Ekskul Peternakan Lebah : Kalau Tak Tahan, Demam Dua Hari
Punya ekstrakurikuler peternakan lebah? Wah, pasti ngeri-ngeri sedap. Ngeri
karena sengatan lebahnya. Sedap karena manis madunya dan tentunya bisa
sedikit show off punya ekstrakurikuler yang tak bisa dikatakan biasa.
Meski ngeri-ngeri sedap, tetapi puluhan siswa-siswi SMAN 1 Pangkalankerinci
tetap saja memilih mengikuti ekstrakurikuler yang penuh tantangan itu.
Meskipun kadang-kadang dilanda ketakutan juga saat operasi lebah yang rutin
dilaksanakan dua minggu sekali dilaksanakan. Di mana mereka memiliki tugas
untuk melakukan perawatan sarang lebah yang berbentuk kotak tersebut.
Bayangkan saja, mereka harus membersihkan kotoran lebah di sela-sela
sisirannya yang penuh dengan gerombolan lebah itu. Atau mereka harus
memberikan oli pada tiang penyangga dan membuang telur calon ratu agar tidak
terbentuk koloni baru. Nah, kalau lebahnya lagi tidak bersahabat, alamat
lima sampai sepuluh sengatan lebah harus mereka rasakan.
Itu sebabnya, bagi siswa-siswi yang baru bergabung dalam ekstrakurikuler
ini, tidak akan berani dekat-dekat saat operasi lebah dilaksanakan.
Setidaknya, Kamis (23/12) dua pekan silam, Riau Pos bersama puluhan
siswa-siswi ekstrakurikuler BeeSaa harus menjaga jarak dan siap-siap kabur,
saat Agus Yogi Radi Pradipta, Ketua Ekstrakuler BeeSaa melakukan operasi
lebah untuk menunjukkan madu lebah yang terperangkap di sela-sela sisiran
sarang lebah.
Namun bagi siswa-siswi BeeSaa yang sudah senior, mereka tak lagi khawatir
dengan sengatan lebah. “Memang sakit pertama disengat lebah. Jika tidak
tahan antibodinya maka bisa demam selama dua hari. Tapi kalau sudah
terbiasa, sepuluh sengatanpun tidak apa-apa,” ungkap Bayu Saputra, anggota
BeeSa, Selasa (28/12) sore, yang hari itu bertugas bersama rekan-rekannya
melaksanakan operasi lebah.
Bayu menambahkan, kalau sudah terbiasa disengat lebah, maka paling-paling
mereka hanya merasakan bengkak sedikit selanjutnya akan sembuh dengan
sendirinya. Meskipun begitu, anak-anak BeeSaa tetap melakukan proses operasi
lebah dengan perlengkapan standar. Misalnya mereka menggunakan alap pengasap
untuk menjinakan lebah madu yang agresif, masker dan baju pelindung.
Selain harus berani, para siswa yang ikut ekstrakurikuler BeeSaa ini juga
harus telaten dan dan mau berkorban waktu untuk merawat lebah-lebah mereka.
Jadi, meskipun waktu libur panjang sekolah, tetap saja, di antara mereka
harus ada yang melakukan operasi lebah.
***
Menurut Salmiati MPd, pembina ekstrakurikuler BeeSaa, kegiatan ekstrakuler
itu dilatarbelakangi karena dulu Pangkalankerinci terkenal sebagai daerah
penghasil madu lebah. Itu karena dulu, Pangkalankerinci sangat kaya dengan
hutan alam dataran rendah. Namun sekarang seiring dengan makin berkembangnya
Kota Pangkalankerinci maka hal itu jadi berkurang.
“Oleh karena itu, kami ingin mempopulerkan kembali. Sekaligus memperkenalkan
kepada masyarakat, bahwa lebah madu itu tidak saja dapat diambil dari alam.
Tetapi juga dapat diternakan,” ujar perempuan yang biasa dipanggil Cik Salmi
oleh siswanya ini, Jumat (31/12) petang.
Sementara tujuan di sekolah untuk media pembelajaran bagi warga sekolah
khususnya siswa untuk cinta lingkungan dan lebih dekat dengan alam. Karena
dalam usaha peternakan lebah itu, syarat terpenting bahwa sekolah tersebut
harus rindang dengan pepohonan dan dipenuhi oleh bunga-bunga. Kalau itu
tidak ada, maka tidak mungkin bisa didapatkan madu.
Selain itu, ekstrakurikuler BeeSaa sekaligus menjadi laboratorium alam bagi
para siswa untuk belajar tentang insekta. “Kita tahu, bahwa lebah itu
mengalami metamorfosis sempurna. Nah, dengan beternak lebah, maka para siswa
akan lebih jelas tentang hal itu. Begitu juga bagaimana keterkaitan
pentingnya keseimbangan alam. Terlihat bahwa lebah tidak bisa menghasilkan
madu tanpa ada tumbuhan berbunga di sekitarnya. Yang jelas banyak hal yang
bisa dipelajari siswa lewat ekstrakurikuler ini,” lanjutnya.
Ditanya bagaimana awal mulanya ekstrakurikuler ini terlaksana? Cik Salmi,
menceritakan bahwa kegiatan ini telah dirintis sejak tahun 2007 lalu.
Dimulai dengan melakukan observasi lapangan dan mengikuti pelatihan
peternakan lebah di Kabupaten Kampar. Setelah mendapat bekal ilmu yang cukup
maka mereka melakukan uji coba mengembangkan satu block (satu kotak sarang
lebah) di SMAN 1 Pangkalankerinci.
Ternyata hasilnya cukup memuaskan. Maka tahun 2008 mereka mengembangkannya
menjadi lima block. Setelah itu dikembangkan lagi tahun 2009 dengan dua
block tambahan. Pada tahun 2009 itu juga, ternyata para siswa berhasil pula
mengembangkan dua block hasil tangkaran sendiri.
“Dulu semua bibit lebahnya dibeli. Namun tahun 2009, sudah ada yang
ditangkarkan sendiri. Jadi totalnya sekarang ada sembilan,” ujar Salmiati.
***
Sarang lebah yang diternakan oleh ekstrakurikuler BeeSaa ini berbentuk kotak
persegi panjang. Warnanya putih. Jumlahnya ada sembilan. Terletak berdiri di
beberapa bagian sudut sekolah. Salah satunya di tepi lapangan bola, di
halaman belakang sekolah.
Dulu di luar halaman belakang sekolah ini, terdapat rimbunan pepohonan yang
cukup luas. Sehingga, lebah-lebah yang mereka ternakan cukup bisa memenuhi
kebutuhan pakan mereka. Tetapi beberapa waktu terakhir ini, rimbunan
pepohonan yang terdapat di sekitar areal sekolah mereka sudah mulai
ditebangi. Kabarnya akan dijadikan perumahan.
Memandangi sekeliling sekolah mereka tak lagi rimbun dengan pepohonan
menjadi kekawatiran tersendiri bagi anak-anak BeeSaa. Sebab tanpa rimbunan
pepohonan itu, lebah-lebah mereka akan kesulitan mencari pakan. Bila itu
terus menerus terjadi, alamat peternakan lebah mereka tinggal kenangan.
“Kita sudah mengantisipasinya dengan mengusahakan untuk melakukan
penghijauan di sekolah. Termasuk juga melakukan penanaman bunga-bungaan.
Tapi jumlahnya sangat terbatas. Kita tidak punya banyak biaya untuk membeli
bibit dan melakukan perawatan. Jadi kami berharap ada pihak-pihak yang bisa
membantu melakukan upaya penghijauan di Sekolah kami. Seperti memberikan
bibit gratis, pupuk dan mungkin pot bunga,” ujar Cik Salmi yang saat ini
juga menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan.
Selain persoalan penghijauan, persoalan peternakan lebah madu juga
menghadapi persoalan kekurangan sarana dan prasarana peternakan lebah.
Menurut Agus Yogi, akibat kurangnya sarana prasarana tersebut, seluruh
anggota Beesa tidak bisa melaksanakan praktek secara leluasa. Ilmu yang
mereka dapat pun tidak maksimal.
Misalnya, menurutnya, masker baju saat ini hanya tersedia satu buah saja.
Begitu juga dengan sarung tangan juga masih sangat kurang. Semua itu,
tambahnya, menyulitkan anggota BeeSa untuk beraktivitas secara bersamaan.
Apalagi jika ada tamu dari sekolah atau organisasi lain yang ingin melihat
dan mencoba secara langsung cara berternak lebah. Maka para anggota BeeSa
hanya dapat menceritakan dan memberikan teori tanpa praktek.
Semoga ada pihak-pihak yang mau membantu BeeSaa bertahan dengan melakukan
penghijauan di sekolah mereka serta melengkapi sarana prasarana mereka
beternak lebah.***
0 komentar:
Posting Komentar