Alternatif Ujian Nasional dan Refleksi Sebagai Seorang Pengajar Pendidikan Formal

*Alternatif Ujian Nasional*

Beberapa tahun yang lalu, saat saya membuka koran Kompas, saya terharu
membaca kumpulan tulisan karya Naynul, Fika, dan Siti. Tulisannya bisa di
baca di sini http://thejargon. multiply. com/journal/ item/134 .


Bagi anak-anak sekolah lain, termasuk sekolah tempat saya mengajar,
mengikuti Ujian Nasional adalah untuk memperoleh Ijazah sekolah, menentukan
lulus atau tidak, sedangkan bagi Naynul, Fika, dan Siti tidak. Mereka
mengikuti ujian nasional untuk melakukan penelitian karena ingin tahu apa
apa rasanya mengikuti ujian nasional.

Begini kutipan tulisan mereka:

*"Tujuan kami mengikuti UN bukan sekadar untuk memperoleh ijazah, tapi untuk
antisipasi. Siapa tahu nantinya hati kami terketuk untuk melanjutkan
perjuangan ke sekolah lain. Namun, belum pernah tebersit di benak kami untuk
meninggalkan Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah. Karena saat ini sekolah
itulah yang kami rasa cocok untuk pengembangan diri kami lebih lanjut.*

*Selain untuk antisipasi, kami juga ingin merasakan detik-detik menjelang
UN. Tapi yang terpenting bagi kami adalah mengetahui seperti apa substansi
UN, mengetahui sejauh mana manfaat UN bagi bangsa Indonesia, dan memulai
sebuah penelitian." *

*
*

Sebagian besar murid Qaryah Thayibbah, Salatiga memang saat itu memutuskan
untuk tidak mengikuti Ujian Nasional. Pak Bahrruddin, sang kepala sekolah,
dalam sebuah diskusi di Bandung pernah berkata, bahwa ia tetap mendaftarkan
siswanya untuk ikut Ujian Nasional, urusan mereka ingin ikut atau tidak
memang terserah mereka.

Malam membaca tulisan di Kompas, saya meng-sms Pak Bahruddin agar ia
menyampaikan pada ketiga penulis betapa menariknya tulisan mereka. Malam itu
juga Pak Bahruddin mengirimkan disertasi asli mereka melalui email. Saya
membacanya, satu persatu. Luar biasa ketiga anak ini.

Bagi yang biasa berkecimpung atau hanya tahu mengenai pendidikan formal, hal
seperti ini bisa jadi merupakan suatu yang aneh. Saat saya ceritakan apa
yang dilakukan oleh murid-murid Qaryah Thayibbah pertanyaan mereka begini:

"Lah nanti bagaimana kalau mencari kerja?"

"Kalau tidak dengan ujian apa dong alternatifnya? "

Sebenarnya alternatif untuk *assessment* banyak sekali. Di Qaryah Thayibbah
sendiri, saat itu (mungkin sudah berubah sekarang, saya tidak tahu)
siswa-siswanya diminta untuk membuat semacam penelitian/tugas akhir. Untuk
legalitas, setahu saya Pak Bahrudin, meminta temannya dari pihak universitas
untuk mengomentari karya-karya siswanya. Kalau tidak salah itu cara yang
dilakukan oleh teman-teman Qaryah Thayibbah.

Cara lain yang terpikir di kepala saya adalah portfolio. Saya pernah melihat
sebuah karya seorang siswa dalam pelajaran bahasa didokumentasikan dalam
sebuah kliping yang cukup tebal. Semua tugasnya ada di sana, dari menulis
berita, membuat tulisan deskripsi, membuat iklan, dan sebagainya. Di akhir
tahun ajaran, ia diminta untuk menuliskan refleksi mengenai apa yang ia
rasakan mengenai kemampuan bahasanya selama satu tahun belajar. Apa ada
kemajuan atau kemunduran, dulu tidak bisa apa sekarang bisa apa, apa yang
bisa dikembangkan, apa yang harus diperbaiki. Refleksi ini kira-kira
sepanjang 2 halaman A4. Selain itu, teman sekelasnya juga diminta untuk
membaca kumpulan karya siswa ini dan sebaliknya. Ia juga diminta untuk
menuliskan sebuah komentar balik mengenai kumpulan karya siswa ini.

Dalam mata kuliah *assessment* sendiri yang saya alami di bangku kuliah,
saya pernah mendiskusikan sistem portfolio ini. Dan salah satu hal yang jadi
permasalahan memang waktu. Seorang guru yang pernah menggunakan sistem ini,
pernah bercerita kalau di ruag kerjanya pernah bertumpuk sejumlah portfolio
karya siswa sampai tinggi sekali. Kepraktisan memang menjadi masalah yang
patut dipertimbangkan.

Lalu teman saya juga pernah berkata:

"Tapi kan yang dibutuhkan untuk mencari kerja adalah ijazah? Apa bisa dapat
kerja?

Hm.. saya jawab begini saja, "tergantung kerja di mana."

Tentu kalau bekerja sendiri tak perlu ijazah, hm.. Tapi bagaimana kalau
bekerja dengan orang lain? Nah untuk hal itu saya jawab begini pada teman
saya.

"Kan zaman bisa berubah ya? Mungkin ada perusahaan yang akan lebh menghargai
karya dan skill daripada ijazah. Ok, seandainya kamu jadi direktur
perusahaan. Lalu ada dua pelamar kerja. Yang satu mengirimkan Ijazah
sekolahnya dan satu mengirimkan kumpulan karyanya, tersususn rapi dalam
portfolio. Bukan hanya itu, ia bisa menjelaskan skill dan kemampuan yang ia
miliki. Yang mana yang kamu terima kerja?"

Dan teman saya menjawab pelamar yang kedua. Hehehe (Well, kalau saya ajukan
pada orang lain bisa saja jawabannya lain, hehehe).

Ujian Nasional atau segala ujian akhir memang sebenarnya bukan satu-satunya
solusi untuk menentukan prestasi siswa. Setiap kali saya membaca tentang
assessment, saya akan ingat Swedia, karena berdasarkan literatur yang saya
baca, posisi mereka terhadap ujian berskala nasional berbanding terbalik
dengan kondisi di Indonesia (dan beberapa negara lainnya termasuk UK):

*"In Sweden, external final examinations were abandoned in 1971 and replaced
by school assessments. There are national tests in some subjects but these
are used to calibrate teachers' own assessmets. The mean and range of marks
in the national tests of a particular school determine a mean and spread to
which its final results must confirm, but the school is free to use its own
results, together with the national test results, to determine awards for
pupils within the constraint ." (Black, 1998, h.140)*

Sebagai tambahan gambaran bagaimana ujian nasional dilaksanakan di Swedia,
bisa dilihat dari pengalaman dua siswa bernama Sixteen dan Ingrid, bawah
ini:

*[In Sweden] there are no final leaving examinations at the end of secondary
school for either Sixteen and Ingrid. Instead, they have taken tests and
examination throughout their course of stucy. For example, Ingrid has
already taken tests by the National Board of Education in Swedish language
and literature in her final (second) year. The English language achievement
test is scheduled for March 15. Sixteen took similar tests in English,
German, and Chemistry n his second year and in Swedish, mathematics and
physics during his third year. The tests are typically composed of a mixture
of multiple-choice and extended-answer items, three hours for each subject.
The dates for these tests are set for the entire country by the National
Board of Examination and spread over the academic year. This is done in
order to make the testing process part of the ordinary school routine and to
reduce the tension usually associated with a marathon period of testing
crowded into the one or two weeks in the end of school career.... In this,
the final year of school, all that remains is to complete the course of
study.*

*(Eckstein,1993, h.38)*

Dibandingkan negara lain ujian di tingkat nasional di Swedia memang
diusahakan agar siswa tidak merasa seperti sedang berkompetisi. Seperti yang
tergambar di bawah ini:

*...neither Sixteen nor Ingrid feels the competitive urgency [about
examinations compared to othe r countries] (Eckstein,1993, h.39)*

Di Swedia, tahun terakhir sekolah memang penting tapi tidak terlalu kritis
untuk menentukan masa depan mereka, seperti yang diungkap di bawah in*i:*

*[In Sweden] the final year of school is **important* *, but not** absolutely
critical** to their [the students] future.... (Eckstein,1993, h.39)*

dan juga terungkap di sini:

*They are confident that they will be able to pursue whatever careers they
chooses without to many hurdles place in their way. They can always try a
second time, and even a third, if their application for higher or further
training is turned down. There are ways of entering alternative career paths
if they should change their minds latter on. (Eckstein,1993, h.39)*

*These two Swedens have been educated in a system that strives to provide
wide educational opportunities to all. Tests and examinations continue to
exsist, but a deliberate effort is made to ease their psychological strain
on students and to make the tests nonthreathening as possible. The central
government and localities (municipalities) collaborate in providing the
examinations, with the close involvement of teachers. A student who at first
does not suceed can try again. The examination results are important, but do
not virtually control an individual's future, as we shall see in only too
frequent elsewhere. (Eckstein,1993, h.40)*

Beberapa negara memang menggunakan ujian nasional dengan cara yang
berbeda-beda. Seperti yang tertera di bawah ini:

*In some countries the results of the examination will **totally determine *
*the students' subsequent work studies, training, and careers as adults; in
others, the examination results are not the **be-all and end-all of
everything, but will nevertheless exert a powerful influence on life
chances. (Eckstein,1993, h.39)*

Menurut pendapat saya, mengapa ujian nasional sangat bermasalah di Indonesia
adalah karena di Indonesia kelulusan dan ketidaklulusan dalam ujian nasional
bersifat kritis. Bahkan bisa menghambat siswa untuk memperoleh pendidikan
lebih lanjut. Dari pengalaman saya sendiri, kalau siswa sampai gagal di
ujian ulang yang kedua, mereka harus membayar lagi untuk mengikuti ujian
berikutnya (ujian kejar paket) dan biayanya jauh dari murah (setidaknya ini
yang terjadi di Jawa Barat). Hal ini menyebabkan banyak anak akhirnya
menyerah dan putus sekolah apalagi apabila mereka tidak memiliki uang,
kekuatan, dan jaringan yang kuat untuk mendukung mereka berjuang.

