Kebangkitan sepakbola Indonesia penting untuk persatuan bangsa
Di tengah-tengah berbagai macam hiruk-pikuk tentang keistimemawaan daerah
Jogyakarta, tentang kasus Gayus Tambunan, tentang pergesekan di Mahkamah
Konstitusi, tentang kelanjutan kasus besar Bank Century, maka selama
beberapa hari sejak tanggal 16 Desember ini perhatian rakyat Indonesia
banyak tertuju kepada Gelora Bung Karno. Berlainan dengan masa-masa yang
lalu, terutama sejak jaman Orde Baru, Gelora Bung Karno kembali – seperti di
masa-masa yang lalu, sebelum Orde Baru -- menjadi tempat rakyat banyak
untuk ramai-ramai memanifestasikan rasa kebanggaan kepada tanah-air dan
mencurahkan kecintaan kepada bangsa.
Gelora Bung Karno, stadion olah-raga yang terbesar di Asia Tenggara ini dan
yang berkapasitas 88.000 penonton, pada tanggal 16 dan 19 Desember telah
dipenuhi orang untuk menyaksikan pertandingan semi final antara tim nasional
Indonesia melawan tim nasional Filipina. Dengan letupan kegembiraan yang
menggelora, dan sorak-sorai yang gemuruh di seluruh stadion, puluhan ribu
penonton itu mengelu-elukan kemenangan timnas Indonesia atas timnas Filipina
dengan angka 1-0 untuk tanggal 16 dan juga 1-0 untuk tanggal 19 Desember.
Kemenangan Indonesia atas Filipina dalam laga pertama dan kedua itu
menunjukkan bahwa dunia persepakbolaan negeri kita memang mulai memperoleh
kemajuan yang patut dibanggakan. Kita tahu, bahwa selama ini persepakbolaan
kita adalah sangat menyedihkan, karena hanya tergolong kelas enteng atau
hanya tingkat bawah saja di Asia.
Hal-hal penting sekitar pertandingan Indonesia-Filipina
Namun, di samping adanya petunjuk yang menggembirakan seluruh bangsa dengan
adanya kemajuan yang diperoleh timnas di bawah asuhan pelatih Alfred Friedl
(dari Austria), ada juga hal-hal yang sangat penting dengan adanya
pertandingan internasional tingkat tinggi di Gelora Bung Karno ini.
Penonton kedua pertandingan (tanggal 16 dan 19 Desember) di Gelora Bung
Karno yang berjumlah sekitar 88 000 itu telah menunjukkan kepada seluruh
bangsa bahwa -- sebetulnya, kalau sudah datang saatnya dan diperlukan oleh
situasi tertentu -- rakyat kita bisa benar-benar bersatu, dan mempunyai
satu keinginan atau satu kemauan, tanpa mempersoalkan keyakinan politik,
agama, suku, kedudukan dan asal sosial yang dipunyai masing-masing. Mereka
bersatu di sekitar tujuan bersama : mendukung tim nasional dan bersama-sama
mencintai Merah Putih dan tanah-air Indonesia.
Fenomena persatuan yang demikian itu kelihatan sekali pada banyaknya orang
yang memasang tanda Merah Putih pada bajunya, atau mengibarkan bendera kecil
Merah Putih, atau mencat badannya atau mukanya. Di samping itu di mana-mana
terdengar yel-yel atau slogan-slogan oleh ribuan orang « Indonesia menang,
Indonesia menang !». Jelas sekali bahwa pertandingan sepakbola kali ini
menjadi gelanggang besar untuk memanifestasikan persatuan rakyat dan bangsa.
Fenomena semacam ini sudah lama sekali tidak terjadi, kecuali di bawah
pemerintahan Bung Karno dulu.
Yang amat menarik dan juga patut dicermati artinya ialah didengungkannya
oleh ribuan orang tidak henti-hentinya lagu « Garuda di dadaku, Garuda
kebanggaanku », dengan menirukan lagu asal dari Papua « Apuse kokondao ».
Seperti dapat dilihat dalam layar televisi di seluruh Indonesia, lagu «
Garuda di dadaku » banyak dinyanyikan beramai-ramai oleh berbagai kalangan,
dengan antusiasme yang berkobar-kobar, di banyak tempat di seluruh negeri.
Di banyak tempat di seluruh negeri juga ada kebiasaan baru yang makin
meluas, yaitu « nobar » (nonton bareng).
Agaknya, banyak orang yang tidak tahu bahwa lagu yang banyak dinyanyikan
ketika hari-hari pertandingan timnas Indonesia di Gelora Bung Karno itu
sebenarnya pernah menjadi nyanyian yang sangat populer sewaktu pemerintahan
ada di bawah presiden Sukarno. Waktu itu, lagu ini diperdengarkan - dengan
teks aslinya dalam bahasa Papua -- dalam pertemuan-pertemuan besar berbagai
organisasi, dan juga diajarkan di sekolah-sekolah. Namun, selama
pemerintahan Orde Baru, lagu « Apuse » ini, yang sangat populer di « jaman
Orla » itu, tidak terdengar lagi. Baru sekarang inilah kembali terdengar
lagi secara meluas, dengan teksnya yang baru (« Garuda di dadaku »).
Pesta besar yang menggambarkan persatuan rakyat
Fenomena yang penting lainnya yang kelihatan hari-hari terakhir ini adalah
sangat banyaknya kaos merah yang dipakai oleh berbagai kalangan masyarakat,
yang dihiasi dengan lambang Garuda. Kita tahu bahwa dalam lambang Garuda
kita terdapat simbul-simbul yang menggambarkan Pancasila. Sangat banyaknya
penjualan kaos yang berlambang Garuda, baik di Jakarta maupun di kota-kota
besar lainnya (sampai banyak pedagang kaos kehabisan stock) juga merupakan
indikasi bahwa olahraga sepakbola sudah membikin banyak orang seperti kena
hypnose.
Tanpa diketahui oleh banyak orang yang memasang kaos merah dengan lambang
Garuda itu, dengan memasang lambang Garuda di dada mereka, sebenarnya juga
merupakan penghormatan (setidak-tidaknya : ingatan) tidak langsung kepada
Bung Karno, yang menekuni pembuatan lambang ini dan menginstruksikan
penyempurnaan gambar lambang Garuda kepada sebuah Panitia, berdasarkan
idee-idee dasar Sultan Hamid II dari Pontianak.
Juga dari tekad banyak orang untuk bersusah-payah antri panjang sejak pagi
untuk berebut membeli tiket menggambarkan betapa besarnya dukungan dan
kecintaan berbagai kalangan rakyat (termasuk para supporter wanita) terhadap
tim nasional kita. Bahkan, banyak juga yang datang ke Jakarta dari
daerah-daerah yang jauh, karena mereka mau menonton langsung di stadion, dan
tidak puas hanya dengan melihat di televisi saja.
Bolehlah kiranya dikatakan bahwa pertandingan sepakbola kali ini
betul-betul menjadi pesta besar-besaran yang memanifestasikan persatuan
rakyat yang bersifat pluralisme, dan memperlihatkan kesatuan bangsa yang
dewasa ini terasa goyah, tercabik-cabik oleh berbagai persoalan besar di
bidang politik, ekonomi, sosial, agama, dan -- terutama !!! - oleh korupsi
yang sudah lama merajalela.
Bung Karno, pemimpin yang menjunjung tinggi-tinggi olahraga
Sekarang di Indonesia, sepakbola menjadi instrumen yang ampuh untuk
membangkitkan kembali nasionalisme yang sudah terasa mulai memudar,
menggelorakan lagi kebanggaan menjadi bangsa yang besar yang pernah menjadi
ciri-ciri utama bangsa selama di bawah Bung Karno. Jadi, sepakbola tidak
hanya menjadi hiburan bagi sebagian terbesar rakyat kita, melainkan juga
menjadi perekat persatuan bangsa.
Kebangkitan persepakbolaan Indonesia kali ini, yang dimulai dengan
kemenangan atas timnas Filipina mengingakan kembali kepada segala kebesaran
dan keagungan Bung Karno, satu-satunya pemimpin Indonesia yang sejak dini
sekali menunjukkan perhatian besar kepada sport sebagai bagian penting dari
kehidupan dan kebudayaan bangsa, yang dirumuskannya dengan « nation and
character building ».
