Mencari Solusi Pendanaan Pendidikan Tinggi
M Ridwan, Dosen dan Pemerhati Pendidikan
MENJELANG pergantian tahun ajaran, masalah pendidikan pasti menjadi salah satu topik buah bibir masyarakat. Hingga hari ini hal itu masih bergaung. Dua muaranya yang tak berubah tahun demi tahun, seputar biaya dan kualitas pendidikan.
Persoalannya bukan tentang rendah atau setidaknya kewajaran biaya, dan tingginya kualitas pendidikan (tinggi) kita. Melainkan sebaliknya, biaya pendidikan di negeri ini terkenal mahal, sementara kualitasnya tak kunjung memuaskan. Soal kualitas, Newsweek beberapa waktu lalu, misalnya, menempatkan Universitas Indonesia--salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia--di peringkat 61 di antara 77 PT (perguruan tinggi) terkemuka di kawasan Asia.
Menggambarkan dunia pendidikan kita bak mengurai benang kusut. Ujung permasalahan dasarnya, tampaknya, sulit dideteksi. Masyarakat melihat PT telah menjadi lembaga industri (industrialisasi pendidikan). Aspirasi ini ditangkap wakil rakyat di Senayan, tepatnya Komisi VI DPR, yang kemudian mengadakan pertemuan dengan rektor PTN (perguruan tinggi negeri) se-Indonesia.
Sebagai ilustrasi, biaya pendidikan per mahasiswa per tahun di ITB mencapai Rp17 juta, dan di UGM Rp11 juta. Jadi, untuk UGM, dengan mahasiswa sekitar 50 ribu membutuhkan dana operasional pendidikan per tahun sekitar Rp550 miliar. Angka Rp17 juta di ITB dan Rp11 juta di UGM untuk biaya per mahasiswa per tahun itu masih berada di bawah angka yang dicita-citakan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Depdiknas, yakni Rp18 juta per mahasiswa per tahun. Saat ini di Indonesia rata-rata biaya pendidikan per mahasiswa per tahun sebesar enam juta rupiah. Angka yang jauh di bawah harapan Dirjen Dikti.
Dari total biaya pendidikan per mahasiswa per tahun di UGM, rata-rata besarnya SPP yang dipungut dari mahasiswa sebesar satu juta rupiah setiap tahunnya atau hanya sembilan persen. Sisanya disubsidi pemerintah sebesar 56% dan dari universitas 35%. Nah, subsidi inilah yang bakal dipangkas tahun demi tahun.
Bila dikaji secara gamblang saja, jelas terlihat persoalan mendasar tersebut diakibatkan oleh kemampuan pemerintah menyiapkan anggaran belanja yang wajar untuk sektor yang sangat penting bagi masa depan bangsa ini. Angka idealnya, setidaknya 20% APBN untuk pendidikan. Dengan anggaran itulah dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, dapat bersaing sejajar dengan negara-negara maju. Namun, tampaknya pengalokasian anggaran belanja negara sebesar itu hampir dapat dipastikan masih sekadar harapan.
***
Dalam kondisi terjadi kelangkaan sumber pembiayaan terhadap sektor pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, pemerintah pun 'terpaksa' melepas empat universitas papan atas yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Institut Teknologi Bandung (ITB) berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Dengan status BHMN, keempat perguruan tinggi tersebut mulai disapih dari subsidi pemerintah. Karena itu, keempat BHMN itu harus memutar otak mencari dana sendiri guna menutup biaya operasional kampus. Dan, salah satu langkah kreatif yang masih menjadi bahan perdebatan adalah membuka 'jalur khusus' di luar mekanisme SPMB (seleksi penerimaan mahasiswa baru). Itu artinya ada mahasiswa yang bisa masuk PTN dengan memberi sumbangan lebih besar dari jalur normal.
Langkah lain yang tidak populer juga ditempuh dengan menaikkan SPP mahasiswa. Biasanya aksi protes mahasiswa pun tidak bisa membendung putusan kampus menaikkan SPP tersebut. Hal seperti ini bisa saja akan terus terjadi setiap pergantian semester atau tahun dan yang paling terpukul adalah mahasiswa dari kalangan kurang berada atau tidak mampu. Bukankah mahasiswa yang kurang berada itu memilih PTN karena murah dan dipersepsikan punya kualitas bagus? Tetapi, dengan PTN berstatus BHMN, biaya pendidikan di PTN pun lama-kelamaan akan mendekati PTS.
Kondisi ini memang sungguh dilematis bagi pengelola PTN. Tetapi, di sisi lain, mahasiswa pun semakin hari akan dikenai beban biaya perkuliahan yang terus meningkat. Di antara dua kutub inilah yang perlu dicarikan solusinya, paling tidak mengurangi beban dari salah satu sisi. Mungkin cara kreatif pengelola UGM dalam mengurangi defisit dengan menerbitkan reksadana UGM belum dicermati. Atau, bisa juga dengan mengajak pelaku usaha seperti Dr Mochtar Riady yang menjadi salah satu jajaran pengurus di UI. Setidaknya ada input atau sentuhan bisnis dalam pengelolaan perguruan tinggi.
