Ujian Nasional Menyesatkan
(Peneliti di American College Testing, USA)
Kelulusan Ujian Naional (UN) tingkat SMA dan Aliyah telah diumumkan. Hasilnya, walaupun tingkat kelulusan turun tajam tapi rerata nilai tetap naik dari 7,25 menjadi 7,29. Nilai ini diprediksi akan meroket setelah ujian ulangan selesai diselengarakan.
Peningkatan rerata UN setiap tahun yang mencapai sekitar 5% membuat bangga sejumlah kalangan di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) . Logika mereka, nilai UN meningkat berbanding lurus dan menjadi bukti mutu pendidikan meningkat. Berdasarkan logika ini, mereka simpulkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia meningkat 5% pertahun. Luar biasa !
Kalau data ini dapat dipercaya, boleh jadi para pakar pendidikan negara-negara lain (termasuk negara-negara maju) akan berbondong-bondong datang ke Indonesia dan belajar “keajaiban” kita mengelola pendidikan sehingga mutunya meningkat secara luar biasa. Sayangnya, kenyataannya itu tidak terjadi, tidak ada satupun dari mereka yang melirik apalagi datang dan belajar ke sini.
Masalah UN
Menyadari banyak manipulasi dalam pelaksanaannya yang mengakibatkan nilai UN naik di luar batas kewajaran, Badan Standarisasi Nasional Pendidikan yang mempunyai wewenang penuh dalam menentukan kebijakan UN, sejak tahun lalu lebih banyak melibatkan peran perguruan tinggi negeri (PTN) dalam kegiatan penulisan soal dan pelaksanaannya. Harapannya, jika kecurangan dapat dikurangi dan PTN telah menerima nilai UN sebagai salah satu pertimbangan seleksi mahasiswa baru, penolakan masyarakat terhadap UN menjadi berkurang dan UN dapat terus menjadi hajatan (mungkin juga bancakan) nasional setiap tahun.
Patut disayangkan, mereka kurang paham, permasalahan UN tidak hanya terletak pada tataran penyusunan soal dan pelaksanaan ujian tapi juga menyangkut persoalan paling fundamental dari suatu sistim ujian yaitu apa yang perlu dan harus diuji (what matter most to be assessed). Mencermati pola dan model soal-soalnya, UN lebih banyak menguji kemampuan siswa dalam menguasai materi hafalan (rote learning), yang pelaksanaannya sering dikerjakan dengan cara drilling, tryout, atau bimbingan tes. Karena itu, walaupun kecurangan dalam pelaksanaannya dapat dihilangkan, hasil UN masih kurang layak digunakan untuk mengetahui kompetensi siswa dan mutu pendidikan Indonesia. Skor perolehan siswa masih sangat sulit untuk diterjemahkan menjadi tingkat kompetensi siswa. Dengan kata lain, skor perolehan siswa pada UN, belum mampu menjelaskan pemahaman siswa pada mata pelajaran bersangkutan (test-wiseness) .
Masalah lain, UN menerapkan skor yang dikenal di dunia testing sebagai raw score (skor mentah) yang diperoleh dari jumlah benar dibagi jumlah soal dikali 10. Skor seperti ini boleh diterapkan di classroom tests, tapi illegal digunakan di high-stake test (termasuk UN), karena akan menyesatkan (misleading) . Harus ada konversi nilai dengan menggunakan metode statistik yang disebut equating.
Tes-Tes Berstandar Internasional
Ironis memang, sudah 65 tahun Indonesia merdeka Kemendiknas belum mampu membuat suatu sistem penilaian pendidikan nasional secara benar. Bagaimana mereka bisa mengetahui mutu dan meningkatkannya, kalau mereka sendiri tidak mampu membuat alat ukur yang bermutu. Untunglah, Indonesia beserta lebih dari 40 negara di dunia mengikuti tes-tes berstandar internasional, sehingga kita dapat memperoleh informasi mutu pendidikan kita lebih valid.
