Pernyataan HMI : Soeharto Tak Layak Jadi Pahlawan
Tulisan ini juga disajikan dalam website http://umarsaid.free.fr
yang sampai sekarang sudah dikunjungi lebih dari 661 260 kali
===========================
Pernyataan HMI : Soeharto Tak Layak Jadi Pahlawan
Pernyataan Ketua Umum PB HMI mengenai penolakan pemberian gelar pahlawan
nasional kepada Suharto menunjukkan bahwa gelombang penolakan terhadap usul
atau rencana yang berasal dari fikiran sinting atau jiwa yang tidak waras
ini makin meluas di dalam masyarakat.
Perkembangan ini makin kelihatan lebih penting lagi dengan adanya pernyataan
Ketua Umum HMI yang sangat tajam dan keras tentang kesalahan dan kebusukan
Suharto seperti yang disajikan di bawah ini.
Penyataan yang begitu tegas, jelas, dan keras terhadap berbagai ragam
kejahatan dan kesalahan yang dilakukan Suharto yang dimanifestasikan oleh
Ketua Umum ini bisa mempunyai dampak yang penting bagi berbagai kalangan
Islam di Indonesia.
Pendapat HMI (yang diwakili oleh Ahmad Chozin Amirullah) tentang pelanggaran
berat HAM dan korupsi besar-besaran oleh Suharto ini akan membuka mata
banyak kalangan Islam yang masih tetap terus dibutakan oleh sisa-sisa
pendukung Orde Baru, sehingga masih saja menganggap Suharto adalah « orang
baik » dan, karenanya, pantas diberi gelar pahlawan.
Sikap HMI tentang kejahatan Suharto dan dosa-dosa Orde Baru adalah sejalan
atau searah dengan sikap sebagian kalangan muda di NU dan Muhammadiyah, yang
berlainan (bahkan juga berlawanan) dengan sikap keliru kalangan
fundamentalis yang masih tetap menyokong politik Suharto.
Sikap yang anti Suharto beserta Orde Barunya adalah sikap yang bisa
menaikkan martabat atau citra golongan Islam pada umumnya. Sebaliknya,
kalangan Islam yang masih menganggap Suharto pantas dijadikan pahlawan hanya
akan mengotori citra Islam, dan berada di jalan yang sesat.
Paris, 19 Oktober 2010
1.. Umar Said
= = = =
Penyebab HMI Pecah, Soeharto Tak Layak Jadi Pahlawan
Rakyat Merdeka, 18 Oktober 2010
RMOL. Gelombang penolakan pemberian gelar pahlawan kepada mantan Presiden
Soeharto terus bergulir. Kini giliran Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa
Islam yang menilai mantan penguasa orde baru itu tidak layak untuk
mendapatkan gelar kehormatan tersebut.
Ketua Umum PB HMI Ahmad Chozin menjelaskan, HMI menolak pemberian gelar
pahlawan kepada Soeharto karena telah menjerumuskan bangsa Indonesia kepada
keterpurukan yang tiada tara. Mulai dari penindasan terhadap hak-hak
kemanusiaan, uutang luar negeri yang tak terbayarkan, korupsi akut yang tak
tersembuhkan, serta kebodohan multidimensional sehingga bangsa ini bermental
inferior.
Dia membeberkan rezim Soeharto telah melakukan pengkhianatan terhadap
nilai-nilai demokrasi dengan melalui kejahatan HAM berat atau kejahatan
terhadap kemanusiaan, yang semestinya tidak bisa dihapuskan di luar
pengadilan, ataupun karena kadaluwarsa. Sebut saja, pembunuhan massal 1965,
penembakan misterius, kerusuhan 13-14 Mei, Daerah Operasi Militer (DOM)
Aceh, Talang Sari, Tanjung Priok, Kasus 27 Juli, Trisakti 12 Mei 1998,
Papua, dan lainnya.
Tak sampai di situ, berdasarkan laporan Kantor PBB urusan Obat-obatan dan
Kriminal (UN Office on Drugs and Crime/ UNODC) bersama Bank Dunia, Soeharto
juga masuk dalam list pertama daftar koruptor terbesar dunia. Dalam daftar
itu disebutkan, Soeharto (Indonesia) korupsi sebesar US$15-35 miliar,
Ferdinand E. Marcos (Filipina) US$5-10 miliar, dan Mobutu Sese Seko (Kongo)
US$5 miliar.
"Kami justru mempertanyakan, kenapa "mereka" begitu ngotot untuk mengusulkan
pemberian gelar Suharto sesegera mungkin? Ini patut dicurigai, ada maksud
ada dibalik itu?" katanya mempertanyakan melalui keterangan pers yang
diterima Rakyat Merdeka Online (Senin, 18/10).
Khusus bagi HMI, Chozin menambahkan, kebijakan Soeharto mengakibatkan HMI
terpecah menjadi dua. Yaitu, HMI Dipo dan HMI-MPO. Otoritarianisme Soeharto
yang memaksakan penerapan Asas Tunggal Pancasila pada tahun 1985 telah
menjadikan barisan jama'ah HMI tercerai-berai dan akhirnya terpecah menjadi
dua, yang sampai saat ini susah untuk dipersatukan.
"Kepada SBY yang punya wewenang akhir memutuskan pemberian gelar tersebut,
dengan ini saya menghimbau agar menolak usulan pemberian gelar tersebut.
Jika SBY meluluskan usulan tersebut dan akhirnya memberikan gelar pahlawan
kepada Suharto, maka sudah cukup bukti bagi kami bahwa rezim SBY tak lebih
dari sekedar reinkarnasi rezim Orde," tegasnya. [zul]
* * *
Pantaskah Soeharto Menjadi Pahlawan Nasional?
Rakyat Merdeka, 18 Oktober 2010 ,
RMOL. Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan di
Kementerian Sosial telah menetapkan sepuluh calon penerima gelar Pahlawan
Nasional. Kesepuluh nama itu akan diserahkan ke Dewan Gelar, Tanda
Kehormatan dan Tanda Jasa sebelum akhirnya diserahkan ke Presiden.
Menurut Sekretaris Kabinet Dipo Alam, belum tentu Dewan Gelar, Tanda
Kehormatan dan Tanda Jasa yang dipimpin Menko Polkam akan meloloskan
kesepuluh nama itu, dan memberikannya kepada Presiden SBY. Serta, belum
tentu juga Presiden SBY akan menyetujui semua nama yang diserahkan Dewan.
Dus artinya, kata akhir siapa yang pantas mendapat gelar Pahlawan Nasional
ada di tangan Presiden.
Kesepuluh calon penerima gelar Pahlawan Nasional tersebut adalah:
1. Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dari Jawa Barat.
2. Habib Sayid Al Jufrie dari Sulawesi Tengah
3. Mantan Presiden Soeharto dari Jawa Tengah
4. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid dari Jawa Timur
5. Hj Andi Depu Maraddia Balanipa dari Sulawesi Barat
6. Mantan Waperdam II Johanes Leimena dari Maluku
7. Yohannes Abraham Dimara dari Papua
8. Andi Makassau dari Sulawesi Selatan
9. Pakubuwono X dari Jawa Tengah
10. KH Ahmad Sanusi dari Jawa Barat.
Dari kesepuluh calon penerima gelar Pahlawan Nasional tersebut rasa-rasanya
hanya mantan Presiden Soeharto yang ditentang banyak orang. Pemberian gelar
Pahlawan Nasional untuk Soeharto menjadi kontroversial karena ia dinilai
bertanggung jawab pada sejumlah kejahatan HAM dan kejahatan ekonomi selama
berkuasa. Kalau tidak, mana mungkin ia diterjang gelombang demonstrasi dan
akhirnya harus mengundurkan diri.
Soeharto dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab di balik
peristiwa pembantaian massal yang terjadi terhadap simpatisan Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan orang-orang yang dituduh memiliki hubungan dengan partai
itu antara 1965 hingga 1966. Tidak ada angka resmi mengenai berapa jumlah
korban tewas dalam pembantaian massal tersebut. Angka yang biasa disebutkan
ada di kisaran 500 ribu sampai 1,5 juta jiwa.
