Antara Ayam dan Manusia

"Try not to become a man of success but rather to become a man of value."
-- Albert Einstein, fisikawan

APA perbedaan ayam dengan manusia? Itulah pertanyaan yang dilontarkan
seorang tokoh di negeri ini dalam sebuah acara diskusi. Terkesan main-main
memang. Tak heran bila mereka yang hadir di sana punya banyak reaksi.

Ada yang tertawa geli, karena pertanyaan lucu itu. Mungkin mereka tidak
percaya ketika pertanyaan itu dilontarkan seorang tokoh. Ada yang diam,
mungkin sedang berpikir maksud dibalik pertanyaan tersebut. Di bagian lain,
ada juga yang tiba-tiba memegangi perutnya. Bisa jadi dia teringat pada ayam
goreng yang baru saja disantapnya.

Ternyata pertanyaan ini lebih dari sekedar serius. Kata bapak itu, setiap
harinya ayam melakukan rutinitas yang tak pernah berbeda, selalu sama.
Bangun pagi, berkokok, notol-notol mencari makan, buang air, melakukan
hubungan seks, walau untuk urusan yang satu ini tak melulu tiap hari, lalu
tidur dan bangun pagi lagi. Begitu seterusnya.

Kalaulah ada sedikit variasi: mereka berkelahi ketika saat lawan jenisnya
diganggu. Tapi bila keadaannya normal, apalagi bila ayam itu dipelihara di
rumah, mereka hidup dalam damai.

Bagaimana dengan manusia? Andai mereka melakukan hal yang juga rutin, bangun
pagi, bekerja, pulang, buang air, melakukan hubungan seks, walau lagi-lagi
tak harus tiap hari, lalu tidur dan bangun lagi keesokan harinya, dan
seterusnya begitu, mohon maaf kata sang bapak itu, lantas apa bedanya dengan
ayam.

Albert Einstein, fisikawan ternama pernah berkata, "Try not to become a man
of success but rather to become a man of value." Di sini, Einstein lebih
menekankan kepada nilai yang dimiliki seseorang, bukan semata kesuksesannya.
Nilai dari seseorang manusia terlihat dari seberapa besar manfaat yang dia
lakukan untuk orang lain. Manusia semakin bernilai saat banyak memberikan
manfaat bagi orang lain.

Tak sulit untuk membuat kita semakin bernilai. Bukan dengan mobil yang
mengkilap. Bukan juga dengan pakaian yang licin dan bermerek. Apalagi
ditentukan dengan pergaulan yang penuh dengan ingar-bingar.

Lihatlah sekeliling kita. Mang Ipin misalnya. Seorang tukang sampah di
sebuah kompleks perumahan daerah Duren Sawit. Bayangkan, bila tidak ada satu
pun tukang sampah, seperti Mang Ipin, di suatu kompleks perumahan. Apa yang
akan terjadi? Sampah akan menumpuk, bau busuk akan menyebar ke segala arah.
Wabah penyakit siap mengerubungi. Penghuni menjadi tidak nyaman. Tak hanya
itu, seorang tukang sampah pun mempunyai nilai bagi orang lain. Mang Ipin,
sehari-harinya tak hanya melakukan rutinitas, mengambil sampah dari tempat
pembuangan sampah para warga untuk kemudian diangkut ke tempat pembuangan
akhir. Kadang ia mengingatkan penghuni rumah, bila ternyata sang penghuni
rumah kelupaan untuk membuang sampah. Bahkan, Mang Ipin pun sering bertanya
pada si pemilik rumah, barangkali ada sampah yang belum terbuang.

Seorang dokter pun dapat melakukan hal yang sama misalnya. Selain tugas
mulianya membantu orang lain agar sembuh, ia pun dapat melakukan hal lebih,
misalnya membantu pasien yang kurang mampu dengan menggratiskan biaya
pengobatan atau memberikan obatnya secara cuma-cuma. Atau bisa juga
memberikan penyuluhan di lingkungan warga sekitar mengenai kesehatan,
kebersihan, atau pertolongan pertama apa yang harus dilakukan saat terkena
penyakit tertentu. Suatu kegiatan yang sungguh-sungguh mulia. Intinya,
pekerjaan yang mulia sejatinya pekerjaan yang paling banyak memberi manfaat
kepada orang lain.

Suatu profesi sangat mungkin merupakan suatu pilihan hidup. Tetapi manusia
seyogianya dituntut untuk dapat melakukan sesuatu lebih dari sekedar profesi
yang digelutinya. Seorang manusia bisa jadi melakukan aktivitasnya secara
rutin. Atau dapat dikatakan, monoton. Hal itu bukanlah suatu kesalahan.
Karena sekali lagi, hal itu merupakan pilihan hidup. Monoton saja masih
lebih baik ketimbang tidak merugikan bagi orang lain. Karena bila merugikan
bagi orang lain, jelas, ia lebih hina dari seekor ayam sekalipun.

Tapi manusia bukanlah ayam. Manusia mampu melakukan lebih dari sekedar
rutinitas. Manusia mampu melakukan lebih dari itu. Ia dapat memperoleh nilai
dari apa yang yang telah diperbuatnya. Semakin banyak yang diperbuat bagi
orang lain, itu makin bagus. Tak peduli apapun profesi atau pekerjaan
seseorang untuk dapat berbuat lebih dan memberikan nilai-nilai terbaik yang
kita miliki. Jangan pernah merasa puas atas apa yang telah diperbuat. Karena
seharusnya kita dapat lebih, dan lebih berbuat lagi. Untuk selalu terus
berkembang, tumbuh, dan dinamis. Ya, karena manusia tidaklah sama dengan
seekor ayam.

Oleh: Sonny Wibisono
Penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media
Komputindo, 2009

0 komentar:

Posting Komentar