Jihad Pluralis Melawan Kaum Ekstremis
Oleh Sumanto AL Qurtuby**
Muhammad Sa'id al-Ashmawi (lahir 1932), seorang ahli fiqih, mantan hakim agung Mesir dan salah satu pemikir Muslim progesif berpengaruh, pernah menulis buku pendek tapi berbobot: Against Islamic Extremism ("Melawan Ekstrimis Islam"). Buku setebal 144 halaman ini diedit oleh Carolyn Fluehr-Lobban. Buku ini mendiskusikan beberapa topik penting seperti konsep jihad, doktrin-doktrin militansi dalam Islam, hukum Islam, hak-hak asasi manusia dalam Islam, jilbab, dlsb yang tentu saja dari perspektif Islam progresif dan sudah barang tentu gagasan-gagasannya berlawanan dengan mainstream pemikiran kelompok Islamis (Mesir khususnya).
Kata "Islamis" yang dimaksud disini merujuk pada sejumlah kelompok Muslim yang memegang teguh prinsip bahwa Islam bukan hanya sebuah agama melainkan juga sebuah ideologi dan sistem politik. Karena didasari oleh pandangan dan "kepercayaan" inilah, kelompok Islamis terus berkampanye agar umat Islam kembali kepada "ajaran yang benar" dan disatukan dalam satu bendera politik: Islam. Selain itu, kaum Islamis juga menekankan pentingnya penerapan formal Syari'at Islam, penegasan kesatuan politik Pan-Islamisme, dan penghapusan atau penghancuran segala bentuk kebudayaan dan nilai-nilai luar yang datang dari non-Muslim dan Barat yang mereka anggap tidak islami atau bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Karena itu mereka gigih menyerang konsep-konsep demokrasi, pluralisme, feminisme, liberalisme, sekularisme dan seterusnya karena dianggapnya sebagai "produk kebudayaan kafir."
Muhammad Sa'id Ashmawi terang-terangan menolak pandangan-pandangan kaum Islamis yang sering disebut "Islamisme" ini. Bagi Ashmawi, Islamisme adalah sejenis pandangan aneh yang justru berlawanan dengan spirit Islam itu sendiri sebagai agama terbuka, demokratis, all-inclusive, dan toleran-pluralis. Ia juga berpandangan bahwa aplikasi shari'at (tatbiq al-syari'at) atau pengundang-undangan syari'at (taqnin al-syari'at) "demi tegakknya Islam" seperti yang didakwahkan oleh kaum Islamis dalam realitasnya hanyalah slogan kosong belaka. Baginya, dakwah penegakkan syari'at dan ideologi Islam hanyalah akal-akalan kelompok Islamis ini. Selanjutnya Ashmawi berpendapat bahwa konsep pemerintahan dan negara yang paling tepat adalah "civil goverment" atau "civil state" dan bukan "pemerintahan Islam" atau "negara Islam" yang pernah mengalami kebangkrutan dalam sejarah Islam. Lantaran dakwah-dakwah Ashmawi yang menyudutkan kepentingan politik kaum Islamis dan militan inilah, hidupnya selalu dalam bayang-bayang teror kaum militan dan ekstrimis Muslim. Tapi ia bergeming dan tetap menyuarakan gagasan Islam progresif yang berbasis pada nilai-nilai universal kemanusiaan.
***
Jika Ashmawi yang alumnus Universitas Cairo ini hanya menyerang atau jihad melawan kelompok Islam ekstrim seperti tersurat dalam judul bukunya di atas, Against Islamic Extremism, saya ingin menambahkan bahwa bukan hanya kelompok Islam ekstrim saja yang harus dilawan dan "diperangi" tapi juga semua kelompok ektrimis agama. Berjihad melawan kelompok "ekstrimis agama" adalah sebuah tindakan mulia. Kaum Muslim dan umat beragama yang meyakini ajaran agamanya sebagai "kekuatan ramah" yang damai, toleran-pluralis, humanis, dan penuh cinta-kasih, maka harus berjuang keras (berjihad) melawan "kekuatan sadis" yang ditebarkan kelompok ekstremis agama ini.
