Antara Kami Anak Bangsa, Pemerintah dan Pendidikan

*Oleh : Ahmad Nazarudin

*KabarIndonesia -* Krisis ekonomi dan krisis finansial seperti yang terjadi
pada tahun 1998 dan 2008 pada umumnya dapat dirasakan dan disadari langsung
oleh masyarakat indonesia. Namun mereka kurang menyadari krisis yang justru
memiliki berdampak lebih besar dan terstruktur, yaitu krisis pendidikan.
Krisis pendidikan di Indonesia semakin parah justru setelah Indonesia
berdemokrasi dan bebas memilih apa yang terbaik untuk rakyat dan lepas dari
belenggu kediktatoran.

Tidak seperti krisis ekonomi, krisis pendidikan ini berimplikasi pelan
tetapi pasti dan sangat kuat dampaknya pada struktur sosial di masa depan.
Bidang utama krisis pendidikan adalah sistem pendidikan yang mengadopsi
sistem pasar dan konsep efisiensi privat atau perusahaan swasta yang dibawa
pada ranah pendidikan yang bersifat publik. Sistem ini sebenarnya sudah
melecehkan konstitusi yang menempatkan Negara sebagai pihak yang
berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa.

Penghayatan terhadap totalitas konstitusi sebagaimana dirumuskan oleh para
pendiri bangsa, konstruksi sosial masyarakat yang sudah terkapitalisasi, dan
ketidakcukpan pemaknaan yang lebih tegas, banyak melahirkan peraturan dan
perundangan yang membawa ideologi yang sama sekali tidak dikehendaki oleh
pendiri bangsa ini. Bahkan ketika konstitusi mengamanatkan dengan jelas
alokasi anggaran untuk pendidikan, masih banyak dimaklumi pemunduran
penerapannya. Bahkan ketika kesempatan itu ada, maka implementasi alokasi
anggaran masih serabutan dan tidak jelas arahnya.

Ideologi dasar sistem pendidikan Indonesia saat ini tak lain adalah ideology
neo-liberal murni, meski masih dibatasi oleh kondisi social. Artinya
kerangka dasar sistem pendidikan Indonesia adalah ideology neoliberal dengan
penyesuaian-penyesuaian kecil yang terlihat peduli pada hak-hak dan beban
social masyarakat. Jadi perhatian pada hak rakyat atas pendidikan hanya
ditempatkan sebagai kendala yang dipenuhi agar sistem utama dapat berjalan.

Dalam sistem pendidikan seperti ini pendidikan ditempatkan sebagai
komoditas, peranan pemerintah diminimalisasi dengan berfokus pada control
kurikulum dan standar melakukan desentralisasi kepada pemerintah daerah atau
dengan kata lain negara melempar kewajibannya pada entisan politik lokal.

Guru, dosen, dan profesi pendidik dininabobokan sebagai pahlawan tanpa tanda
jasa atau dengan kata lain ditempatkan dalam status ekonomi dan kondisi
kerja yang rendah. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan seperti kenaikan
gaji yang tidak signifikan dan tidak merata atau sistem sertifiikasi yang
tidak masuk akal memperkuat asumsi ini.

Indikasi ini dapat dilihat pada semua level pendidikan, dari tingkat dasar
sampai pendidikan tingkat tinggi. Pada sekolah dasar tingkat menengah,
kesenjangan pada sekolah-sekolah negeri sangatlah tinggi. Ada sekolah yang
kaya dan ada sekolah yang miskin. Status sekolah menjadi tergantung kondisi
social ekonomi muridnya, padahal setiap kepala di Negara ini memiliki hak
yang sama dalam menerima pendidikan. Ada sekolah roboh, ada sekolah yang
megah, padahal semua sekolah milik pemerintah kenapa terjadi perbedaan,
bahkan di dalam sekolahpun dibedakan, ada yang masuk rintisan sekolah
bertaraf internasional dan ada sekolah yang biasa saja. Yang satu ber-AC dan
berbahasa inggris, yang satu berkeringat dan berbahasa Indonesia.

Mengapa ada rintisan sekolah bertaraf internasional? Ini adalah wujud
ketidakpercayaan diri pada sekolah nasional atau inferioritas sebagai
bangsa. Kalaupun sekolah bertaraf internasional ini dianggap memiliki
kualitas yang lebih baik kenapa tidak dijadikan standar nasional untuk semua
lini di pendidikan, kenapa diperuntukan hanya untuk kelompok tertentu?

