnya dengan UN kita adalah bahwa
pemerintah belum secara maksimal menganalisis dan meriset dengan baik
aspek equity tersebut dalam konteks menyiapkan standar minimum yang
harus dipenuhi. Hak dasar ini men jadi penting dalam rangka
memperbaiki logika memperbaiki logika yuridis pemerintah dalam
menerjemahkan `pencapaian standar nasional' pendidikan kita. Dalam
bahasa El more and Fuhrman (2001), pe merintah harus secara teliti dan
bi jaksana memberi kan advo kasi dan pen dampingan se cara benar ke
pada seluruh sekolah untuk memperbaiki sendiri per formansi EDDY
mereka secara b e r t a h a p d a n bertanggung jawab. Dalam studi
Elmore and Fuhrman (2001) ditemukan bahwa efek pengujian semacam UN
hanya membuat para guru bekerja lebih keras dan meluangkan waktu lebih
banyak, tetapi bukan untuk meningkatkan mutu proses belajar-mengajar,
melainkan hanya untuk nilai semata-mata.
Selain itu pemerintah juga harus menyadari bahwa dalam praktiknya, UN
memunculkan fenomena baru dalam pembiayaan pendidikan. Kita semua
seperti berlombalomba menghabiskan dana pendidikan untuk pencapaian
sebuah nilai, bukan tujuan.
Temuan sangat menarik dikemukakan dalam studi McNeil (2000) dan Nathan
(2002), bahwa biaya terbesar yang dikeluarkan oleh para orang tua dan
masyarakat dalam pendidikan anak-anak mereka ternyata bukan di
sekolah, melainkan di pusat-pusat bimbingan belajar yang mengajarkan
kepada anak-anak kita konsep drilling, serbainstan, fokus sesaat dan
disiplin untuk tujuan nilai atau scores, bukan tujuan dasar
pendidikan.
Sudah saatnya biaya pendidikan dialihkan menjadi `Spend money to
support goals, not scores'.
Oleh Ahmad Baedowi Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
anax1a.pressmart.net
Read More......