Istilah "ekstrimis agama" yang dimaksud disini mengacu pada (1) kelompok agama tertentu yang menggunakan cara-cara atau bentuk-bentuk kekerasan fisik seperti terorisme, pengeboman, penyerangan, penganiayaan, pembakaran, pengrusakan dst dalam mengekspresikan paham keagamaannya; dan (2) kelompok agama tertentu yang memiliki pandangan kaku, literal, dan anti-perubahan dalam menyikapi wacana dan fenomena keagamaan. Bagi kaum ekstrimis agama ini, agama—termasuk Islam—adalah sebuah "paket jadi" made in Tuhan yang tidak bisa diotak-atik, ditafsiri, dan diperbaharui. Tafsir keagamaan atau pembaharuan agama bagi mereka adalah sebuah tindakan perlawanan dan penjarakan terhadap "kehendak" Tuhan yang termaktub dalam kitab suci-Nya. Begitulah keyakinan kaum Islamis, misalnya.
Penting untuk dicatat bahwa tidak semua kelompok ekstrimis agama ini dalam mengekspresikan paham dan pandangan keagamaanya dengan menggunakan cara-cara kekerasan fisik ("direct violence") sebagaimana kaum teroris atau milisi perang misalnya. Meski begitu, mereka sering melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk lain seperti pelecehan atau penghinaan terhadap komunitas agama atau penganut ajaran tertentu. Fatwa-fatwa haram yang dilakukan MUI terhadap kelompok agama tertentu di Indonesia juga bisa dikategorikan sebagai "kekerasan non-fisik" ini. Aktivis perdamaian Johan Galtung menyebut jenis kekerasan terakhir ini "cultural violence." Didorong oleh "nafsu" untuk mengislamkan, atau "memperjuangkan" Islam sebagai kekuatan ideologi dan sistem politik, atau membuat kelompok agama tertentu supaya menjalankan pemahaman dan praktek keagamaan seperti yang mereka lakukan, kelompok "Islam ekstrim" ini sering kali "campur tangan" terhadap pemikiran, pemahaman, dan praktek keagamaan kelompok lain yang mereka anggap "belum lurus." Proses intervensi terhadap kelompok agama lain itu bisa dilakukan dalam berbagai bentuk: dari black campaign di tempat-tempat ibadah (seperti dalam khutbah atau pengajian) sampai pengeluaran fatwa-fatwa haram.
Terhadap kelompok ekstrimis agama di atas kita—umat beragama—harus berani melakukan "jihad kolektif" lintas-budaya. Tentu saja kata "jihad" disini bukan berarti melakukan serangkaian tindakan kekerasan fisik seperti pengeboman sebagaimana dilakukan kaum teroris atau pemaksaan, pembakaran, pengusiran, dan pengrusakan seperti yang dilakukan secara istiqamah oleh FPI, FUI, dan kelompok agama sejenis. Jihad yang dimaksud disini adalah usaha keras tanpa kenal lelah untuk melakukan "pencerahan" terhadap kelompok-kelompok keagamaan ini dengan jalan dialog yang sehat, santun, dan beradab baik melalui tulisan-tulisan akademik maupun forum-forum diskusi ilmiah yang bermuara pada pentingnya sikap keberagamaan yang humanis-pluralis dan toleran-inklusif. Jihad melawan ektrimis agama ini juga bisa diekspresikan melalui demonstrasi damai lintas budaya, sit-in, penyebaran pamflet, statemen bersama, dan masih banyak lagi termasuk upaya-upaya informal ("jalan belakang") guna menyelesaikan konflik dan ketegangan kelompok yang bertikai. "Jihad pluralis" juga bisa dilakukan di forum-forum keagamaan yang selama ini menjadi medium umat beragama untuk berkumpul sekaligus menyebarkan wawasan keagamaan. Karena perbedaan adalah sebuah "rahmat," maka janganlah perbedaan itu kita sikapi dengan jalan kekerasan. Apapun bentuknya. Melawan tindakan kekerasan dengan kekerasan bukanlah penyelesaian terbaik dalam teori-teori "resolusi konflik" dan peacebuilding.