Diskriminasi tidak terjadi hanya ketika kita akan masuk sekolah yang
tersaring dengan tariff mahal, akan tetapi dalam proses di dalamnya pun
terjadi diskriminasi lanjutan. Pada tingkat pendidikan tinggi, universitas
besr dijadikan BHMN (badan hukum milik Negara), sekarang sedang menuju BHP
(badan hukum pendidikan).

Sekolah dan perguruan tinggi didesainn agar berpikir dan bergerak secara
swasta, dengan sebuah asumsi dasar swasta lebih baik dari public atau
pemerintah.

Ketidakadilan structural adalah fenomena yang nyata dalam sistem pendidikan
di Indonesia. Memang sekarang masyarakat dihadapkan pada banyak pilihan
dalam pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, akan tetapi
pilihan itu terletak pada kemampuan membayar. Ini dimulai dengan tingginya
uang masuk sekolah disemua tingkat pendidikan baik negeri maupun swasta.
Akhirnya orang kaya masuk sekolah swasta yang mahal atau sekolah negeri yang
mahal yang dikelola secara swasta. Sedangkan orang miskin harus masuk
sekolah-sekolah negeri atau swasta yang jelek termasuk masuk pesantren yang
murah, atau mereka sama sekali tidak meninkmati pendidikan itu.

Struktur pendidikan seperti ini adalah struktur yang diskriminatif dan tidak
adil, bahkan dapat dikatakan sebagai “aducation apartheid” atau suatu sistem
pendidikan yang memisahkan kelompok masyarakat. Sistem pendidikan seperti
ini tidak bisa menjadikan pendidikan berkualitas baik dan merata. Orientasi
siswa dan pengajar menjadi berubah, pendidikan hanya menghasilkan tukang
yang mensuplai kebutuhan-kebutuhan perusahaan-perusahaan.

Sementara itu pendidikan yang tidak menjadi subsistem atau elemen pasar
menjadi tersingkir. Pendidikan tradisional seperti pesantren terpinggirkan
atau sengaja dipinggirkan dan mati perlahan-lahan. Moderenisasi yang tidak
berakar pada tradisi, dan pengabdian pada “kumpeni” (company) terus
digalakan. Pesantren suatu saat akan menjadi sebuah nama, dan bahkan tidak
dikenal sama sekali.

Lebih sederhananya adalah, sekolah-sekolah madrasah swasta yang sangat minim
mendapat perhatian dari semua unsure/instansi penunjang. Berbeda dengan
perhatian yang diberikan oleh pemerintah kepada sekolah-sekolah madrasah
yang setatusnya negeri. Hal ini dapat menjadikan mutu serta kualitas
pendidikan yang tidak berimbang, serta berdampak pada ketidakadilan dalam
mendapatkan hak pendidikan yang sama, yang masuk ke dalam "UNDANG-UNDANG DAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG STANDAR
NASIONAL PENDIDIKAN."

Tidak ada satu Negara pun yang mengabaikan pendidikan sebagai unsure
pembangunan peradaban suatu bangsa. Hamper dapat dipastiakan semua meyakini
itu. Tapi di Indonesia mengalami kendala tersendiri dalam hal sumber daya
dan infrastruktur pendidikan. Hal ini mungkin terjadi seiring dengan
pembangunan bangsa yang secara umum belum merata, namun tetap saja
seharusnya pemerintah bisa memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia tidak
peduli itu sekolah negeri atau swasta, di kota atau di desa, karena hal
tersebut merupakan tugas dan kewajiban pemerintah.

Indonesia pada kurun waktu terkini mengalami degradasi yang signifikan dalam
hal pendidikan, bahkan pendidikan di Indonesia yang diinsafi sebagai wahana
sosialisasi moral mengalami kemerosotan pada tulang sendi pembangunannya.
Dan hal ini telah berimbas pada rendahnya kualitas pendidikan di banyak
daerah di Indonesia.

Kita masih menunggu dimana semua rakyat Indonesia bisa mendapatkan
pendidikan dengan kualitas yang seharusnya, dan rakyat Indonesia bisa
berbangga dengan sistem pendidikan di negerinya sendiri, yang dimana bisa
mencerdaskan putra-putri bangsa tanpa memeras keringat dan darahnya, tidak
ada perbedaan dalam pendidikan dan tidak ada lagi diskriminasi dalam
pendidikan, semua memiliki hak yang sama sebagai warga Negara Indonesia.
Kita masih menunggu dimana pemerintah bisa lebih arif dan bijaksana dalam
menangani krisis pendidikan ini, dimana pemerintah seharusnya lebih lebih
peduli dan lebih tulus menjalankan kewajibannya dalm mencerdaskan anak
bangsa. Sejuta harapan kita sampaikan kepada pemerintah, kita yakin jika
pemerintah bisa.


0 komentar:

Posting Komentar