Musik yang Tidak Melalaikan
Dewasa ini nyaris tidak ada orang
yang tidak mengenal Musik dalam berbagai bentuknya. Musik hadir tidak Cuma di
acara seni, budaya atau pesta, namun juga di upacara kenegaraan, olahraga,
berita televise, hingga acara keagamaan. Kalau di agama Nasrani atau Hindu, Musik
memang dari dulu bagian integral dari ritual. Namun meski tidak menjadi rukun
ibadah, makin banyak acara keIslaman yang diiringi dengan Musik. Alhamdulillah, belum perlu ada shalat
atau khutbah yang diiringi musik. Kalau seperti itu jelas bid’ah. Namun cobalah
tengok berbagai majelis dzikir, tabligh akbar atau istighotsah. Makin banyak
suara Musik yang menjadi latar agar persiapan lebih syahdu, agar pergantian
acara lebih segar, atau agar suasana do’a lebih berkesan.
Sebagian orang menyangka bahwa Musik
memang terkait hadharah, dan orang Islam tidak pantas ikut-ikutan. Sebagian
ulama bahkan dengan tegas mengharamkan Musik. Namun kalau kita merujuk kepada
nash, akan ditemukan sejumlah dalil bahwa Rasul membolehkan bahkan menganjurkan
memainkan Musik, seperti saat hari raya atau saat ada pesta pernikahan. Tentu
saja, kehalalan ini bersyarat, yakni tidak ada isi lagu atau syair yang
bertentangan dengan Islam, tidak ada aurat yang dipamerkan, tidak ada ikhtilat
(campur aduk antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram) dan tidak
menghabiskan waktu dengan Musik sampai melalaikan berbagai kewajiban syar’i.
Kalau syarat ini tidak dipenuhi, niscaya Musik itu akan melalaikan manusia dari
cahaya iman, dari dakwah, dari jihad, bahwak dari memenuhi kewajiban
fardhiyahnya. Musik jadi isi hidupnya. Musik bermetamorfosisi menjadi agamanya.
Dan para musisi menjadi para Nabi atau bahkan Tuhan yang disembahnya. Inilah
yang terjadi di dunia Barat sekarang ini.
Ketika Khilafah Islam jaya, musik
tidak pernah menjadi sesuatu yang melalaikan. Bahkan kaum Muslimin pernah ikut
berkontribusi dalam teknologi musik.
Sejumlah besar alat musik yang
dipakai di musik klasik Barat dipercaya berasal dari alat musik Arab. Lute berasal dari “al-‘ud”, rebec (pendahulu dari violin) dari “rabab”, guitar dari “qitara”, naker dari “naqareh”, adufe dari “al-duff”, alboka dari “al-buq”, anafil dari “al-nafir”, ezabeba (flute) dari “al-syabbaba”, atabal (bass drum) dari “al-tabl”, atambal dari “al-tinbal”, sonajas de azofar dari “sunuj al-sufr”,
dan masih puluhan alat musik lainnya yang ternyata berakar dari alat musik
Arab.
Mengapa bisa demikian? Apakah
karena emmang orang Arab dulu senang dengan musik? Ternyata kalau Cuma itu
halnya, pastilah musik mereka tidak akan mendunia.
Penyebabnya ada dua: pertama, adalah kenyataan bahwa musik
Arab itu dimainkan oleh masyarakat dari negeri yang luar biasa. Negeri Daulah
Khilafah saat itu kenyataannya adalah Negara paling kuat, paling adil, dan
paling makmur di muka bumi. Maka orang-orang asing, termasuk orang-orang Barat
sangat ingin meniru apa saja yang mereka lihat di negeri itu. Karena aqidah
tidak kasat mata, yang kasat mata antara lain adalah alat musik, maka mereka
meniru musik ini. Fenomena ini mirip saat ini banyak orang-orang dari negeri
Muslim yang ingin meniru musik apa saja dari Amerika, yang diyakininya masih
sebagai Negara paling kuat, paling demokratis dan paling makmur di muka bumi.
Kedua, adalah kenyataan bahwa teori musik banyak ditemukan oleh
orang Islam. Meninski dalam bukunya Thesaurus
Linguarum Orientalum (1680) dan Laborde dalam tulisannya Essai sur Ia Musique Ancienne et Moderne
(1780) sepakat bahwa asal-muasal notasi musik Solfege (do, re, mi, fa, sol, la, si) diturunkan dari huruf-huruf
Arab sistem ‘solmization” Durar-Mufassalat (dāl, rā’, mīm, fā’, ād, lām, tā’) yang
bermakna “mutiara yang terpisah”. Setiap huruf memiliki frekuensi getar dalam
perbandingan logaritmis dengan huruf sebelumnya. Maka tak heran bahwa di zaman
peradaban Islam, para penemu teori musik ini umumnya juga matematikawan.
Kehebatan
musik dari Negara Khilafah bertahan sampai abad-18 M, yakni ketika militer
Utsmaniyah sebagai militer terkuat di dunia memiliki marching band yang hebat, bahkan ini dianggap marching band militer tertua di dunia. Orang Barat menyangka, bahwa
semangat jihad yang menyala-nyala dari tentara Utsmaniyah ini ditunjang atau
bahkan dilahirkan oleh musik militernya. Padahal sejatinya, aqidah Islam dan
semangat mencari syahidlah yang membuat militer ini jadi hebat. Ketika
belakangan aqidah dan semangat mencari syahid ini mengendur, militer ini
tinggal marching-band-nya saja yang
hebat.
Marching-band ini
dijuluki dengan istilah Persia “Mehler”. Instrument yang digunakan oleh Mehler
adalah Bass-drum (timpani), Kettledrum (nakare), Frame-drum (davul), Cumbals
(zil), Oboes, Flutes, Zuma, “Boru” (semacam terompet), Triangle dan “Cevgen”
(semacam tongkat kecil yang membawa bel). Marching-band
militer ini menginspirasi banyak bangsa Barat, bahkan juga menginspirasi para
komponis orkestra Barat seperti Wolfgang Amedeus Mozart (1756-1791) dan Ludwig
van Beethoven (1770-1827).
Prof. Dr. Ing.Fahmi
Amhar
0 komentar:
Posting Komentar