***
Ada beberapa alasan fundamental kenapa kita harus berjihad melawan kelompok "ekstrimis agama" termasuk kaum Islamis, khususnya di Indonesia ini. Pertama, tindakan keagamaan mereka yang menggunakan cara-cara kekerasan (baik "kekerasan fisik" maupun "kekerasan kultural") dalam setiap penyelesaian masalah, jelas membahayakan perdamaian dan keamaan global (peace and global security) antar dan inter umat beragama serta mengancam eksistensi hak-hak dasar manusia, terutama hak-hak untuk beragama dan berkeyakinan. Dalam konteks politik yang lebih luas, tindakan kekerasan ini berpotensi kuat menciptakan destabilitas bangsa dan negara. Dalam konteks ekonomi, aksi-aksi kekerasan ini juga membawa dampak buruk bagi perkembangan dunia usaha yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat dan warga negara. Sulit bagi pengusaha atau pebisnis untuk menanam investasi dan modal di negeri kita jika situasi keamaan masih belum terjamin dengan baik.
Kedua, alasan yang tidak kalah pentingnya mengapa kita harus berjihad melawan kelompok ekstrimis agama, khususnya kelompok "Islam ekstrim" di negeri ini adalah karena Indonesia adalah negara majemuk yang didalamnya tinggal dan hidup berbagai kelompok etnis, agama dan kepercayaan yang masing-masing mempunyai sistem spiritual, simbol, pemahaman, kepercayaan, ajaran, ritual, dan tradisi keagamaan yang berlainan. Watak kelompok "ekstrimis agama" termasuk kaum Islamis-konservatif yang anti-pluralitas dan pluralisme ini jelas akan mengancam sendi-sendi "nation building" yang dibangun dengan susah payah oleh para pendiri bangsa di atas fondasi kemajemukan. Negara yang bernama "Indonesia" ini adalah hasil dari jerih payah semua elemen bangsa dari berbagai agama dan kepercayaan. Dengan kata lain, kelompok "Islam ekstrim" dan konservatif yang marak pasca rontoknya Orba yang selalu memaksakan keyakinan dan pemahaman keagamaannya untuk diterapkan di negeri yang berdasar pada Pancasila ini jelas akan mengancam eksistensi kewarganegaraan (citizenship) , kaum minoritas (baik minoritas etnis maupun agama) serta karakter kemajemukan bangsa itu sendiri.
Sebagai sebuah ideologi dan dasar negara, Pancasila sudah sangat ideal dengan karakter bangsa Indonesia yang majemuk karena Pancasila berwatak flexible dan merangkul semua komponen bangsa: Muslim-non-Muslim, Jawa-non-Jawa dst. Karena itu NU tidaklah salah ketika memutuskan untuk mempertahankan Pancasila sebagai landasan fundamental berbangsa dan bernegara. Berdasar latar belakang inilah, maka semua elemen bangsa harus menindak tegas bahkan bila perlu pemerintah harus berani menghukumi "makar" terhadap setiap upaya dan gerakan untuk mengganti Pancasila dengan ideologi tertentu (misalnya ideologi Islam seperti diusung HTI dan kelompok "Islamis" lain). Pula, pemerintah dan semua komponen bangsa harus bersikap tegas dan berani melawan terhadap berbagai gerakan dan tindakan kekerasan yang bermuara pada anti pluralitas seperti yang sering kita saksikan di negeri ini.[]
*Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 20 Februari 2010, dengan judul "Jihad Pluralis."
**Sekretaris Jenderal Komunitas NU Amerika dan Kanada serta Kandidat doktor di bidang antropologi politik dan agama di Boston University, Amerika Serikat
0 komentar:
Posting Komentar