Retorika membangun Pendidikan Aceh

Retorika Membangun Pendidikan Aceh
Tabrani Yunis -
Opini
PROGRAM vibrasi pagi di salah satu stasiun radio swasta di Banda Aceh, Jumat
1 Januari 2010 lalu, merefleksi kondisi Aceh tahun 2009 dan prospeknya di
tahun 2010. Tema tersebut cukup menarik dibahas, sebab banyak fakta yang
diangkat untuk memaparkan persoalan sosial yang terjadi sebelum tahun 2010.

Hal paling menarik bagi penulis dari perbincangan di vibrasi pagi tersebut
adalah ketika disebutkan realitas pendidikan di Aceh dalam masa-masa sebelum
tahun 2010. Banyak cerita sedih melanda dunia pendidikan di Aceh dalam kurun
waktu sebelum memasuki tahun baru 2010. Dalam perjalanan waktu, sejak
sebelum bencana tsunami hingga selesai rehabilitasi dan rekonstruksi pun,
cerita-cerita sedih dunia pendidikan Aceh masih terus disenandungkan. Sangat
dinamis dan complicated.

Aceh yang mengistimewakan bidang pendidikan, dalam parkteknya dirasakan
biasa-biasa saja. Tidak ada yang lebih dibandingkan dengan daerah lain yang
tidak memiliki status istimewa dan otonomi khusus. Malahan sebaliknya kita
masih tertinggal. Bukan saja pada level pendidikan dasar, tetapi juga pada
level Universitas Negeri yang kita banggakan, Unsyiah yang berangking C. Ini
membuktikan bahwa pendidikan di Aceh malah berjalan terseok-seok, walau saat
ini secara finansial budget pendidikan cukup tinggi dan terus meningkat
setiap tahunnya, mulai dari ratusan juta, ratusan milyar hingga triliunan.
Realitas secara finansial, Aceh memiliki jumlah dana pendidikan yang cukup
besar dan significant untuk memajukan pendidikan di Aceh. Untuk tahun 2009
saja, Aceh memiliki 1.3 triliun rupiah. Sebuah jumlah uang yang cukup besar
mencapai angka Rp1,3 triliun.

Selain memiliki anggaran pendidikan yang besar, Aceh yang luluh lantak
akibat konflik dan bencana tsunami, telah banyak mendapatkan bantuan
pembangunan termasuk pembangaunan sekolah-sekolah. Bukan hanya yang dihantam
tsunami, tetapi juga yang tidak, telah dibangun oleh para donatur di tingkat
nasional, maupun internasional dengan standar internasional. Dengan nilai
dana pendidikan tersebut bertambah besar dengan adanya bantuan dari berbagai
pihak dalam membangu pendidikan di tanah rencong ini. Maka, seharusnya
proses pendidikan di negeri yang sedang menerapkan syariat Islam secara
kaffah bisa berjalan dengan ideal, apalagi dikaitkan dengan sitem
pengelolaan yang barbasis syariat Islam. Tentu saja proses pembangunan
pendidikan harus berjalan secara islami nan kaffah. Artinya, tidak ada
setan-setan atau penyamun yang menggeranyangi dana pendidikan itu.

Namun, uang yang cukup besar, belum memberikan hasil yang signifikan bagi
perbaikan pendidikan di Aceh. Berbagai macam fakta mengenaskan melanda dunia
pendidikan kita terkait dengan penggunaan anggaran pendidikan. Mulai dari
sistem pengelolaan yang tidak terpadu, sampai pada berbagai tindakan
penyelewengan dana. Serambi Indonesia, (21 September 2007) memaparkan fakta
bahwa sejumlah Rp 813,8 miliar lebih dana pendidikan yang bersumber dari
dana bagi hasil minyak dan gas (migas) sebesar 30 persen ternyata belum
disalurkan dan dimanfaatkan untuk pembangunan bidang pendidikan. Kondisi ini
bertentangan dengan semangat dan amanat UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Demikian,
temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang melakukan pemeriksaan terhadap
penggunaan dana perimbangan yang kopiannya diperoleh Serambi di Jakarta,
Kamis (20/9).

Begitu banyak fakta dan berita tentang buruknya pengelolaan dana pendidikan
di Serambi Makkah ini. Namun, kalau kita bertanya apa penyebabnya, pasti
akan teridentifikasi bahwa kesalahan itu lebih banyak pada faktor eksternal.
Sangat sedikit yang bersumber dari faktor internal. Padahal, tidak mampunya
pihak pengelola mengelola dana pendidikan serta buruknya mentalitas para
pengelola adalah faktor penyebab utama yang terjadi secara internal.
Mentalitas para pengelola atau penyelenggara dana pendidikan tersebut
terlihat semakin menjadi-jadi, bak pelacur yang sedang menjual diri.
Buktinya, selama ini berbagai kasus penyelewengan dana pendidikan terjadi di
negeri yang sedang berupaya meningkatkan kualitas pendidikan.

