Kabinet dan Pendidikan
Setahun sudah Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang dipimpin
SBY-Boediono berjalan. Adakah perubahan yang dicapai bidang pendidikan
selama periode ini?
Tentu dibutuhkan catatan panjang untuk mengevaluasi secara menyeluruh.
Namun, setidaknya ada tiga hal yang ingin saya bicarakan di sini:
perubahan yang menunjukkan kemajuan, perubahan yang menunjukkan
kemunduran, dan masalah-masalah dasar yang terdapat dalam sistem
pendidikan.
Di antara hal-hal yang menunjukkan kemajuan, saya mencatat antara
lain—meski juga banyak dikritik—adalah banyaknya sekolah yang berhasil
mendidik murid-muridnya mencapai prestasi internasional. Hal ini
terutama ditunjukkan dalam berbagai olimpiade, terutama matematika dan
IPA.
Kemajuan lain adalah berdiri atau berkembangnya sekolah-sekolah elite
di sejumlah kota besar di Indonesia: Bandung, Yogyakarta, Semarang,
Surabaya, Malang, Medan, dan kota-kota lainnya. Di antara
sekolah-sekolah jenis ini, ada yang dinamakan rintisan sekolah
berbasis internasional (RSBI) dan sekolah berbasis internasional
(SBI).
Tetapi, apa definisi kata ’’internasional’’ dalam konteks ini? Sejauh
ini, tidak begitu jelas. Masyarakat tampaknya mempunyai tafsir yang
berbeda-beda. Ada yang melihat penggunaan bahasa Inggris menjadi
petunjuk utama ’’keinternasionalan’’. Tapi ada juga yang memandang
status tersebut hanya dari sudut simbolis seperti seragam atau
kemegahan gedungnya saja. Harapan saya, gagasan mengembangkan sekolah
elite perlu diiringi upaya sungguh-sungguh untuk mewujudkan kualitas
yang baik seperti namanya.
Kemunduran
Di samping perubahan-perubahan menggembirakan, terlihat juga perubahan
yang menunjukkan kemunduran. Paling mendasar dari gejala ini adalah
bertambah besarnya jumlah anak-anak miskin yang tidak mampu
bersekolah. Persentase penduduk miskin masih sangat tinggi dan karena
itu persentase siswa-siswa yang tidak mampu menyelesaikan pendidikan
menengah pertamanya—karena kemiskinan—juga sangat tinggi. Jumlah
sekolah telantar dan memprihatinkan masih banyak di sejumlah daerah
dan tidak ada tanda-tanda pemerintah turun tangan.
Kenyataan ini antara lain memicu munculnya lembaga-lembaga pendidikan
nonformal yang kemudian disebut lembaga pendidikan alternatif.
Sebagian lembaga pendidikan alternatif hadir sebagai reaksi atas
ketidakjelasan beragam kebijakan dalam menghasilkan mutu lulusan
berkualitas. Tapi, yang terbanyak, lembaga-lembaga itu digagas untuk
mengakomodasi kepentingan belajar warga miskin.
Dalam pada ini kita juga melihat kesenjangan terus meningkat. Secara
umum, kesenjangan terkait mutu guru dan ketersediaan fasilitas
pembelajaran yang memadai. Memang banyak sekolah dengan fasilitas
baik, tapi mutu gurunya jauh dari harapan. Sebaliknya, tak sedikit
sekolah yang kurang mendapat perhatian pemerintah, guru-gurunya
berhasil menunjukkan inovasi atau terobosan positif.
Harapannya tentu, sekolah-sekolah mendapatkan fasilitas pembelajaran
memadai dan kualitas guru-gurunya terus ditingkatkan. Jika tidak,
keadaannya akan seperti saat ini: kesenjangan antara sekolah-sekolah
elite dan sekolah-sekolah telantar makin lama kian besar. Tidak
terlihat pula usaha-usaha yang cukup nyata dan meyakinkan dari
pemerintah untuk memperkecil kesenjangan ini.
