Masa Depan PT BHMN Pascapencabutan UU BHP

Masa Depan PT BHMN Pascapencabutan UU BHP
Harian Seputar Indonesia - 6 April 2010
Oleh: Tirta N. Mursitama

Rakyat Indonesia mendapatkan kado istimewa beberapa hari belakangan
ini.Namun, masing-masing secara psikologis menimbulkan efek yang bertolak
belakang.

Kado pertama adalah terungkapnya kasus makelar kasus (markus) pajak Gayus
Tambunan dengan jumlah yang fenomenal, Rp28 miliar. Kado kedua adalah
pencabutan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan
(UU BHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 31 Maret 2009 lalu. Pada kasus
pertama, masyarakat merasa terluka rasa keadilannya karena kepercayaan atas
pajak yang dibayarkan dari tetesan keringat mereka tidak teramanatkan dengan
baik.Adapun pada kasus kedua secara umum efek psikologis yang berkembang di
masyarakat, mereka menyambut dengan penuh kegembiraan.

Alasan utamanya antara lain UU BHP telah menghambat akses terhadap
pemerataan kesempatan pendidikan dan mengakibatkan pembiayaan yang tinggi.
Namun, apakah rasa lega dan gembira tersebut menyelesaikan permasalahan
pendidikan kita yang telah karut-marut, khususnya bagi perguruan tinggi?
Bagaimanakah nasib Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) yang
telah melakukan serangkaian langkah menuju otonomi perguruan tinggi
pascapencabutan UU BHP? Penulis memfokuskan diri pada hal terakhir ini.

Signifikansi

Perdebatan tentang keberadaan UU BHP dan pencabutannya semestinya diletakkan
pada kerangka tarikan global dan kondisi domestik masyarakat. Secara global,
hanya manusia-manusia berkualitas yang mampu bersaing di dunia
internasional. Untuk itu, pendidikan berperan penting untuk menggembleng
manusia-manusia Indonesia menjadi sumber daya yang super. Setiap negara
belahan mana pun di dunia ini berusaha memberikan insentif kepada calon
manusia- manusia super untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.

Sebagian besar diberi beasiswa, diperlakukan khusus, bahkan diberi berbagai
fasilitas asalkan mereka belajar dengan baik mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Hasil dari program-program tersebut siap diterima di berbagai
institusi publik maupun swasta. Bahkan, tak jarang negara-negara (maju)
tersebut telah menyiapkan skema khusus dengan memberikan ruang untuk
beraktualisasi/ bekerja sesuai dengan profesi. Itu semua tak bisa dilakukan
tanpa adanya modal (kapital) yang besar dan dukungan tanpa tepi dari negara.
Dari sisi domestik, kekuatan masyarakat Indonesia dalam meraih kesempatan
pendidikan (tinggi) relatif terbatas.

Tidak untuk menyebut kemampuan intelektual calon mahasiswa, tetapi lebih
pada akses mendapatkan pendidikan karena biaya yang tidak terjangkau. Di
sisi lain, negara terlanda impotensi dalam memberikan dukungan insentif,
fasilitas, termasuk beasiswa, kepada calon manusia- manusia super yang
melimpah jumlahnya tersebar di pelosok republik ini.Pendeknya, negara ini tak
cukup secara finansial untuk melakukan sesuatu seperti di negara-negara maju
di atas. Dengan demikian, jangankan bersaing untuk bertahan hidup, menjadi
sebuah bangsa pun manusia Indonesia harus berjuang sendirian.

Dalam konteks himpitan global yang terus menggerus, kelunglaian negara dalam
memberikan jaminan pendidikan, hajat hidup, dan perlindungan hak asasi
manusia lainnya kepada warga negara tak perlu disalahkan bila institusi
(lembaga,manusia, aturan- aturan) dilahirkan untuk berusaha merekayasa
secara sosial agar republik ini tetap tegak berdiri. Dalam hal ini di bidang
pendidikan tinggi. Dengan kata lain, kita harus jujur memaknai eksistensi UU
BHP dalam konteks di atas.Apalagi bila kita lihat beberapa PT BHMN telah
melakukan serangkaian kebijakan turn aroundmenuju otonomi PT yang lebih
besar dan mandiri. Sebagian besar PTN yang tadinya bergantung sepenuhnya
kepada pemerintah telah menunjukkan hasil transformasi kelembagaannya secara
bertahap.