Tetapi, dalam artikel yang ditulis Ben Anderson sebulan setelah Soeharto
meninggal dunia, Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant (2008),
disebutkan bahwa mantan komandan RPKAD Sarwo Edhie sebelum meninggal dunia
mengatakan bahwa yang tewas adalah tiga juta orang. RPKAD adalah sayap
militer yang digunakan Soeharto untuk menggulung PKI dan orang-orang yang
dituduh memiliki hubungan dengan partai itu.
Sementara di bidang ekonomi, Soeharto dipersalahkan karena menggadaikan
sumber daya alam Indonesia kepada perusahaan-perusahaan multinasional.
Freeport di Papua adalah contoh paling klasik. Perusahaan ini menjadi
perusahaan multinasional pertama yang beroperasi di Indonesia setelah
Soeharto mengambil alih kekuasaan dari tangan Bung Karno. Hak yang diberikan
kepada perusahaan ini sedemikian besar, sehingga ia dapat mengubah bukit
menjadi danau, menciptakan kerusakan lingkungan, dan di saat bersamaan
meninggalkan jejak kemiskinan yang merata di Papua.
Ketergantungan ekonomi Soeharto pada dunia luar tidak hanya terbatas pada
pemberian konsesi pertambangan kepada MNCs saja. Soeharto juga gemar
menangguk utang luar negeri. Hebatnya lagi, selama masa Orde Baru, utang
luar negeri dimasukkan ke dalam kolom penerimaan APBN; utang luar negeri
diperlakukan sebagai pendapatan negara. Soeharto memang pantas disebut
sebagai Bapak Pembangunan. Tetapi harus diingat, pembangunan a la Soeharto
adalah pembangunan yang dibiayai utang luar negeri. Itu sebabnya di saat
bersamaan juga terjadi ketimpangan yang ironisnya, setelah Soeharto tidak
berkuasa, malah semakin besar.
Soeharto juga dianggap bermasalah di bidang politik. Stabilitas politik
adalah unsur pertama dalam trilogi pembangunan a la Soeharto. Stabilitas
mensyaratkan ketiadaan kelompok oposisi dan kelompok-kelompok yang memiliki
perbedaan pandangan dengan Soeharto dan kroninya. Jumlah partai politik
dipangkas paksa; pemilihan umum digelar secara berkala lima tahun sekali di
bawah tekanan militer; Pancasila dan UUD 1945 dijadikan alat tekan politik
sehingga sampai kini dianggap identik dengan gagasan otoriter yang usang;
Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi
badan-badan perkoncoan yang tugasnya hanya menyetempel dan menyetujui apapun
yang diinginkan Cendana.
Ada juga yang mengingatkan, bahwa Soeharto merupakan objek koreksi
reformasi. Bukankah TAP MPR XI/1998 mengamanatkan agar kasus KKN yang
melibatkan Soeharto dan kroninya diusut tuntas? Sampai kini upaya itu tidak
pernah terealisasi. Soeharto tidak pernah didudukkan di kursi terdakwa. Ia
menghembuskan nafas terakhir, akhir Januari 2008 tanpa sedikitpun tersentuh
tangan hukum.
Ben Anderson menyebut Soeharto sebagai "mediocre tyrant" atau tiran yang
biasa-biasa saja. Kemunculannya diawali krisis politik dalam negeri. Baik
dirinya maupun krisis politik dalam negeri itu dimanfaatkan pihak asing,
dalam hal ini Amerika Serikat. Karier kekuasannya pun ditutup oleh babak
turbulensi politik.
Tetapi ada satu hal yang sepertinya Ben Anderson lupa. Dalam sejarah
kontemporer, Soeharto adalah satu-satunya tirani yang survive setelah
kekuasaannya digusur gelombang kemarahan rakyat dan kelompok elit yang
memanfaatkan kemarahan rakyat itu. Hanya Soeharto yang setelah dilengserkan
tidak harus melarikan diri dan meminta perlindungan dari pemerintahan negara
manapun, dan tidak disentuh hukum sama sekali. Pengalaman di banyak negara
memperlihatkan sebaliknya, tiran yang jatuh harus mengalami salah satu dari
kedua hal itu, lari atau dihakimi.