Lalu apa yang akan terjadi sepuluh tahun akan datang kalau kesenjangan
dua jenis sekolah ini tidak juga berkurang?
Masalah-masalah dasar
Salah satu masalah dasar dalam pendidikan Indonesia ialah tidak adanya
hubungan yang erat antara birokrasi pendidikan dan masyarakat
pendidikan di luar birokrasi. Keputusan-keputusan penting dalam
pendidikan sampai sekarang lebih banyak dilakukan birokrasi, sementara
masyarakat pendidikan tidak cukup memahami maksud kebijakan-kebijakan
baru dalam pendidikan.
Salah satu contoh yang sangat klise adalah ujian nasional. Meski
banyak dipersoalkan, birokrasi memutuskan tetap meneruskan kebijakan
ujian nasional. Masyarakat pendidikan pada umumnya mengeluhkan
keputusan pemerintah. Saya sendiri secara pribadi sejak tahun 1970
menentang model ujian nasional. Prinsip saya: yang mampu mengevaluasi
kemajuan murid adalah guru-guru yang mengajar mereka sehari-hari.
Bukan orang dari luar.
Masalah dasar lainnya ialah kurikulum sekolah yang kelihatan sukar
sekali berubah. Dalam hal ini sekolah kita dan pendidikan Indonesia
berwatak konservatif. Konservatisme memang perlu untuk mengimbangi
progresivisme yang tanpa arah. Akan tetapi, kalau kita terlampau
konservatif, kita akan menjadi kaku, murid-murid kita akan menjadi
manusia Indonesia yang kaku dalam belajar.
Dalam hubungan ini perlu disebutkan agaknya bahwa kelebihan
sekolah-sekolah Indonesia dahulu ialah sifat konservatif yang sehat.
Anak-anak lulusan sekolah menengah Indonesia, ketika belajar di luar
negeri, pada umumnya mampu meraih hasil yang cukup baik. Banyak
misalnya lulusan IAIN—sekarang UIN—yang berlatar sekolah
agama/pesantren berhasil dalam studinya di luar negeri hampir di
berbagai bidang. Tahun 1950-an banyak yang memandang rendah IAIN. Tapi
ketika ada lulusannya mendapat PhD jurusan biologi di IPB, misalnya,
orang kemudian sadar bahwa ada konservatisme yang sehat. Ini dapat
kita jadikan contoh untuk mencari sikap yang lebih sehat bagi
pendidikan Indonesia masa datang.
Masalah mendasar lainnya, pendidikan Indonesia masih saja sangat
menekankan pendidikan pengetahuan (transfer of knowledge) dan tidak
cukup memberi perhatian kepada pemupukan keterampilan (formation of
skills) dan pembinaan watak (character building).
Memang kata pembinaan watak atau character building selalu digunakan,
tapi tidak diterjemahkan menjadi tindakan pendidikan yang cukup nyata.
Pendidikan watak lebih banyak diberikan dalam bentuk khotbah-khotbah
tentang manusia yang mulia, manusia beriman dan bertakwa, dan betapa
mengerikannya nasib manusia-manusia tersesat.
Catatan akhir
Perlu kita sadari bahwa kemajuan, kemunduran, dan banyaknya masalah
mendasar pendidikan tidak dapat dipandang sebagai hasil kerja KIB
Jilid II semata. Kita semua bertanggung jawab. Dinamika dalam
pendidikan selalu terjadi setelah terkumpulnya tenaga-tenaga
peremajaan (rejuvenation of power) dalam waktu lama. Karena saya
percaya, there’s no instant progress in education.
Sekarang, terserah kepada kita, kepada birokrasi pendidikan dan
masyarakat pendidikan seluruhnya: apa yang diinginkan untuk Indonesia
di masa depan? Tetap menjadi bangsa yang konservatif, menjadi bangsa
dinamis tetapi tanpa arah, atau menjadi bangsa yang terus-menerus atau
secara konsisten menuju kemajuan dan perbaikan. Jawabnya ada di tangan
kita.
Mochtar Buchori Pengamat Pendidikan
0 komentar:
Posting Komentar