Selama tiga kali Indonesia ikut TIMSS (Trend in Mathematics and Science Study) yang diadakan setiap empat tahun yaitu tahun 1999, 2003, dan 2007, hasilnya menunjukan tidak ada peningkatan mutu. Selain itu, posisi Indonesia berada di bawah peserta negara-negara Asia Tenggara lainnya. Dari tiga periode tes siswa-siswa kita pada Mathematics memperoleh skor 403, 411, dan 405 (skala dari 0 s.d. 800). Sebagai pembanding, di tahun 2007 rekan-rekan mereka di Singapura, Malaysia, dan Thailand masing-masing memperoleh 593 dan 474, dan 441 (lihat www.timss.org) . Hasil PISA (Program for International Assessment) juga menunjukkan keadaan serupa. Pada tahun 2006, kemampuan siswa kita di Mathematics, Science, dan Reading masing-masing 391, 393, dan 393 (skala 0-800), sedangkan skor rerata semua negara pada saat itu adalah 498, 500, dan 492 (www.pisa.oedc. org).
Mungkin sebagian dari kita akan berkelit dengan mengemukakan bahwa itu data usang, karena tes-tes tersebut dilaksanakan 3 dan 4 tahun lalu. Betul, data terbaru dari PISA periode tes 2009 akan dikeluarkan akhir tahun ini dan TIMSS periode berikutnya akan berlangsung tahun depan. Namun, jangan berharap hasilnya nanti akan melonjak luar biasa dibandingkan pencapaian-pencapai an sebelumnya.
Alternatif UN
Kita harus menyadari dan menerima kenyataan bahwa mutu pendidikan kita sampai saat ini memang masih rendah. Pelaksanaan UN terbukti tidak dapat meningkatkan mutu; sebaliknya, justru dengan UN mudaratnya lebih banyak. Siswa, guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan juga orangtua siswa berlomba-lomba mengejar target kelulusan UN dengan pembelajaran model bimbingan tes, yang sangat merusak proses pembelajaran.
Ketimbang bersikukuh melaksanakan UN dengan biaya, tenaga, dan waktu yang dikeluarkan cukup besar, sebaiknya UN ditiadakan. Lebih baik uang yang satiap tahunnya bisa mencapai hampir satu triliun itu digunakan untuk tujuan yang hasilnya lebih nyata, seperti memperbaiki sarana-prasarana pendidikan, dan meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan guru, khususnya di daerah terpencil. Sebagai ganti UN, penilaian kelulusan jenjang sekolah menjadi tanggungjawab daerah tingkat dua, dan ini sejalan dengan kebijakan otonomi daerah. Pengelola pendidikan di daerah dapat mengadakan ujian kelulusan pada tingkat daerah, rayon, atau sekolah.
Lantas bagaimana mutu pendidikan secara nasional dimonitor dan dikendalikan? Laporan hasil tes berstandar internasional yang selama ini diperoleh Kemendiknas digunakan sebagai bagian dari upaya pemetaan mutu dan sebagai basis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Selain itu, sebagai pelengkap, setiap tiga tahun Kemendiknas perlu mengadakan survei tes tingkat nasional yang kredibel dengan melibatkan para pakar penilaian pendidikan. Bagi daerah (sekolah) yang masih rendah pemerintah perlu membantunya, dan yang sudah baik layak mendapat penghargaan dan menjadi percontohan. Setelah itu, kalau sampai tiga tahun atau sampai tes periode berikutnya daerah tertinggal tidak menunjukan peningkatan mutu, maka pemimpin institusi pendidikannya (seperti kepala sekolah dan kepala dinas) perlu lengser atau dilengserkan.
menurut saya ada permasalahn lebih penting lagi yang sudah didepan mata? yaitu kemanakan para lulusan UN tersebut? (ini pendapat saya lho...)
emang kacau, sampai kapan menunggu..