Kita bisa saja becermin bagaimana universitas ternama di AS seperti Harvard, yang punya tim pengelola dana guna membiayai operasional kampus. Tim ini yang mengelola dana milik Harvard guna diinvestasikan di sejumlah instrumen keuangan yang aman, likuid, dan memberi profit. Dengan cara seperti ini, setidaknya pihak Harvard sudah memiliki satu mesin uang yang bisa membantu mengongkosi roda kampus. Mengapa pula cara seperti yang dilakukan Harvard ini tidak dijadikan contoh bagi pengelola kampus di negeri ini. Dan, sesungguhnya masih banyak cara kreatif guna menyiasati defisit biaya operasional PTN.
***
Lalu bagaimana dengan upaya meminimalisasi beban mahasiswa yang harus terus menghadapi pergerakan kenaikan biaya perkuliahan setiap tahun. Memang, diperlukan langkah kreatif yang mesti ditempuh oleh mahasiswa. Tetapi, dengan segala keterbatasan seorang mahasiswa sebaiknya ada pihak lain yang ikut memikirkan atau membantu mahasiswa yang kekurangan dana guna menyelesaikan pendidikan mereka. Untuk itu, diharapkan berbagai lembaga profit seperti perusahaan nasional atau multinasional maupun lembaga nonprofit seperti bank sentral untuk ikut berperan.
Lembaga swasta yang dikenal konsisten menyalurkan beasiswa, antara lain Yayasan Supersemar, PT Astra, PT Gudang Garam, PT Jarum, Unilever, Du Pont, dan Epson. Sementara dari lembaga pemerintah seperti Bank Indonesia dan Pertamina.
Menarik disimak, seolah sudah memprediksi sejak dini, Bank Indonesia (BI) pada tahun ajaran baru ini kian melebarkan sayap program beasiswanya. Sejak program ini digelar pada 1999, BI setiap tahunnya menyediakan beasiswa kepada 10 PTN, yakni USU, Unand, IPB, Unpad, ITB, Undip, UGM, Unair, Unibraw, dan Unhas. Melalui kerja sama dengan kesepuluh PTN tersebut, hingga kini sekitar 1.000 mahasiswa kurang mampu dapat mengikuti proses kuliah tanpa hambatan biaya lagi. Dan, mulai tahun ajaran 2003/2004 ini program beasiswa BI--yang murni sosial tanpa ikatan dinas--meluas mencakup 61 PTN dari Sabang sampai Merauke. Langkah BI ini semestinya bisa diikuti lembaga pemerintah atau nonpemerintah lainnya yang peduli atas masa depan bangsa melalui penyisihan dana bagi mahasiswa berprestasi tetapi kurang mampu.
Perluasan program beasiswa BI ini memungkinkan jumlah mahasiswa yang terbantu meningkat signifikan. Dengan terjalinnya kerja sama dengan seluruh PTN, maka BI 'menyelamatkan' proses perkuliahan sekitar 3.000 mahasiswa per tahun ajaran.
Memang, peningkatan tersebut belumlah berarti dibanding jumlah keseluruhan mahasiswa maupun calon mahasiswa, yang terkendala proses pendidikannya akibat kekurangan biaya. Namun, sumbangsih lembaga di luar PT yang menyiapkan beasiswa dapat menjadi solusi berarti bila semakin banyak partisipasi dari sumber-sumber lainnya. Sebaiknya, pihak perguruan sendiri proaktif mencarikan beasiswa bagi mahasiswa mereka dengan menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga donatur.
Paling tidak, persoalan yang dihadapi Universitas Brawijaya Malang misalnya, yang saat ini setidaknya ada 500 mahasiswa menunggak SPP, bisa dicarikan solusinya. Apalagi di universitas ini setiap tahun akademik baru jumlah tersebut cenderung menunjukkan peningkatan. Untuk ini, Unibraw sejak beberapa tahun lalu aktif berburu donatur yang memberi bantuan secara tulus, tanpa diembeli-embeli persyaratan yang mengikat mahasiswa. Dan memang, hingga kini, seluruh lembaga swasta yang memberi beasiswa tanpa ikatan apa-apa. Bahkan, BI sendiri ingin ada lulusan Unibraw yang bekerja di lembaganya itu, tetapi sampai sekarang belum ada yang memenuhi syarat.
Sesungguhnya para pengelola perguruan tinggi di dalam negeri memang masih minim sentuhan kreativitas dalam mencari terobosan pendanaan. Apalagi dengan kondisi APBN yang seret memberi pasokan rupiah bagi PTN maka sudah waktunya kreativitas itu bisa dimunculkan. Meski diprotes banyak pihak dan mahasiswa, pembukaan 'jalur khusus' yang tetap memerhatikan asas kepatutan adalah buah kreatif itu. Dan, sebaiknya ide seperti itu jangan dimatikan, bahkan mungkin di sana-sini perlu ada sentuhan revisi dalam pelaksanaannya. ***
0 komentar:
Posting Komentar