Bung Karno-lah yang dalam tahun 1950 mempunyai gagasan, tekad untuk
membangun bagi bangsa stadion raksasa yang sekarang terkenal sebagai Gelora
Bung Karno. Pada waktu itu, ketika berbicara dengan Perdana Menteri Uni
Soviet, Nikita Krushchev, yang berkunjung ke Indonesia, ia mengatakan bahwa
ia menginginkan didirikannya sebuah stadion yang besar, megah,, dan bisa
menjadi kebanggaan seluruh bangsa sampai ratusan tahun
Keinginannya yang kuat untuk membuat sesuatu yang besar dan megah bagi
seluruh bangsa ini kemudian terealisasi dengan pemberian kredit jangka
panjang sebesar 12, 5 juta dollar AS (jumlah yang sangat besar waktu itu),
dan bantuan pengiriman ahli-ahli Soviet di berbagai bidang pembangunan .
Untuk menentukan lokasi tempat didirikannya stadion besar ini Bung Karno
dengan didampingi oleh arsitek ternama Friedrich Silaban (orang dari
keluarga Tapanuli dan penganut agama Kristen Protestan) terbang dengan
helikopter berputar-putar mengelilingi udara di atas Dukuh Atas, Pondok
Pinang, Cinere, dan Senayan. Akhirnya dipilihlah Senayan setelah berdiskusi
panjang dengan arsitek yang dibanggakannya itu.
GANEFO yang mengangkat nama bangsa Indonesia
Pandangan Bung Karno tentang pentingnya olahraga bagi kehidupan bangsa tidak
hanya terlihat pada pembangunan stadion yang besar yang nama lengkapnya
adalah Stadion Utama Gelanggang Olahraga Bung Karno, tetapi juga dengan
diselenggarakannya Asian Games dalam tahun 1962 dan kemudian dengan
penyelenggaraan GANEFO (Games of the New Emerging Forces), dalam bulan
November 1963.
Sebagai tokoh raksasa dalam perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme
sejak mudanya, Bung Karno mengatakan berkali-kali dalam pidato-pidatonya
bahwa juga sport tidak bisa dipisahkan dari politik. Itu sebabnya, untuk
Asian Games dalam tahun 1962 di Jakarta itu Indonesia melarang ikutnya
Israel dan Taiwan. Ini untuk melaksanakan politik yang bersahabat dengan RRT
(Republik Rakyat Tiongkok) dan menunjukkan simpati yang besar kepada
perjuangan rakyat-rakyat Arab melawan Israel.
Sikap Indonesia ini diprotes oleh Komite Olimpiade Internasional (KOI) yang
mempertanyakan keabsahan (legitimasi) Asian Games di Jakarta. Sebagai
buntutnya akhirnya Indonesia diskors oleh KOI untuk mengikuti Olimpiade di
Tokio tahun 1964. Sudah tentulah Bung Karno marah sekali dengan keputusan
Komite Olimpiade Internasional dan Federasi Asian Games yang demikian ini.
Karenanya Bung Karno menyatakan Indonesia keluar dari Komite Olimpiade
Internasional dan satu tahun kemudian Indonesia mengadakan Olimpiade
tandingan dalam bulan November 1963, yang dinamakan GANEFO.
Keberanian Bung Karno untuk menyatakan Indonesia keluar dari Komite
Olimpiade Internasional dan juga memutuskan menyelenggarakan olimpiade
tandingan di Indonesia ini merupakan gebrakan politik yang sangat
mengejutkan waktu itu dan yang sangat besar gemanya di dunia
internasioanal, terutama di negara-negara Asia-Afrika-Amerika Latin. Nama,
prestise, atau kehormatan Indonesia dan juga nama Bung Karno sering
disebut-sebut dan dielu-elukan oleh rakyat di banyak negara.
Meskipun dunia Barat (beserta sekutu-sekutunya di berbagai negeri) berusaha
memboikot GANEFO dengan macam-macam cara dan jalan, GANEFO bisa berlangsung
dengan sukses. Seluruh kekuatan demokratis dan progresif (atau kiri) di
Indonesia waktu itu sepenuhnya mendukung dan ikut ambil bagian dalam
bermacam-macam kegiatan dalam projek besar Bung Karno di bidang olahraga dan
politik waktu itu.
GANEFO yang pernah menjadi kebanggaan rakyat Indonesia (dan rakyat berbagai
negara lainnya) telah diikuti oleh 2.200 atlit dari 48 negara di Asia,
Afrika, Amerika Latin dan Eropa, dengan 450 wartawan dari berbagai negara.
Ini merupakan peristiwa yang amat besar dan membanggakan dalam sejarah
bangsa Indonesia.
Dari penyelenggaraan GANEFO dalam tahun 1963 (artinya, 2 tahun saja sebelum
G30S) kelihatan jelas bahwa Bung Karno adalah satu-satunya pemimpin
Indonesia yang menjunjung dunia olahraga Indonesia ke tingkat tinggi sekali
sehingga mendapat banyak penghargaan dari dalam dan luar negeri.
Di bawah pimpinan Bung Karno negara dan bangsa Indonesia bisa memperlihatkan
keunggulannya di banyak bidang.
Stadion Senayan menjadi Gelora Bung Karno
Oleh karena itu, kita bisa mengerti bahwa selama pemerintahan rejim mIliter
Suharto, tidak hanya nama Bung Karno saja yang diusahakan dihapus dari
sejarah bangsa, melainkan juga karya-karya agungnya dan politiknya yang amat
penting dan berguna bagi rakyat (termasuk sejarah GANEFO).Semua golongan
reaksioner dalam negeri waktu itu menyerang politik Bung Karno itu sebagai
tindakan yang buang-buang uang dan tenaga secara percuma saja, atau
megalomania, dan mabuk dengan yang serba « mercu suar » yang banyak
disebut-sebut waktu itu.
Dalam kaitan ini patutlah kiranya kita sama-sama ingat bahwa bahwa nama
Gelora Bung Karno dilarang disebutkan dalam masa pemerintahan Orde Baru
selama 32 tahun, dalam rangka de-Sukarnoisasi secara besar-besaran. Artinya,
apa yang « berbau » Bung Karno harus dilarang. Baru dalam tahun 2001,
presiden Abdurrachman Wahid merobah nama stadion Senayan menjadi Gedung
Olahraga Bung Karno.
Arti gemuruhnya « Garuda di dadaku » dan kenangan kepada masa lalu
Kali ini, dengan diselenggarakannya dua pertadingan Indonesia melawan
Filipina di Gelora Bung Karno, dan dengan kemenangan tim nasional Garuda,
maka seluruh suasana selama beberapa hari itu terasa seperti pesta besar
rakyat yang mengingatkan kepada masa-masa jayanya dunia sport Indonesia
sewaktu Asian Games di Jakarta dan GANEFO.
Dengan gemuruhnya kumandang lagu « Garuda di dadaku » di seluruh negeri, dan
seringnya disebut-sebut Gelora Bung Karno oleh banyak kalangan, maka bisa
dikatakan bahwa sekarang nampak adanya kebangkitan kembali dunia olahraga
Indonesia, seperti yang pernah dibanggakan di masa lalu. Bersamaan dengan
itu, atau seiring dengan itu, kebangkitan kembalinya dunia olahraga kita
juga berarti - secara langsung atau tidak langsung, dan setapak demi
setapak – hidup kembalinya berbagai gagasan-gagasan besar Bung Karno, yang
sudah berpuluh-puluh tahun diusahakan padam atau mati oleh Orde Baru.
Nantinya, sejarah bangsa kita akan menyaksikan bahwa juga melalui Gelora
Bung Karno-lah lambat-laun akan dikubur, untuk selama-lamanya, berbagai
hal yang berbau Orde Baru. Itulah arah perjalanan sejarah rakyat Indonesia
selanjutnya.
Paris, 20 Desember 2010
A. Umar Said
0 komentar:
Posting Komentar