Penyelenggaraan Pendidikan : BHP, Undang-undang yang "Kebablasan"

Satu kata terlewat dalam sebuah undang-undang akan fatal akibatnya. Dampak inilah yang dialami Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan atau UU BHP.

UU BHP hingga kini menimbulkan kontroversial dan banyak pihak yang menolaknya. UU tersebut dituding mengarahkan sistem pendidikan pada komersialisme dan membuat biaya pendidikan semakin mahal.

Di sisi lain, pemerintah membantah jiwa korporasi lantaran BHP bersifat nirlaba. Mereka menyangkal pula niatan lepas tangan dari pembiayaan pendidikan karena akan membiayai wajib pendidikan dasar dan membatasi pungutan maksimal dari masyarakat hanya sepertiga dari biaya operasional.

Pasal 53 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) berbunyi, "Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan".

Pasal itulah yang menjadi pegangan lahirnya UU BHP. Namun, landasan tersebut sendiri ternyata produk "keseleo".

"Waktu kami membahas RUU BHP—kini Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan—diakui oleh yang ikut terlibat di dalam pembuatan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional kata-kata tersebut agak 'kebablasan' karena disebut hanya satuan pendidikan saja. Bukannya untuk satuan pendidikan tinggi dan tidak pula dikunci hanya untuk negeri," ujar Direktur Jenderal Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal dalam diskusi terbatas bertajuk "Implikasi Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan" yang berlangsung di Harian Kompas, Kamis (5/2). Pembicara lainnya adalah Ketua Tim Perumus sekaligus anggota Komisi X DPR, Anwar Arifin, pengamat pendidikan Darmaningtyas, dan pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia, Darussalam.

Masalah timbul saat UU Sisdiknas harus dijabarkan. Sudah terbayangkan betapa repotnya jika satuan pendidikan yang jumlahnya sekitar 250.000 sekolah dan madrasah harus mengikuti aturan itu. Padahal, mulanya hanya untuk pendidikan tinggi negeri saja agar mempunyai otonomi dan koridor. "Kalau sudah dikatakan hanya satuan pendidikan tinggi, itu sudah aman. Kita tidak akan pernah membayangkan memasukkan pendidikan dasar dan menengah untuk ber-BHP. Karakteristiknya juga berbeda sama sekali dengan perguruan tinggi," ujarnya.

Beli kertas saja repot

Ide dasar lahirnya UU BHP tidak terlepas dari kesemrawutan dan prosedur penganggaran di perguruan tinggi negeri.

Sebelum tahun 1999, perguruan tinggi negeri terkukung dengan model kerja birokrasi. Cara penganggaran terpusat. "Sederhananya, untuk membeli kertas pun yang menentukan harus Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional) dan dana tidak bisa dalam bentuk blockgrant. Kalau mendadak kebutuhan berubah karena dinamika perguruan tinggi, revisinya berlarut-larut sampai ke pusat," ujar Fasli.

Permasalahan lainnya terkait dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang membuat para rektor sakit kepala. Penerimaan yang merupakan PNBP, seperti dari mahasiswa, disetorkan ke kas negara, kemudian perguruan tingi mengajukan permintaan kembali sehingga membutuhkan waktu lama dan proses panjang. Pembayaran honor untuk dosen yang mengajar atau menguji skripsi mahasiswa bisa terlambat tiga bulan.

Fasli menambahkan, persoalan administrasi PNBP kerap menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lantaran rektor bersedia berisiko masuk bui daripada melawan kebutuhan dosen dan mahasiswa.

Pemerintah berupaya mencari dasar hukum sehingga penyelenggaraan perguruan tinggi tidak terjerat jalur birokrasi yang rumit dan berbelit-belit.

Salah satu alternatif yang terpikirkan ialah mengalihkan perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum. Ahli hukum dan kebijakan publik pun berdebat.

Sebagai jalan keluar dibuat peraturan pemerintah khusus badan hukum milik negara (BHMN). Fasli mengakui bahwa BHMN sebetulnya berbenturan dengan perundang-undangan keuangan karena tidak ada dasarnya.

Semangatnya lebih pada memberikan otonomi kepada perguruan tinggi yang selama ini "tertindas". Belakangan, kebebasan BHMN tersebut dinilai kebablasan dan dianggap perlu membuat koridor. Kelahiran UU Sisdiknas sendiri telah memberikan restu terhadap pengaturan satuan pendidikan yang lebih jelas.

Nasib persekolahan

Lantas bagaimana dengan nasib pendidikan dasar dan menengah dengan sahnya UU BHP tersebut? Implikasi UU BHP justru sangat luas di jenjang pendidikan ini. Pemerintah sendiri, menurut Fasli, menyadari dan mencari cara agar satuan pendidikan dasar dan menengah tidak terlalu mudah ber-BHP.

Dibuatlah standar sangat tinggi agar sekolah dapat ber-BHP yakni memenuhi delapan standar nasional pendidikan (SNP) dan berakreditasi A. Saat ini, belum ada sekolah yang memenuhi standar itu. "Sebenarnya, intinya cuma kita memasukkan dalam UU itu karena perintah dari UU Sisdiknas," ujarnya.

Salah satu peserta aktif diskusi, Lodi Paat dari Koalisi pendidikan, mengatakan, persoalan tidak sesederhana itu. UU BHP seakan dipaksakan ada. Ia menilai undang-undang tersebut tidak lepas dari "agenda" neoliberalisme.

Pengamat pendidikan Darmaningtyas menuding, undang-undang tersebut hanya memberi tempat kepada orang kaya atau siswa pintar. "Siswa miskin dan tidak terlalu pintar tidak mendapat tempat dan tidak diperhatikan, " ujarnya.

Direktur Pelaksana Yayasan Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD) Tunggul Siagian berpendapat bahwa tidak ada semangat pendidikan dalam UU BHP. Undang-undang tersebut dipandang terlalu mencampuri "urusan dalam negeri" sekolah. Kehadiran UU BHP juga ditanggapi pesimistis oleh operator pendidikan di lapangan.

"Banyak UU pendidikan yang dilahirkan nyatanya tidak berpengaruh apa-apa pada jalannya sekolah," ujarnya.

Pudentia, penasihat Badan Musyawarah Perguruan Swasta Pusat, mengatakan bahwa UU BHP mematikan sekolah swasta.

Kalau disebut-sebut sebelumnya UU Sisdiknas mempunyai "lubang" lantaran tidak membedakan satuan pendidikan calon BHP, tampaknya UU BHP malah menggali lebih dalam "lubang" yang ada. Lubang yang dapat mengubur pendidikan murah di Tanah Air. (Indira Permanasari/ Ester Lince Napitupulu)


Sumber
Kompas

0 komentar:

Posting Komentar