Paling tidak, mereka sudah berada di "arah yang benar",hanya tinggal
memberikan dorongan lebih kuat agar terjadi percepatan. Memang, kita tidak
boleh juga menutup mata atas beberapa ekses yang harus dihadapi, antara lain
terjadinya kenaikan biaya operasional pendidikan yang cenderung memberatkan
mahasiswa.Namun, jangan lupa, manusia-manusia super yang memiliki
keterbatasan secara ekonomi telah diberi kemudahan melalui berbagai
beasiswa. Bahkan, Universitas Indonesia yang merupakan PT BHMN terbesar di
negeri ini meluncurkan program biaya operasional pendidikan berkeadilan.
Inti program tersebut, mahasiswa yang tidak mampu hanya dikenai biaya
semampunya.

Bahkan untuk penetapannya pun melibatkan perwakilan mahasiswa. Adapun bagi
yang memiliki kemampuan lebih, mereka dikenai biaya sesuai dengan standar
yang telah diperhitungkan besarannya berdasarkan kondisi finansial mereka.
Apabila transformasi ini terkawal baik disertai perbaikan dan komitmen yang
kuat dari semua stakeholders, PT BHMN akan mampu mencetak manusia-manusia
super yang lebih berorientasi ke luar, mampu bersaing secara regional maupun
internasional atas nama republik ini.

Implikasi

Masa depan PT BHMN dengan pencabutan UU BHP menjadi mendung, kalau tidak
bisa dikatakan menjadi kelam.Apalagi bila tidak segera diambil langkah
strategis diikuti langkah praktis antara Kementerian Pendidikan Nasional dan
PT BHMN di negeri ini.Secara hukum landasan langkah-langkah turn around PT
BHMN seperti otonomi dalam hal pengelolaan sumber daya manusia, keuangan dan
pendidikan, serta penelitian telah hilang dengan pencabutan UU BHP.

Apakah terbayang bila ribuan staf BHMN yang menopang laju pendidikan,
penelitian, dan manajemen universitas pada PT BHMN yang bersaing di level
dunia harus kehilangan status kepegawaiannya? Bila itu benar-benar terjadi
atau paling tidak statusnya menjadi kabur, berarti pula urusan kepulan asap
dapur menjadi menyeruak. Akankah mereka tak memperoleh hak pendapatannya
setelah melaksanakan kewajibannya? Ini akan menimbulkan keresahan. Tidak
hanya di kalangan staf pengajar sebagai bagian high skilled-human capital
(tenaga kerja yang berkualitas tinggi), tetapi juga menyentuh karyawan di
level terbawah yang bisa terakomodasi menjadi pegawai karena otonomi PT
BHMN.

Belum lagi,mimpi-mimpi mereka mencerdaskan bangsa ini telah mulai
diapresiasi dengan perbaikan sistem remunerasi dan kepangkatan akademik
sepadan dengan produktivitas, loyalitas, dan dedikasi tinggi mereka
(meritbased system). Jangan sampai pencabutan UU BHP ini menciptakan
demoralisasi atau demotivasi di kalangan mereka. Tidak hanya membuat kalang
kabut mereka, tetapi juga mahasiswa dan stakeholders pendidikan tinggi
lainnya, termasuk orang tua mahasiswa.Apabila ini terjadi,niat untuk
menyelesaikan sebuah "masalah" ternyata akan menimbulkan berbagai masalah
baru yang tak kalah pelik. Oleh karena itu, sungguh urgensi pemecahan
masalah ini sangat tinggi.

Kecepatan, kecermatan, dan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan
pascapencabutan UU BHP harus dilakukan dengan baik antara Kementerian
Pendidikan Nasional, PT BHMN, dan para pemangku kepentingan lain. Dengan
demikian, tidak hanya akan menjawab persoalan kepastian hukum atas payung PT
BHMN, tetapi yang tak kalah penting adalah menyangkut pertaruhan masa depan
pendidikan tinggi di negeri ini.(*)

http://www.seputar- indonesia. com/edisicetak/ content/view/ 315696/

0 komentar:

Posting Komentar