Ujian Nasional, Kultur dan Kebijakan
Oleh Agus Widiarto
Direktur Program Center for Indonesian Reform,
Alumni Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore
Raffles tentu mengurut dahi ketika kebijakannya yang berlabel “land rent system” dalam periode 1811-1816 harus tercatat dalam sejarah sebagai kebijakan yang tidak tepat diterapkan di Indonesia. Prinsip kebebasan yang dianutnya, tidak boleh ada unsur paksaan terhadap rakyat, menghapuskan birokrasi tradisional yang dianggapnya sebagai unsur feodal, ternyata berujung pada kegagalan. Kultur masyarakat yang masih tradisional, dengan budaya patronase yang masih mengakar dianggap sebagai sebuah realitas yang tak bisa terabaikan. Inilah kondisi obyektif yang tidak bisa dipotret oleh Raffles secara jelas.
Lain halnya dengan Van den Bosch. Penggagas Cultuur Stelsel pada periode 1830-1870 ini tentu tak menyangka bahwa kebijakannya yang banyak dikritik banyak orang telah mendatangkan keuntungan yang besar bagi negeri Belanda. Jutaan gulden dialirkan dari Hindia Belanda ke negeri Induknya, Belanda, negeri yang semula negara miskin di Eropa ini secara luar biasa menjadi negara yang makmur. Akan tetapi, kemakmuran yang luar biasa ini diperoleh dengan kucuran keringat dan darah rakyat Indonesia yang dipaksa untuk memenuhi target para aparat birokrasi pribumi yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah kolonial. Ada reward yang bernama cultuur procenten, prosentase keuntungan yang akan diperoleh jika para pejabat pribumi tersebut berhasil mencapai target yang dibebankan kepada mereka. Sehingga, pejabat pribumi seperti berlomba-lomba mengejar target tersebut. Tragisnya, sejarah mencatat telah terjadi kelaparan dan bahkan kematian di berbagai daerah akibat kebijakan yang kemudian dikenal sebagai tanam paksa tersebut.
Land rent system dan Cultuur Stelsel adalah dua buah kebijakan yang mengambil strategi dan pembacaan terhadap kultur secara berbeda. Land rent system Raffles meyakini bahwa prinsip kebebasan yang dianutnya akan memberikan dorongan yang luar biasa bagi rakyat untuk berpartisipasi melaksanakan kebijakannya tersebut. Oleh karenanya, Raffles memiliki strategi untuk tidak melibatkan dan memasukkan unsur birokrasi tradisional dalam upaya mencapai target dan sasaran kebijakannya. Sementara, Van den Bosch dengan cultuur stelsel-nya yang menerapkan unsur paksa dengan menggunakan aparat pribumi, justru telah membuat Belanda menjadi makmur.
Sekarang, mari kita telaah sebuah kebijakan yang diakhir-akhir ini telah menimbulkan kontroversi di ruang publik, yaitu ujian nasional. Kita tidak ingin membuat simplifikasi dengan menyamakan Ujian Nasional dengan dua kebijakan yang berlaku pada masa kolonial tersebut. Pada hakekatnya, yang ingin ditampilkan di sini ialah bagaimana pengambil kebijakan melihat sebuah realitas dalam struktur sosial masyarakat yang berkembang, dan model kebijakan tersebut bisa mencapai sasaran tanpa harus mengorbankan obyek kebijakan serta melihat implikasinya. Bagaimana sesungguhnya Kebijakan ujian nasional ini didesain dan dikonstruksi?
Ujian Nasional adalah kebijakan Pemerintah Pusat yang diturunkan atau diterjemahkan dari Undang-undang Sisdiknas Pasal 1 ayat (21), tentang evaluasi pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan. Pasal-pasal tentang Evaluasi tertulis dalam Pasal 57 yang menempatkan peserta didik sebagai salah satu obyek evaluasi, Pasal 58 yang memberi ruang bagi pendidik untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik, dan lembaga mandiri (BSNP) untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan, Pasal 59 yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur jenjang, dan jenis pendidikan.
Dari desain dan konstruksi pasal-pasal di atas kita bisa menyimpulkan bahwa jika kebijakan UN menjadi salah satu alat ukur evaluasi, maka peserta didik menjadi obyek evaluasi yang dilakukan oleh pendidik, yang standarnya secara nasional ditetapkan oleh BSNP. Dari standar nasional pendidikan inilah, Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola dan satuan pendidikan.
Pasal-pasal tentang evaluasi di atas kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, di antaranya Pasal 64 tentang penilaian hasil belajar oleh pendidik, Pasal 65 tentang penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, dan Pasal 66 tentang penilaian hasil belajar oleh Pemerintah yang kemudian menugaskan BSNP untuk menyelenggarakan ujian nasional. Terkait ujian nasional, Pasal 68 dari PP tersebut menyatakan bahwa hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan, dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Terkait dengan kelulusan peserta didik, ada empat komponen yang harus dipenuhi oleh setiap peserta didik supaya dinyatakan lulus dari satuan pendidikan. Pasal 72 ayat (1) PP tersebut menyatakan bahwa peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memperoleh nilai minimal untuk mata pelajaran akhlak mulia/kewarganegara an, lulus ujian sekolah, dan lulus UN.