Celakanya, bukan hanya pada pos-pos yang proyek pembangunan fisik, malahan
dana untuk anak yatim saja dipermainkan atau malah disunat. Celaka benar itu
bukan? Para pembaca pasti ingat dengan berbagai berita kasus penyelewengan
dana anak yatim di surat kabar daerah kita. Ada berita tentang dugaan
penyelewengan dana beasiswa anak yatim batuan Arab Saudi.

Sudah terlalu banyak kritik dan pendapat serta berita tentang penyelewengan
dana pendidikan Aceh yang ditulis di berbagai media. Namun, semuanya hanya
menjadi komoditas berita dan politik saja. Perbaikan masih belum membawakan
hasil. Padahal, Aceh telah memiliki piranti dan payung hukum yang jelas
dalam pengelolaan dana tersebut.

Melihat banyaknya kasus penyimpangan dana pendidikan di Aceh, sangatlah
menyakitkan hati rakyat. Tindakan itu sangat merugikan dunia pendidikan kita
yang hingga kini masih amburadul ini. Bayangkan saja, hingga saat ini masih
banyak persoalan pendidikan yang tidak pernah teratasi atau terselesaikan.
Masih ribuan guru yang tidak mendapatkan hak atas gaji atau honor yang
seharusnya mereka terima. Masih banyak sekolah yang disegel pihak tertentu
karena tanah tempat dibangunnya sekolah, adalah tanah bermasalah. Hingga
kini masih ada sekolah yang tidak memiliki fasiltas belajar yang memadai.
Para pembaca pasti pernah membaca cerita murid SD Negeri Nyong, Lueng Putu,
Kecamatan Bandar baru Pidie jaya yang belajar di Kios.

Mengamati carut marut dunia pendidikan di Aceh dari dulu hingga kini, tidak
terlepas dari buruknya sikap kita terhadap pendidikan yang sedang kita
bangun. Pemerintah baik pusat maupun daerah, secara kasat mata memang
membangun pendidikan ke arah yang lebih baik. Namun dalam realitas tidak
sedikit yang berperilaku munafik. Katanya membangun pendidikan, tetapi di
sisi lain dia menjadi predator pendidikan. Caranya adalah dengan menggunakan
kekuasaan yang mereka miliki. Ketika kepentingan primordial itu muncul,
semua aturan bisa diubah dengan berbagai cara, baik secara terang-terangan
maupun terselubung. Jadi sering tidak nyambung antara kata dan perbuatan.
Kita hanya terjebak dalam statement normatif dan tidak memberikan solusi
yang dapat mendorong pada upaya mengefektif dan mengefisiensikan penggunaaan
dana yang tepat untuk membangun pendidikan kita.

Tidak sedikit pejabat kita yang hanya beretorika dan omong doang (odong).
Para pembaca mungkin sudah muak membaca pernyataan-pernyataan pejabat kita
yang sangat normatif. Misalnya mengatakan Aceh harus menjadi pusat
pendidikan. Atau mungkin pembaca membaca salah satu contoh pernyataan Wagub
Aceh dalam banyak beritanya.

Salah satunya adalah apa yang menjadi judul berita di harian Serambi Minggu,
11 April 2010. Wagub Aceh mengatakan, hanya melalui strategi pendidikan
kebudayaan yang dapat mengubah Aceh ke arah yang lebih baik pascakonflik dan
tsunami. Untuk mewujudkan hal itu, pemerintah Aceh mengambil berbagai
langkah, antara lain menyediakan anggaran besar bagi pendidikan”. Pernyataan
retoris ini menjadi ulasan dalam Serambi, Senin (12/4/2010).

Yang diperlukan saat ini bukanlah beretorika. Kita sudah capek dengan semua
itu. Tindakan nyata untuk menggunakan anggaran pendidikan dengan benar,
sesuai dengan renstra yang sudah dibuat dengan biaya besar. Pemda beserta
jajarannya, sebagai eksekutor harus berlaku jujur dalam menggunakan dana
pendidikan. Pemda dan jajarannya hendaklah mengontrol penggunaan uang rakyat
itu untuk kepentingan pendidikan rakyat. Pemda harus mampu mendorong
jajarannya sebagai eksekutor menjaga amanah rakyat dalam menggunakan
anggaran pendidikan, tidak dikemplang dan dikorupsi oleh pihak eksekutor
yang menjadi pelaksana proyek pendidikan. Pemda Aceh, seperti halnya Wakil
Gubernur tidak cukup hanya beretorika. Sudah cukuplah retorika itu.

* Penulis adalah Direktur Center for Community Development and Education
(CCDE).
--
============================
Center for Community Development and Education (CCDE)
Jl. Tgk.Chik Lr. E.No.18 Beurawe
PO. Box 141 Banda Aceh 23001
Indonesia
Telp. +62 651 7428446
Email. ccde.aceh@gmail.com
Web : www.ccde.or.id

0 komentar:

Posting Komentar