Sebegitu keras kontroversi yang mengiringi pencalonan Soeharto sebagai
Pahlawan Nasional. Menurut pihak Istana, kontroversi itu adalah hal yang
wajar. Sekretaris Kabinet Dipo Alam yang dihubungi kemarin mengatakan,
sebagai manusia biasa tentulah Soeharto memiliki kelemahan dan kelebihan.
Dia membandingkan Soeharto dengan Bung Karno dan Abdurrahman Wahid yang juga
jatuh dihumbalang protes rakyat.
Rachmawati Soekarnoputri, putri Bung Karno, berpendapat, agar tidak
terbebani oleh sejarah, status hukum Soeharto harus diperjelas terlebih
dahulu.
"Jangan diulang yang terjadi pada Bung Karno. Kita harus meng-clear-kan dulu
status Pak Harto. Intinya direhabilitasi atau bagaimana," ujar mantan
anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ini saat dihubungi Rakyat
Merdeka Online, kemarin (Minggu, 17/10).
Dia curiga rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional terhadap Soeharto hanya
sekadar bagi-bagi status semata.
Sejarawan Asvi Marwan Adam menawarkan jalan keluar yang elegan. Masyarakat,
menurutnya, juga harus dilibatkan dalam pemberian gelar Pahlawan Nasional,
terlebih untuk tokoh kontroversial yang kerap dikaitkan dengan kasus-kasus
pelanggaran HAM.
Untuk Soeharto, sebutnya pekan lalu, bila masyarakat tidak memberikan
penolakan, maka Presiden SBY akan menyematkan gelar itu kepada Soeharto. Dan
kalau sudah disematkan, tidak bisa lagi ditolak
"Akan sangat tragis bila di antara para pahlawan kita nantinya terdapat
pelaku pelanggaran HAM," kata Asvi.
Demikianlah sidang pembaca. Mengikuti saran Asvi Marwan Adam, Rakyat Merdeka
Online membuka kesempatan seluas-luasnya kepada pembaca untuk memberikan
pendapat, apakah setuju atau tidak setuju dengan gelar Pahlawan Nasional
untuk mantan Presiden RI Soeharto.
Klik pilihan Anda sekarang juga. Lebih cepat, lebih baik. [guh]
* * *
Komnas HAM: Sebaiknya Pemerintah Tak Berikan
Gelar Pahlawan untuk Soeharto
Rakyat Merdeka, 18 Oktober 2010
RMOL. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diharapkan bisa
mempertimbangkan pemberian gelar pahlawan kepada mantan Presiden Soeharto.
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ridha Saleh mengatakan,
pemerintah sebaiknya tidak hanya melihat prestasi yang dilakukan Soeharto
saja tapi juga harus melihat kejahatan-kejahatan masa lalu yang dilakukan
rezim Suharto.
''Hal itu menjadi sangat penting sebab gelar pahlawan menjadi kontroversial
pada Soeharto,'' kata Ridha Saleh ketika dihubungi melalui sambungan telepon
di Jakarta (Senin, 18/10).
Ia menambahkan Komnas HAM juga akan memberikan fakta-fakta mengenai
kejahatan HAM di masa lalu untuk dipertimbangkan oleh Dewan Gelar apakah
mantan Presiden Soeharto layak atau tidak diberi gelar pahlawan.
Sementara itu politisi Partai Golkar Poempida Hidayatullah mengatakan
pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto oke-oke saja.
Menurutnya masyarakat juga harus melihat Soeharto sebagai sosok yang
berkontribusi bagi negara Indonesia.
Ia melanjutkan pemberian gelar itu bisa dalam kategori lain seperti pahlawan
ekonomi atau pahlawan pembangunan.
''Kita lihat jasa-jasanya yang banyak karena tidak ada gading yang tak
retak,'' tegasnya. [arp]
0 komentar:
Posting Komentar