Sebenarnya, kalau kita mau belajar, kita bisa menemukan banyak alternatif
terhadap ujian nasional. Tentu tak semuanya bisa dierapkan di Indonesia.

*Refleksi sebagai Seorang Guru di Pendidikan Formal*

Saya sendiri salut dengan keberanian teman-teman di Qaryah Thayibbah. Saya
selalu berpikir, seharusnya saya bisa seberani mereka. Sayangnya belum.

Saya pun selalu menghadapi dilema yang pernah saya tuliskan dalam tulisan
saya yang sebelumnya:

*"Tujuan setiap orang tergantung dari latar belakang mereka, apa yang mereka
jalani selama hidup, pengalaman mereka, kepercayaan mereka. Guru ingin
muridnya memiliki ketrampilan berpikir karena berdasarkan pengalamannya,
ketrampilan berpikir mampu membuatnya bertahan dalam hidup hingga kini.
Murid ingin ijazah karena dalam hidupnya ia melihat secara langsung orang
yang memiliki ijazah hidupnya jauh lebih baik darinya. Dua-duanya benar,
karena berdasarkan asumsi yang berbeda tentang bagaimana masing-masing
manusia memandang dunia.

Sebagai seorang guru juga, saya pasti juga merasakan pusingnya menghadapi
dilema ini. Saya ingin anak-anak belajar, bukan sekedar lulus ujian, saya
ingin mereka bisa kreatif menciptakan peluang, bukan hanya menunggu peluang,
tapi mereka memiliki dunia yang berbeda dengan saya sehingga saya tidak bisa
sembarangan memaksakan kehendak saya. "*

(http://warnapastel. multiply. com/tag/disertas i)

Dalam bahasa Inggris, saya pernah mengungkapkan refleksi saya sebagai
berikut:

*In reality, in many places people are still valued for their certification,
not for their*

*skills. On the other hand, all of the teachers have experienced being a
university student,*

*which means that we all have a secondary and a high school certificate. We
could not tell the*

*students that certificates were less important, when we, ourselves have
them.*
(Sarasvati, 2009)

Saya memang bukan seorang
radikal.Dari sudut seorang guru di sekolah formal (bukan alternatif)
sebenarnya sudut pandang saya terhadap ujian nasional sangat sederhana dan
telah diungkapkan oleh Pak Kartono (Kompas, 27/04/2010) dalam tulisannya
beberapa hari yang lalu:

*Pemikiran para guru yang dalam keseharian bergelut dengan dunia mendidik
anak-anak hanyalah sederhana, silakan UN tetap berjalan, tetapi tidak lagi
dipakai sebagai salah satu kriteria kelulusan. Kementerian Pendidikan
Nasional harus betul-betul memanfaatkan hasil UN untuk memetakan mutu
pendidikan, dengan ujung-ujungnya untuk memperbaiki pelayanan secara merata
kepada semua anak di negeri ini. Sekolah yang nilai-nilai ujian siswanya
rendah mesti diprioritaskan untuk diperbaiki.*

http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2010/04/27/ 0323404/setelah. un.pemerintah. harus.jujur.

Tentu saja dengan syarat, saya juga harus memperbaiki kualitas mengajar
saya. Saya harus bisa mengembangkan potensi siswa-siswa saya agar senantiasa
bisa berkarya, berkreasi, menumbuhkan cinta akan ilmu pengetahuan dan
sebagainya. Hm.. Saya jadi teringat sikap Romo Mangun seperti yang telah
diungkapkan di bawah ini oleh seorang pegawai Dinamika Edukas Dasar (DED)
bernama Ana di bawah ini:

*"Romo Mangun tidak gelisah ketika anak-an[image: Background Color]ak
sekolah Mangunan belum tentu bisa melanjutkan sampai tingkat SMP. Dia ngak
gelisah. Yang penting anak-anak Mangunan punya ketrampilan hidup. Kalau dia
punya ketrampilan hidup dia pasti bisa hidup."*

*(Pradipto, 2007, h.40)*

Hm.. Terus terang saya belum mencapai tahap yang diungkap oleh Romo Mangun
tersebut. Tapi kini itu merupakan PR saya, dan juga PR teman-teman guru
semuanya.

Sumber:

1) Paul Black. (1998) Testing: Friend or Foe? Theory and Practice of
Assessment and Testing. London: Falmer Press

2) Max. A. (1993)Eckstein. Secondary School Examinations: International
Perspectives on Policies and Practice. Yale: Yale University Press

3) Y. Dedy Pradipto. (2007). Belajar Sejati VS Kurikulum Nasional:
Kontestasi Kekuasaan dalm Pendidikan Dasar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius


0 komentar:

Posting Komentar