“Masa kecil merupakan masa yang indah untuk dilukiskan”

“Masa kecil merupakan masa yang indah untuk dilukiskan”

Saya jadi teringat akan masa-masa indah itu, masa yang telah saya lewati lebih dari dua puluh tahun yang lalu, ketika saya masih seusia Sekolah Dasar (SD) di kampung ada kebiasaan bagi anak-anak seusia saya untuk belajar mencari tambahan untuk uang saku. Meski tidak banyak jumlahnya, namun dapat membantu uang jajan maupun sebagai tabungan pribadi. Untuk mencari tambahan uang saku tersebut, seusai sekolah dan mengganti baju saya langsung menuju pinggir sungai untuk menanti kedatangan para nelayan yang pulang dari mencari ikan di laut.

Kegiatan ini terus berulang-ulang dilakukan oleh anak-anak sampai mereka merasa sungkan dengan semakin beranjaknya usia mereka menjadi Anak Baru Gede (ABG). Di usia ABG inilah alang-alang itu dihentikan.

Ya.....alang- alang lah yang menjadi salah satu kegiatan favarit saya dan teman-teman lain seusia saya untuk mencari tambahan uang saku itu. Alang-alang yang ingin saya tulisakan di sini bukanlah sejenis tanaman kelas rumput-rumputan melainkan suatu kegiatan yang sering dilakukan oleh anak-anak seusia saya semasa kecil dan memang sering dilakukan oleh anak-anak di kampung nelayan, pesisir Jawa bagian pantai utara.

Alang-alang merupakan suatu kegiatan semacam meminta sedekah atau sisa-sia ikan hasil tangkapan para nelayan. Misalnya seorang nelayan mendapatkan hasil ikan tangkapan lima, sepuluh kilogram, maka biasanya mereka akan memberikan kepada saya satu, dua, atau tiga ekor ikan. Hal ini tergantung dari banyak sedikitnya tangkapan para nelayan. Bila seorang nelayan mendapatkan jumlah tangkapan yang relatif banyak, meka mereka pun tak segan memberikan alang-alang kepada anak-anak yang memintanya juga cenderung banyak. Hasil alang-alang ini kemudian saya kumpulkan dari nelayan satu ke nelayan lain sehinggga terkadang hasilnya mengalahkan hasil tangkapan nelayan itu sendiri.

Saya melihat tingkat kesederhanaan para nelayan dalam memberikan sedekahnya, memberikan sebagaian dari hasil tangkapannya sebagai oleh-oleh bagi anak-anak seusia SD. Pernah sauatu ketika saya “alang-alang” meskipun hanya mendapatkan hasil tangkapan ikan cuma sedikt. Mereka tetap menyisihkan hasilnya suatu kesederhanaan para nelayan yang selalu membagi-bagikan hasil tangkapannya

Bagi saya, alang-alang akan saya lakukan sampai umur sepuluh tahun. Setelahnya saya tidak akan melakukannya lagi. Anggapan saya kala itu bahwa alang-alang bukanlah kegiatan yang wajib dilakukan bagi anak-anak melainkan salah satu kegiatan yang boleh dilakukan atau tidak dilakukan. Tidak ada salahnya.

Alang-alang yang terkumpul ini kemudian saya jual kepada seorang tengkulak, bakul (pedagang ikan), atau suplier ikan yang akan menjualnya ke pasar-pasar atau menyetorkannya ke pabrik-pabrik. Kebetulan ibu saya juga seorang suplier ikan, jadi saya bisa langsung menjualnya pada beliau.

Ada kalanya seorang anak berpikiran apa yang diberikan oleh orang tuanya masih belum cukup. Biasanya ketika menjual ikan ke seorang tengkulak nantinya ketika hari raya akan mendapatkan hadiah sepotong baju yang bisa digunakan untuk lebaran. Saya merasa khilaf saat itu, saya tidak menjual semua ikan yang saya dapat ke ibu melainkan saya bagi untuk saya jual ke tengkulak lainnya. Harapannya, hari raya nanti saya akan mendapatkan dua potong baju baju. Satu baju dari ibuku dan satu baju lainnya dari tengkulak lain.

Hari raya yang saya nantikan pun tiba, semua teman-teman yang menjual hasil alang-alangnya ke seorang tengkulak itu mendapatkan hadiah yang ia nantikan, sepotong baju baru yang akan digunakan pada hari raya. Satu per satu teman-temanku dipanggil oleh seorang tengkulak untuk mendapatkan jatahnya. Saya dengan sabar menunggu panggilan itu, sampai semua teman-temanku selesai dipanggilnya. Kini tiba giliranku, sang tengkulak mendatangiku dan membisikkan suaranya dengan pelan di telingaku “Sis, kamu belum mendapatkan jatah baju. Toh ibumu juga seorang penjual ikan, dia akan membelikan baju baru lebaranmu”.

Seorang anak seusia saya tentunya tidak menerima keputusan itu, tapi bagaimanapun juga sang tengkulak ada benarnya. Di satu sisi dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk membelikan satu potong baju baru kepada pelanggan barunya dan di sisi lain dia telah menunjukkan jalan bagiku bahwa orang tualah sebenarnya yang akan membalikan baju baru itu meskipun saya dengan setengah hati menjadi pelanggan beliau, sebagai penyuplai ikan hasil alang-alangku. Maafkan saya Ibu (*)

Salam
Sismanto
"jadilah guru diri sendiri,sebelum menjadi guru orang lain"
http://mkpd.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar