Mari Bersyukur
"Keinginan-keingina n yang ada pada manusialah yang seringkali menjauhkan
manusia dari kebahagiaan. "
-- Buddha
Warung nasi uduk itu sebenarnya enak punya. Rasa nasinya gurih. Ayam
gorengnya kriuk-kriuk. Bebeknya tidak lengket dan empuk. Tapi kok malam itu
sepi sekali. Pengunjungnya hanya satu dua saja. Mereka datang dan pergi.
Mungkin karena malam itu hujan.
Ups, salah. Di tengah gerimis mengundang, si pemilik warung itu bilang,
keadaan itu sudah berlangsung sejak lama. Sebabnya, tak jauh dari tempat dia
membuka tendanya, sudah ada sekitar enam warung sejenis. Wajarlah bila
pengunjung jadi sepi. Dengan penuh gelak tawa dia berkisah tentang
kemunduran usahanya.
Aneh betul si bapak. Rugi kok masih haha-hihi. Baginya, meski pendapatan
terus menurun, dia tetap senang. Masih banyak pelanggan setia yang selalu
mampir ke warungnya. Meski berkurang, pendapatannya tetap ada. Dari sedikit
untung yang dia tabung, ia dapat menyekolahkan ketiga anaknya hingga masuk
universitas negeri. Wajahnya begitu berseri-seri menceritakan itu.
Sebaliknya, wajah keruh terlihat pada wajah seorang kolega. Pangkal sebabnya
ternyata soal pendapatannya yang menurun. Setelah kontrak kerjanya selesai,
dia mendapatkan pekerjaan di kantor yang baru. Sayangnya, gaji yang
didapatkannya sedikit berkurang. Mau ditolak, dia butuh pemasukan.
Lain ladang lain ilalang. Nasi uduk dan kantor profesional adalah dua dunia
yang berbeda tentu saja. Pendapatannya juga jauh berbeda. Bila mau dihitung,
tentu pendapatan si teman bisa jadi lebih besar ketimbang si penjual nasi
uduk.
Faktor lainnya, penghasilan si pekerja sudah pasti tetap. Sebaliknya, si
penjual nasi uduk, kadang tak tentu besar yang didapatkannya. Bukan itu
saja, si penjual nasi uduk bisa saja kehilangan segalanya. Misalnya karena
lahan jualannya kena proyek pelebaran jalan atau mungkin akan dijadikan
bangunan perkantoran.
Wajah menjadi jendela hati. Wajah si bapak penjual nasi uduk bisa
berseri-seri karena dia menerima apa adanya dengan rezeki yang jatuh
padanya. Lebih tepatnya, karena dia mensyukuri semua yang didapatkannya.
Sebaliknya, sang teman, meski penghasilannya lebih pasti dan lebih besar,
terbebani sebuah kenyataan yang tidak sesuai harapannya.
Alhasil, semua yang dia dapatkan seolah tak ada artinya. Bahkan dia pun
bersungut-sungut. Padahal, andai saja dia mau melihat ke sekelilingnya,
terlalu banyak kelebihan yang didapatkannya. Dia masih melihat anak-anaknya
pergi sekolah di saat banyak anak yang berdiam di rumah karena orang tuanya
tak sanggup lagi menyekolahkannya. Dia masih berada di dalam mobil yang
sejuk di saat orang lain berdesakan di dalam bus yang pengap.
Bersyukur berarti menerima sepenuhnya apa yang telah menjadi rezeki kita
tanpa harus menggugat apalagi mengeluhkan kekurangan. Bersyukur dapat pula
berarti menerima semua hal yang didapat, baik keberhasilan ataupun
kegagalan. Baik anugerah ataupun musibah. Karena tak semua keinginan dapat
terwujud. Bersyukur bukan pula berarti menerima lalu pasrah. Melainkan
berusaha untuk mewujudkan semua keinginan tersebut. Bila gagal, cobalah
terus berusaha, semua terjadi karena waktu yang belum tepat.
Di tenda itu, si bapak pemilik warung nasi uduk telah melakoni sebuah peran
yang teramat sulit dilakukan banyak orang: mensyukuri semua nikmat yang ada.
Dampaknya tak hanya membuat hidupnya menjadi lebih bahagia, tetapi juga
lebih cerah. Si bapak itu tampak lebih muda dan segar. Sedangkan si teman
yang selalu menggerutu, wajahnya terlihat letih dan tua sebelum waktunya.
Percayalah, bersyukur membuat hidup menjadi lebih rileks.
Oleh :
Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media
Komputindo, 2009
0 komentar:
Posting Komentar