Implikasi Kebijakan UN
Desain dan konstruksi kebijakan UN seperti yang tergambar dalam aturan-aturan di atas, pada prakteknya, memiliki implikasi yang luas dalam masyarakat, baik secara sosiol-kultural (kolektif), maupun personal. Secara sosio-kultural, kita melihat perilaku budaya bapakisme, asal bapak senang, yang dilakukan oleh para pengelola satuan pendidikan, baik yang ditengarai dilakukan secara sembunyi-sembunyi, maupun yang kemudian terbukti diketahui khalayak. Berbagai modus kecurangan dilakukan hanya untuk mencapai target kelulusan 100% yang dibebankan kepada mereka. Apalagi, potensi kecurangan itu ada karena “dipaksa” oleh aturan yang ada, sehingga muncul dugaan ada konspirasi yang melibatkan suku dinas pendidikan, kepala sekolah, dan guru di setiap daerah. Ingat bahwa, undang-undang Sisdiknas Pasal 59 telah memberikan “ruang yang sangat terbuka dan konstitusional” bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan evaluasi terhadap pengelola dan satuan pendidikan. Apalagi, atas nama pemetaan kualitas pendidikan yang standar penilaiannya setiap tahun dinaikkan, setiap pemerintah daerah memasang target maksimal yang dibebankan kepada setiap pengelola dan satuan pendidikan. Akibatnya, setiap pengelola dan satuan pendidikan berlomba-lomba mengejar target pencapaian yang dibebankan kepada mereka. Setiap sekolah tentu sadar, jika sekolah mereka masih ingin diminati oleh calon peserta didik, maka citra dan reputasi sekolah pun harus dikatrol. Tingkat prosentase kelulusan UN bisa menjadi sarana katrolisasi citra dan reputasi sekolah tersebut.
Jika satuan pendidikan tertentu tidak bisa mencapai target yang sudah ditetapkan, maka sanksi mutasi bisa berlaku terhadap pengelola satuan pendidikan yang gagal mencapai target tersebut. Akibatnya, setiap satuan pendidikan berusaha dengan segala cara mencapai target tersebut. Akibatnya pula, yang menjadi korban dari kebijakan ini adalah peserta didik yang harus menanggung beban amat berat demi memuaskan dan memuluskan target setiap satuan pendidikan dan pemerintah daerah.
Sementara, implikasi yang bersifat perilaku personal antara lain terlihat dari kecenderungan semakin pragmatisnya pendidik dan peserta didik. Setiap satuan pendidikan pun berlomba-lomba menyelenggarakan kegiatan tambahan belajar hanya untuk mencapai target kelulusan dalam Ujian Nasional. Setiap peserta didik pun mengkonsentrasikan diri mereka untuk memperdalam pengetahuan mereka dengan mengikuti kursus atau bimbingan belajar, mempelajari kiat-kiat atau trik menjawab soal. Semuanya diarahkan hanya untuk lulus UN. Tak jarang, demi pragmatisme tersebut, setiap satuan pendidikan membentuk tim sukses untuk merekayasa hasil UN. Tak jarang pula, ada peserta didik yang berusaha mendapatkan kunci jawaban soal UN. Pada pelaksanaan UN tingkat SLTA 2010 ini pun mencatat banyak kebocoran yang terjadi di berbagai daerah, seperti kebocoran soal yang merata di banyak sekolah di Kota Medan, Deli Serdang, dan daerah lain di sekitarnya, seperti yang diungkap oleh Komunitas Air Mata Guru, penjualan paket soal UN, dan peredaran kunci jawaban soal lewat SMS. Banyak siswa yang semakin tak percaya diri dan tak rasional menghadapi UN ini. Meminum air yang dianggap bertuah pun dilakukan agar lulus. UN sudah dianggap sebagai momok menakutkan. Apalagi, UN dalam kenyataannya menjadi vonis akhir nasib mereka untuk bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.
Dari desain, konstruksi, dan implikasi kebijakan UN tersebut, kita bisa membuat sebuah argumentasi bahwa disadari atau tidak, para pengambil kebijakan di negeri ini telah menempatkan UN sebagai strategi untuk mencapai target pencapaian nilai tertentu, dan secara sistemik melibatkan beragam pihak, mulai dari aparat birokrasi pusat sampai daerah, dan menjadikan peserta didik sebagai obyek akhir yang ‘dipaksa ‘ harus memenuhi target yang dibebankan kepada dirinya, hanya untuk kepentingan prestise sekolah dan kebanggaan daerah.
Kita tentu tidak hendak menyamakan kebijakan UN dengan kebijakan cultuur stelsel-nya Van den Bosch, yang memaksa rakyat harus memenuhi target yang dibebankan kepada dirinya, dengan menggunakan aparat tradisional. Meski budaya patronase masih melekat dalam struktur birokkasi kita, suasana zaman kolonial tentu berbeda dengan kondisi di Republik yang sudah menikmati kemerdekaannya selama 65 tahun ini.
Esensinya, UN sebagai sebuah kebijakan tetap menyisakan sejumlah persoalan yang perlu dibenahi. Perlu dipikirkan kembali sebuah formulasi UN yang tidak menimbulkan akibat negatif yang demikian luas pada obyek kebijakan. UN seharusnya tidak lagi menempatkan aparat birokrasi di daerah sebagai unsur yang dapat memaksakan keinginan hanya untuk mencapai target nilai semata. UN, seharusnya tidak memberikan ruang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan praktek-praktek kecurangan yang dilegalkan. Dan, bagi semua stakeholders pendidikan, UN seharusnya diarahkan kepada pencapaian tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar